
Oleh: Lulu Nugroho (Muslimah Revowriter)
“Man don’t cry” adalah kalimat yang viral dari lisan Syeikh Bahey Ramadan. “Lelaki tidak menangis,” ujar seorang lelaki paruh baya menghibur dan menguatkan, setiap kali dia mendapati warga Palestina yang terpukul karena kehilangan keluarganya. Sementara ia sendiri adalah seorang ayah yang ketiga anaknya tewas akibat serangan Zionis.
Hal yang sama pernah terjadi pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang tidak menampakkan kesedihannya saat anaknya wafat. Seseorang bertanya, “Mengapa Anda tidak terlihat bersedih, Umar?” Umar menjawab, “Aku tak mau keinginanku bertentangan dengan keinginan Allah. Allah ingin mencabut nyawa anakku yang merupakan milik-Nya, maka aku pun berusaha agar keinginanku sejalan.”
Sungguh luar biasa manusia-manusia pilihan ini. Mereka seteguh karang saat menghadapi musibah. Bahkan air mata hanya sesaat di pelupuk, setelahnya mereka mampu mengarungi kancah kehidupan dan mengemban amanah-amanah baru.
Sejatinya menangis adalah respon emosional dan reaksi alami tubuh, tatkala masalah menekan hati. Namun ternyata, menangis pun tak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh pemahaman. Saat keimanan menancap kuat, maka menangis hanya luapan sesaat yang tetap bersandar pada kekuatan Al-Khaliq dan Al-Mudabbir. Akan terjadi sebaliknya, ketika pemahaman belum terkait erat dengan akidah, maka bisa jadi tangisan merupakan tanda penyesalan yang amat sangat, ketidakbahagiaan, atau bahkan putus asa.
Sebagai seorang mukmin, sepatutnya kita tunduk pada keinginan Allah. Namun ada area yang dikuasai manusia (mukhayyar), hingga ia dapat memilih untuk melakukan satu perbuatan atau meninggalkannya. Dan ada area musayyar, yang dikuasai Allah SWT, yang manusia tidak memiliki andil apapun, kecuali hanya menerima ketetapan Allah Ta’ala seperti halnya Syeikh Bahey dan Khalifah Umar.
Di area mukhayyar, manusia wajib bersandar pada tolok ukur yang ditetapkan Allah. Maka wajar jika Muslim Palestina bersedih terhadap sikap diamnya para pemimpin negeri Muslim, yang tak mengulurkan tangan untuk menolong, malah sepakat dengan solusi kufur dan hanya mampu mengecam. Padahal mereka mampu mengerahkan pasukan untuk mengenyahkan genosida.
Dunia Islam yang lemah, tak bertaji, mengakibatkan krisis kemanusiaan di mana-mana. Kaum berjumlah 1,8 miliar ini tergadai Perjanjian Sykes-Picot, yakni sebuah perjanjian rahasia antara Inggris, Prancis, dan Rusia, pada tahun 1916 yang membagi-bagi dunia Islam. Pembagian wilayah ini membuat bentang maya semu dan batas palsu yang mengoyak persatuan umat, menyebabkan disintegrasi menjadi lebih dari 50 negara. Tak saling sapa, tak bantu, dan kebas terhadap penderitaan sesama Muslim.
Pun muncul konflik sektarian dan krisis politik berkepanjangan, termasuk penjajahan sumber daya alam dan wilayah strategis di bumi, laut dan udara. Hegemoni Barat telah membentuk pemimpin boneka, yang loyal pada mereka. Semuanya ini tentu tak luput dari timbangan Allah SWT.
Maka perlu kepemimpinan yang mendunia, yang akan menerapkan seluruh hukum Allah tanpa kecuali, menyatukan kaum Muslim, menghapus sekat maya negara bangsa, menggabungkan kekuatan militer, dan melindungi kekayaan alam dunia Islam. Inilah proyek global yang sedang kita perjuangkan saat ini. Tsumma takuunu khilaafatan a’la minhajin nubuwwah.
Jika tidak, maka umat ini akan semakin terperosok pada kehinaan, sebagaimana dahulu saat Granada, Spanyol, jatuh oleh ulah pemimpin bodoh. Seorang ibu berkata kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Granada, Spanyol, saat ia menangis melihat negerinya jatuh, “Menangislah seperti perempuan!”[]