
Pandangan Islam tentang Lingkungan Hidup: Membedah Isu “Wahabi Lingkungan” dan Paradigma Allah-sentris
Isu lingkungan hidup menjadi sorotan hangat dalam berbagai diskusi publik, tak terkecuali di Indonesia. Sebuah perdebatan yang baru-baru ini mencuat, terutama yang melibatkan seorang tokoh agama, Ulil Abshar Abdalla, dengan aktivis lingkungan dari Greenpeace, melahirkan istilah kontroversial “Wahabi Lingkungan”. Diskusi tersebut mengangkat tema tentang kontroversi penambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, yang merupakan kawasan konservasi.
Dalam acara debat yang ditayangkan Kompas TV, Ulil Abshar Abdalla, yang di masa lalu dikenal sebagai pemimpin Jaringan Islam Liberal, berpendapat cenderung permisif terhadap pertambangan nikel. Bahkan ia terlihat menolak argumen aktivis lingkungan yang menyebut bahwa penambangan merusak ekosistem. Sebaliknya, perwakilan Greenpeace menolak segala bentuk pertambangan yang merusak lingkungan. Dari sinilah Ulil melontarkan istilah “Wahabi Lingkungan”, yang ia gunakan secara majazi atau peyoratif untuk menyematkan stigma kepada aktivis lingkungan yang dianggapnya cenderung konservatif dan menolak eksploitasi alam, serupa dengan pandangannya terhadap kaum “Wahabi” yang ia klaim memperlakukan teks agama secara kaku. Tentu hal itu menunjukkan “kebodohan kuadrat” dan upaya menstigma lawan berpikir, serta mencerminkan kualitas intelektual yang rendah.
Antroposentrisme, Ekosentrisme, dan Paradigma Allah-sentris
Perdebatan mengenai lingkungan hidup seringkali memperlihatkan dua paradigma ekologi yang berlawanan:
1. Antroposentrisme: Paradigma yang menempatkan manusia sebagai pusat dan pemilik alam, sehingga manusia merasa bebas mengeksploitasi alam demi kepentingan manusia, meskipun seringkali hanya menguntungkan segelintir orang atau pemain tambang.
2. Ekosentrisme: Paradigma yang menempatkan lingkungan atau alam sebagai pusat, dengan manusia sebagai bagian dari ekosistem. Pandangan ini cenderung membatasi eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam secara maksimal.
Islam, bagaimanapun, tidak berpihak pada salah satu dari keduanya secara ekstrem. Islam memiliki paradigma khas yang bisa kita sebut sebagai Allah-sentris, di mana Allah menjadi pusat pengaturan alam semesta.
Paradigma ekologi Islam memiliki tiga poin utama:
1. Kepemilikan Hakiki Alam adalah Milik Allah: Allah adalah pencipta dan pemilik sejati langit dan bumi, termasuk hutan, lautan, barang tambang, udara, dan tanah.
2. Penciptaan Alam untuk Kepentingan Manusia: Allah menciptakan alam ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah An-Nahl (tentang lautan) dan Al-Baqarah ayat 29.
3. Manusia sebagai Pengemban Amanah Kekhalifahan: Manusia bukan pemilik hakiki, melainkan diberi amanah sebagai pengelola bumi (khalifah). Oleh karena itu, manusia harus memanfaatkan alam dengan baik, sesuai peruntukannya, dan tidak boleh merusak lingkungan dengan semena-mena, terlebih jika merugikan sesama.
Landasan Syariat dalam Pelestarian Lingkungan
Terdapat dua hadits utama yang menjadi landasan kuat bagaimana Islam memandang lingkungan:
1. Hadits Bibit Kurma: Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon kurma dan ia masih sempat menanamnya, maka tanamlah itu.” Hadits tersebut memberikan hikmah berupa anjuran untuk menanam sesuatu yang bermanfaat bagi manusia bahkan setelah kematian, agar pahalanya mengalir (amal jariyah). Hikmahnya juga menunjukkan visi keberlanjutan hidup umat manusia dan keharusan mengikis sikap egois, serta mendorong kepedulian terhadap generasi mendatang. Kita dianjurkan untuk berbuat kebaikan bagi orang lain, sama seperti kita menikmati manfaat dari generasi sebelum kita.
2. Hadis Larangan Menebang Pohon Sidr (Bidara): Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat orang-orang yang menebang pohon sidr atau pohon bidara.” Larangan ini bukan karena pohon tersebut keramat atau mistis, melainkan karena pohon sidr sering menjadi tempat berteduh bagi musafir dan hewan di padang tandus. Menebangnya akan menyakiti dan memudaratkan kaum Muslim karena menghilangkan tempat berteduh. Ini menunjukkan bahwa syariat Islam peduli pada kemaslahatan manusia dan keberlangsungan hidup, dengan landasan spiritual (takut laknat Allah) yang berujung pada kemaslahatan duniawi.
Paradigma Operasional Pengelolaan Lingkungan: Ri’ayah Su’unil Ummah
Islam mengedepankan paradigma ri’ayah su’unil ummah (mengurus urusan umat) dalam pengelolaan lingkungan, berbeda dengan paradigma kapitalistik atau oligarki yang mengutamakan kepentingan segelintir pemodal. Konsekuensi dari paradigma ini meliputi:
- Memastikan mata pencaharian masyarakat tetap terjaga, tidak terancam oleh aktivitas eksploitasi sumber daya alam.
- Memikirkan keberlanjutan untuk generasi umat di masa depan.
- Melakukan konservasi lingkungan untuk menghasilkan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan bagi masyarakat.
Dalam konteks operasional, Islam mendorong:
1. Perintah Tasyjir (Penanaman) dan Takdir (Penghijauan): Melakukan penanaman pohon dan penghijauan untuk menyediakan oksigen, menurunkan suhu, dan menjaga iklim.
2. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Negara: SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak (seperti air, api, padang rumput, dan barang tambang seperti emas, nikel, minyak bumi) adalah milkiyah ammah (kepemilikan umum) dan harus dikelola langsung oleh negara, bukan diserahkan kepada swasta. Hal ini bertujuan untuk mencegah eksploitasi berlebihan yang merusak lingkungan dan memastikan kemaslahatan umat, bukan hanya keuntungan. Negara industri dalam Islam menggunakan SDA untuk kemajuan peradaban manusia.
3. Clean Mining atau Green Mining: Islam tidak anti pertambangan, tetapi mendorong praktik penambangan yang bersih dan ramah lingkungan. Negara memiliki kewajiban untuk memfasilitasi riset dan menerapkan teknologi yang dapat meminimalisir dampak pencemaran lingkungan, serta mengontrol pelaksanaannya dengan baik.
Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,” adalah ekses dari tidak diterapkannya syariat Islam dalam pengelolaan kehidupan dan lingkungan.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: