
“Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang akan memberikan rezeki kepada mereka dan kepada kalian. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (TQS. al-Isra [17]: 31)
/
Bermula dari temuan dan laporan bahwa mayoritas masyarakat prasejahtera memiliki anak lebih dari dua orang, Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat yang belakangan ini rajin turun ke lapangan, mengusulkan ide dilakukannya vasektomi. Vasektomi tersebut diusulkan menyasar para kepala keluarga prasejahtera untuk proaktif menjalani program KB guna mengontrol angka kelahiran -yang pada gilirannya diasumsikan dapat mengurangi angka kemiskinan di Jawa Barat.
Dengan berdalih peduli akan beban keluarga prasejahtera, Dedi Mulyadi berusaha untuk membantu mereka dalam mengurangi beban. Beban yang dimaksud antara lain adalah biaya kehamilan dan persalinan, terutama jika harus dilakukan operasi caesar.
Sontak usulan dilakukannya vasektomi tersebut menunai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Sebagian mendukung usulan yang suatu waktu bisa saja menjadi kebijakan populis dari gubernur yang baru menjabat di daerah Jawa Barat ini. Sebagian lainnya menolak karena vasektomi dianggap melanggar HAM dan juga pilihan yang tidak tepat dari sudut pandang agama.
Vasektomi: Mereduksi Populasi dan Hak Reproduksi
Dikaitkannya vasektomi dengan upaya penurunan angka kemiskinan adalah kesalahan yang amat mendasar. Seolah-olah masalah kemiskinan yang terjadi selama ini adalah murni karena meningkatnya jumlah penduduk. Cara pandang ini disebut sebagai reduksionisme demografis, karena menyempitkan masalah kemiskinan yang kompleks menjadi persoalan populasi belaka.
Dalam kerangka pemikiran reduksionisme demografis ini, sedikitnya jumlah penduduk dilihat sebagai faktor yang bisa meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat. Dengan dasar itulah, program vasektomi -sebagai bentuk kontrasepsi permanen- dijadikan sebagai alat untuk mengontrol angka kelahiran. Kemudian dengan menurunnya angka kelahiran, beban ekonomi masyarakat pun menjadi hilang. Kondisi seperti itulah -ketiadaan beban ekonomi pada sebagian masyarakat- dianggap sebagai terkontrolnya angka kemiskinan.
Namun, cara pandang seperti itu mengabaikan berbagai aspek lainnya. Aspek struktural dan sistemik yang justru sangat signifikan dalam menyebabkan dan melanggengkan kemiskinan, diabaikan. Padahal faktor-faktor seperti kesenjangan distribusi kekayaan, ketimpangan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, tidak tersedianya lapangan kerja, serta ketidakadilan dalam sistem politik dan ekonomi, adalah penyebab terjadinya kemiskinan secara struktural. Sedemikian sistemiknya, kemiskinan yang tercipta tidak mudah dientaskan karena sengaja dipertahankan. Begitulah Kapitalisme yang batil dan rusak menyuburkan dampak yang merugikan sekaligus menyudutkan masyarakat.
Meningkatnya jumlah penduduk dituduh sebagai biang keladi masalah kemiskinan ini. Sementara pada kenyataannya, penurunan angka kelahiran takkan pernah bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada secara tuntas. Justru jika negara bisa menjalankan pemerintahan dengan kuat, mendidik sumber daya manusia dengan tepat, serta mengeluarkan kebijakan politik dan ekonomi yang adil, angka kelahiran yang tinggi pun tidak akan menjadi sebuah persoalan.
Memandang jumlah anak yang lahir dan mengaitkannya dengan kemiskinan, secara tidak langsung menyiratkan bahwa anak-anak dianggap sebagai beban ekonomi. Padahal anak-anak adalah sumber daya manusia yang mempunyai potensi di masa depan, yang pada gilirannya bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pandangan yang menganggap anak sebagai beban ekonomi tentu saja sangat problematik. Menekan angka kelahiran tanpa disertai upaya maksimal negara untuk meningkatkan kualitas hidup justru bisa menciptakan generasi yang kecil tapi dengan kondisi yang tetap miskin.
Efektivitas yang Dipertanyakan
Meskipun program vasektomi tampak seperti solusi yang logis dan cepat untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, efektivitasnya dalam pengentasan kemiskinan bisa dipertanyakan. Setidaknya bisa dicermati dari beberapa hal berikut:
Pertama, kemiskinan bersifat multidimensi. Kemiskinan tidak selalu menyangkut tentang kurangnya pendapatan, tetapi juga terkait dengan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, serta hak-hak sosial dan politik. Karenanya, betapa pun angka kelahiran bisa ditekan tapi jika tidak disertai dengan investasi terhadap kualitas hidup dan pengembangan sumber daya manusia, maka kemiskinan akan tetap ada -sekalipun dengan jumlah masyarakat miskin yang lebih sedikit.
