
Belajar dari Iran: Kemandirian Teknologi dan Urgensi Kerja Sama Indonesia
Perang terbuka antara Iran dan Israel pada Juni 2025 menyoroti ketahanan dan kemandirian teknologi Iran, negara yang telah hampir setengah abad disanksi Amerika Serikat dan sekutunya. Dalam konteks ini, kolaborasi teknologi dan ekonomi antara Indonesia dan Iran layak dibahas ulang.
Sebagai Persia, Iran adalah salah satu peradaban tertua di dunia. Kekaisaran Achaemenid dan Sassanid telah membangun sistem birokrasi, arsitektur, dan ilmu pengetahuan jauh sebelum kedatangan Islam. Setelah Islam masuk pada abad ke-7 M, Persia tidak hanya menerima Islam, tetapi menjadi pusat peradaban Islam klasik, melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Farabi, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, yang membentuk fondasi filsafat, matematika, hingga kedokteran Islam. Kontribusi Persia terhadap Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah tidak tergantikan, menunjukkan akar peradaban dan ketahanan ilmiah Iran jauh lebih dalam dari sekadar konstelasi politik modern.
Sejak Revolusi 1979, Iran telah menghadapi embargo ekonomi, militer, dan teknologi dari AS dan sekutunya. Namun, alih-alih runtuh, Iran justru mengembangkan kemandirian teknologi yang impresif di berbagai sektor. Ini mencakup industri militer (rudal, drone, senjata ringan), energi nuklir, farmasi, dan bioteknologi. Iran juga berhasil membangun ekosistem riset domestik yang tangguh dan terhubung dengan diaspora ilmuwan Iran di Eropa dan Asia Tengah. Bagi Indonesia, ini menjadi studi kasus penting: bagaimana sebuah bangsa dapat bertahan dari tekanan global tanpa kehilangan orientasi pembangunan ilmu pengetahuan.
Kerja sama bidang sains dan teknologi antara Indonesia dan Iran telah terjalin secara formal sejak 2006 melalui nota kesepahaman dan Joint Committee Meeting (JCM). Kedua negara membahas berbagai bidang, dari nanoteknologi, bioteknologi, energi, dirgantara, hingga agroindustri. Salah satu yang menonjol adalah minat Iran terhadap kemampuan PT. Dirgantara Indonesia (PTDI). Antara 2011–2013, terdapat laporan penempatan teknisi dan profesional Indonesia, termasuk alumni PTDI, dalam industri kedirgantaraan Iran. Delegasi Iran beberapa kali mengunjungi PTDI di Bandung, menunjukkan minat pada produk CN-235, NC-212, bahkan N-250. Walau belum menghasilkan kontrak besar, kehadiran tenaga Indonesia di Iran memperlihatkan kepercayaan terhadap SDM bangsa dan potensi kerja sama negeri-negeri Muslim.
Perang yang pecah pada 13 Juni 2025 menjadi titik balik geopolitik regional. Setelah Israel lebih dahulu melakukan serangan udara ke fasilitas nuklir Iran, Iran merespons dengan meluncurkan ratusan rudal balistik dan drone ke Israel. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Timur Tengah pasca-1979, kedua negara terlibat dalam perang terbuka dan simetris, menunjukkan kesiapan tempur sejati Iran.
Bagi Indonesia, peristiwa ini menyadarkan kembali pentingnya membangun kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), diversifikasi diplomasi, dan memperkuat kerja sama global yang berbasis kesetaraan, bukan subordinasi. Kerja sama Indonesia–Iran dapat menjadi bagian dari solusi jangka panjang dalam membangun poros kekuatan alternatif di dunia Islam yang berbasis sains, teknologi, dan kepercayaan diri sejarah. Kemandirian teknologi yang ditunjukkan Iran di tengah sanksi dan perang menunjukkan bahwa kekuatan tidak hanya ditentukan oleh senjata, tetapi juga oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan daya tahan budaya bangsa. Di sinilah relevansi kerja sama dua negara Muslim besar, seperti Indonesia dan Iran, menemukan urgensinya.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: