
Kritik Terhadap Penguasa dalam Pandangan Islam: Sebuah Tinjauan Konseptual dan Praktis
Kritik dalam Pandangan Islam: Konsep dan Kewajiban
Dalam Islam, kritik memiliki makna yang mendalam. Secara bahasa, kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti “dapat didiskusikan”, dan dari kata krinein yang berarti “memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik diartikan sebagai “kecaman atau tanggapan yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya”.
Konsep politik atau siyasah dalam Islam didefinisikan sebagai pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam. Dalam konteks ini, penguasa bertugas menerapkan Islam secara praktis, sementara rakyat memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan atau muhasabah. Pengawasan atau kontrol rakyat atas penguasa disebut muhasabah lil hukkam, dan hukumnya adalah wajib.
Beberapa dalil yang mendasari kewajiban ini antara lain:
- Hadis Rasulullah SAW: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
- Hadis tentang mengubah kemungkaran: “Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaan), jika tidak mampu, ubahlah dengan lisan (bicara), dan jika lisan pun tidak mampu, ubahlah dengan qalbu (hati), dan itulah selemah-lemahnya iman.”
- Hadis “Addinu an-Nasihah” (Agama adalah nasihat): Nasihat ini untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslim, dan kaum Muslim secara umum. Penempatan “pemimpin kaum Muslim” di awal menunjukkan pentingnya menasihati penguasa dengan landasan agama.
- Hadis “Afdhalul jihad kalimatun ‘adlin ‘inda sulthanin ja’ir” (Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran/adil di hadapan penguasa yang zalim). Hadis lain menyebut syuhada (pemimpin para syuhada) adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang berdiri di hadapan penguasa zalim lalu menasihati dan akhirnya terbunuh.
Bentuk-Bentuk Koreksi Terhadap Penguasa dalam Islam
Koreksi terhadap penguasa dapat dilakukan dalam berbagai bentuk:
- Individu: Seorang individu dapat menyampaikan kritik atau nasihat.
- Kelompok: Dalam bentuk partai politik yang mengemban tugas kolektif untuk mengawasi penguasa.
- Kelembagaan/Institusional:
- Majelis Umat: Lembaga yang berisi wakil-wakil umat (laki-laki, perempuan, muslim, non-muslim) yang memiliki tugas syura (memberikan masukan) dan muhasabah (koreksi). Non-muslim dapat melakukan pengaduan jika merasa dizalimi.
- Mahkamah Mazhalim: Peradilan yang menangani sengketa antara rakyat dengan penguasa. Qadhi (hakim) Mahkamah Mazhalim, meskipun diangkat khalifah, tidak dapat diberhentikan saat menangani kasus terkait khalifah dan rakyatnya, menjamin objektivitas keputusan.
Praktik Kritik dalam Sejarah Islam: Keterbukaan dan Ketegasan
Sejarah Islam kaya akan contoh praktik kritik yang terbuka dan tegas kepada penguasa, menunjukkan bahwa kritik bukanlah hal yang menakutkan dalam pandangan Islam:
- Rasulullah SAW Mengoreksi Pejabat: Beliau mengoreksi Ibnu Lutfiah, seorang amil zakat yang menerima hadiah dari Bani Sulaim di luar tugasnya, secara terbuka di hadapan khalayak ramai.
- Wanita Mengoreksi Khalifah Umar bin Khattab: Seorang wanita bernama Khaulah mengoreksi kebijakan Khalifah Umar yang membatasi mahar 400 dirham, dengan mengutip Surah An-Nisa ayat 20. Umar menyadari kekeliruannya dan menyatakan, “Wanita ini benar dan Umar salah.” Hal tersebut menunjukkan keberanian rakyat dan kelapangan dada penguasa.
- Rakyat Mengoreksi Khalifah Umar tentang Ketaatan: Saat Umar meminta ketaatan, seorang laki-laki berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, akan kami luruskan dengan tajamnya pedang.” Umar malah bersyukur atas keberanian tersebut.
- Salman Al-Farisi Mengoreksi Umar tentang Pakaian: Salman mengkritik Umar yang mengenakan baju dari kain Yaman yang diperoleh dari harta ghanimah, mempertanyakan apakah itu bagiannya karena Umar bertubuh tinggi. Umar menjelaskan bahwa pakaian itu adalah sumbangan dari putranya, Abdullah, barulah Salman bersedia mendengar dan taat.