Kedua, vasektomi tidak pernah terlihat sebagai program yang berhasil dan tercatat dalam indikator-indikator pembangunan ekonomi. Hal ini menunjukan bahwa vasektomi bukanlah penentu keberhasilan mendasar bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial.
Ketiga, program vasektomi bertentangan dengan hak asasi manusia dan juga menyalahi aturan agama. Hak keluarga untuk bereproduksi tidak bisa ditentang. Agama juga sudah memberikan solusi terbaik jika karena suatu kondisi yang kurang memungkinkan, sebuah keluarga bisa mengatur atau mengendalikan program reproduksinya dengan tepat.
Demikianlah. Jika vasektomi dijadikan sebagai alat utama untuk menurunkan angka kemiskinan justru merupakan kegagalan sejak konsepsinya, karena terlalu menyempitkan permasalahan kemiskinan yang sangat kompleks. Selain itu, vasektomi juga tidak akan efektif karena menimbulkan risiko pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan juga menyalahi ajaran agama.
Biang Masalah
Mengaitkan kemiskinan dengan meningkatnya populasi lalu menyebutnya sebagai penyebab utama, adalah pernyataan yang menyesatkan. Jika pernyataan tersebut lahir dari asumsi bahwa pertumbuhan populasi akan melampaui pertumbuhan produksi pangan, tidak pernah sekalipun umat manusia mengalami kelaparan, berpenyakit, lalu mati karenanya. Bencana yang terjadi justru disebabkan oleh kesenjangan distribusi kekayaan akibat diterapkannya sistem Kapitalisme. Kekayaan yang dihasilkan negara dalam sistem Kapitalisme hanya dikuasai oleh segelintir orang. Terciptalah jurang ketimpangan ekonomi dan sosial yang lebar dan dalam.
Dengan sistem yang rusak itu jugalah, negara dengan sumber daya alam yang seharusnya bisa menyejahterakan rakyat, berbalik menjadi negara miskin yang tak bisa menghidupi rakyatnya. Kemiskinan pun tercipta. Bukan karena populasi bertambah, tapi karena sistem Kapitalisme yang diterapkan menghendaki pengendalian sumber daya alam milik negara oleh segelintir pihak saja, baik swasta maupun asing. Kekayaan yang tak terdistribusi dengan baik itulah yang kemudian membuat roda ekonomi tidak berputar lalu melahirkan sejumlah dampak bawaan: daya beli menurun, perekonomian lesu, pengangguran bertambah, akses terhadap pendidikan tersumbat, dan pada akhirnya kemiskinan menggelembung. Inilah lingkaran setan kemiskinan yang dilahirkan Kapitalisme.
Pihak yang kemudian disalahkan adalah warga miskin yang memiliki banyak anak. Sementara negara tidak berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan baik dan layak. Negara justru berpihak pada para kapitalis dan mereka yang menjadi kroni-kroninya. Ironis.
Kenyataan bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial sebagai selimut kemiskinan disebabkan oleh sistem Kapitalisme sudah terang benderang. Kapitalisme-lah yang seharusnya dijadikan sasaran untuk dihilangkan agar kemiskinan bisa dientaskan dengan tuntas. Sistem kehidupan yang melahirkan kesenjangan seperti itu harus segera diganti dengan sistem Islam yang membawa berkah.
“Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya sendiri.” (TQS. al-’Araf [7]: 96)
Islam sendiri mengatur pengelolaan sumber daya alam dengan sangat jelas. Pihak asing maupun swasta tidak akan dibiarkan menguasainya kecuali hanya sebatas dijadikan sebagai vendor -jika negara membutuhkan jasanya, baik dalam produksi maupun distribusi. Semua hasil pengelolaan sumber daya alam akan dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rakyat, dalam bentuk pelayanan kebutuhan-kebutuhan mendasar tanpa memberatkan yang berhak mendapatkannya.
Selain itu juga, sebagai sebuah kewajiban pemerintah yang menerapkan Islam akan berusaha untuk menciptakan suatu ekosistem sehingga lapangan pekerjaan terbuka dan masyarakat yang membutuhkan bisa berdaya karenanya. Karena pada dasarnya, orang-orang yang membutuhkan itu harus diberdayakan, bukan lantas dibiarkan dan malah diambil hak-haknya dengan paksa melalui sebuah kebijakan yang tidak memanusiakan.[] Etimet Mea