- Abu Muslim Al-Khaulani Mengoreksi Muawiyah: Abu Muslim mengkritik Muawiyah yang memotong jatah harta beberapa kaum Muslim. Muawiyah yang awalnya marah, kemudian menyadari kesalahannya dan mengembalikan jatah tersebut.
Ulama Mengoreksi Penguasa:
- Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengkritik Gubernur Yahya bin Said secara terang-terangan di mimbar masjid, mengingatkannya akan pertanggungjawaban di hadapan Allah atas kezaliman dalam mengangkat hakim yang zalim.
- Sultanul Ulama Imam Al-Izzuddin bin Abdissalam mengkritik Sultan Ismail yang bersekongkol dengan orang Kristen Eropa. Beliau bahkan dipecat dari jabatannya dan dipenjara, namun ini menunjukkan konsekuensi yang biasa terjadi dalam upaya kritik.
Kritik dan Batasannya: Membedakan dengan Hujatan dan Peran Buzzer
Dalam percakapan, ditegaskan bahwa dalam Islam, kritik yang dimaksud haruslah karena Allah semata, bukan untuk menjatuhkan penguasa. Niat yang lurus adalah kunci utama. Selain itu, kritik harus fokus pada kebijakan atau kinerja, bukan pada pribadi atau hal-hal fisik penguasa. Jika kritik mengarah pada hal-hal personal atau rasis, maka hal itu sudah melampaui batas dan tidak dibenarkan dalam syariat Islam.
Terkait metode kritik, Islam membolehkan dan bahkan mencontohkan kritik yang dilakukan secara terbuka. Apa-apa yang pernah dilakukan oleh Nabi, para Sahabat, dan ulama menunjukkan bahwa kritik disampaikan di hadapan khalayak ramai, di mimbar masjid, atau di tempat umum. Ini berbeda dengan nasihat individu yang bersifat pribadi untuk menutup aib. Kebijakan penguasa bersifat publik dan mempengaruhi masyarakat luas, sehingga kritik terhadapnya pun wajar dilakukan secara publik agar masyarakat juga mengetahui kebenaran dan perubahan yang terjadi.
Fenomena buzzer juga menjadi perhatian. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haram terkait aktivitas buzzer atau pendengung yang menyebarkan hoaks, fitnah, namimah (adu domba), bullying, aib, gosip, atau membenarkan yang salah untuk keuntungan ekonomi maupun non-ekonomi. Sejarah Islam mencatat sosok Al-Walid al-Mughirah sebagai buzzer kekuasaan di zaman Nabi Muhammad SAW. Ia adalah penyair ulung yang mengendalikan opini publik untuk melawan Rasulullah SAW dan Al-Quran, namun kebusukannya akhirnya dibongkar oleh Allah SWT dalam surah Al-Qalam ayat 10-15.
Bolehkah “Buzzer Dakwah”?
Jika buzzer diartikan sebagai orang yang mensosialisasikan atau mempublikasikan sesuatu, maka “buzzer dakwah” diperbolehkan bahkan wajib jika konten yang disebarkan adalah kebenaran dari ajaran Islam. Namun, jika “buzzer dakwah” menyebarkan kebohongan, fitnah, atau memutarbalikkan fakta demi kepentingan tertentu, maka hukumnya adalah haram, seperti halnya buzzer pemerintah yang menyebarkan kebohongan.
***
Kritik terhadap penguasa dalam Islam adalah sesuatu yang niscaya. Ia adalah bagian dari dakwah, amar makruf nahi munkar, dan nasihat yang wajib dilakukan untuk menjaga tegaknya Islam secara totalitas. Penguasa yang ideal seharusnya lapang dada menerima kritik, sebagaimana dicontohkan dalam sejarah.
Maka, jangan takut mengkritik, terutama jika kritik tersebut dilandasi niat ikhlas karena Allah semata, fokus pada kebijakan yang tidak adil atau salah, dan disampaikan dengan adab syariat Islam tanpa mengarah pada hal-hal personal atau rasisme. Meskipun ada risiko dan tantangan, istiqamah dalam menyampaikan kebenaran adalah kemuliaan, dan in sya Allah akan membawa kebaikan bagi negeri ini dan umat secara keseluruhan.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: