
Akibat Jauh dari Ulama: Memahami Konsekuensi dan Pentingnya Kebersamaan
Siapakah Ulama yang Dimaksud?
Dalam konteks ini, ulama yang dimaksud bukanlah sekadar orang yang banyak ilmunya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hendaklah kalian bergaul dengan para ulama, yaitu ulama Amilin…”
Ulama Amilin adalah mereka yang mengamalkan ilmunya, yang senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” Mereka adalah pewaris para nabi; mewariskan ilmu, bukan dinar atau dirham. Bergaul dengan mereka hakikatnya adalah bergaul dengan para nabi, karena merekalah yang memahami tentang hakikat Allah (makrifat kepada Allah).
Menghidupkan Hati dengan Cahaya Hikmah
Allah SWT menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah, yaitu ilmu yang bermanfaat. Hati manusia memiliki beberapa jenis:
- Qolbun Salim (Hati yang Selamat/Sehat): Hati yang semangat dalam ketaatan kepada Allah, merasakan kenikmatan dalam beribadah, dan bergairah dalam melakukan kebaikan.
- Qolbun Maridh (Hati yang Sakit): Hati yang merasakan ketidaknyamanan saat beribadah, tidak merasakan kebaikan dari membaca Al-Qur’an atau shalat malam.
- Qolbun Mayyit (Hati yang Mati): Hati yang merasakan hilangnya iman dan jauh dari Allah SWT.
Mendengarkan nasihat dari para ulama yang perkataan dan perbuatannya sejalan, serta senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, adalah seperti air hujan yang menghidupkan tanah tandus. Ini adalah esensi dari mendekati para ahli hikmah.
Tiga Jenis Ulama dan Pentingnya Interaksi dengan Mereka
Imam Nawawi membagi ulama menjadi tiga jenis:
1. Ulama yang memahami hukum-hukum Allah (Ahli Fiqih): Kepada merekalah kita bertanya tentang hukum syariat. Banyak kemaksiatan terjadi karena ketidaktahuan hukum, misalnya terlibat riba. Oleh karena itu, bergaul dengan ulama fiqih sangatlah penting.
2. Ulama yang memahami Dzat Allah (Ahli Makrifat): Mereka adalah ulama yang mengamalkan ilmunya, yang takwa, dan senantiasa berzikir. Mereka adalah teladan dari kalangan salafus shaleh yang bukan hanya berilmu mumpuni tetapi juga ahli ibadah dan sangat hati-hati (wara’).
3. Jenis ketiga ini adalah ulama yang merupakan gabungan dari keduanya, yang ilmunya memancarkan makrifat kepada Allah, dan mereka juga ahli ibadah. Dari merekalah kita bukan hanya belajar ilmu fiqih, tetapi juga adab (akhlak).
Tiga Akibat Menjauh dari Ulama dan Fuqoha
Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa akan datang suatu zaman ketika banyak orang menjauh dari ulama dan ahli fiqih. Pada masa itu, Allah akan menimpakan tiga bencana kepada mereka:
- Allah akan mengangkat keberkahan dari mata pencarian mereka. Ketika seseorang mencari nafkah, bertani, jual-beli, atau bekerja tanpa ilmu, boleh jadi tindakan mereka bertentangan dengan hukum syariat. Meskipun mungkin rezeki melimpah dan kaya raya, keberkahan akan dicabut. Contohnya, orang yang terlibat riba, meski hartanya bertambah, mungkin keluarganya sakit-sakitan, rumah tangganya berantakan, atau anak-anaknya jauh dari Allah dan terjerumus dalam kenakalan. Keberkahan hanya datang saat kita beramal dan mencari nafkah dengan cara yang dihalalkan Allah SWT.
- Allah akan menguasakan kepada mereka penguasa yang sulit (zalim). Hal ini terjadi karena rakyat yang bodoh, yang jauh dari ulama dan ahli fiqih, seringkali memilih pemimpin berdasarkan hal-hal superficial seperti suka/tidak suka, penampilan, atau kesan sederhana, bukan berdasarkan kriteria syariat Islam. Dalam Islam, seorang pemimpin haruslah Muslim, laki-laki, baligh, berakal, dan yang terpenting adalah adil dengan menerapkan syariat Islam. Mustahil ada pemimpin yang adil dalam sistem sekuler, karena sistem yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah zalim. Oleh karena itu, jika umat menjauh dari ulama yang memahami politik Islam, mereka akan terus menerus memilih pemimpin yang berpotensi zalim.
- Mereka akan meninggalkan dunia tanpa membawa iman. Ini adalah akibat paling parah. Banyak orang meninggal dalam keadaan durhaka atau kufur kepada Allah karena mereka jauh dari bimbingan ulama. Menjauh dari ulama berarti kehilangan bimbingan yang esensial untuk menjaga keimanan hingga akhir hayat.
Bagaimana Bergaul (Mujalasah) dengan Ulama?
Untuk menghindari akibat-akibat tersebut, kita perlu meneladani para generasi salafus shaleh yang bergaul dengan ribuan ulama. Berikut adalah gambaran bagaimana seharusnya kita bergaul dengan ulama:
- Menghadiri Majelis Ilmu Mereka (Mujalasah Fisik): Ini adalah cara terbaik untuk menyerap ilmu dan adab mereka. Mengirimkan anak ke pesantren adalah salah satu bentuk mendidik mereka untuk terbiasa bergaul dengan ulama. Kehadiran fisik memungkinkan penyerapan adab dan akhlak secara langsung.
- Memprioritaskan Adab daripada Ilmu: Seorang murid Imam Malik disebutkan belajar adab selama 18 tahun dan ilmu hanya 2 tahun. Ini menunjukkan bahwa adab harus dipelajari sebelum ilmu, karena ilmu tanpa adab bisa merusak dan tidak berkah. Ilmu yang tidak mewujud dalam amal dan akhlak karimah adalah seperti pohon tanpa buah.
- “Al-Ilmu Yu’thola wa la Yu’ta” (Ilmu Itu Didatangi, Bukan Mendatangi): Imam Malik pernah menolak undangan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk mengajar di istana; menekankan bahwa ilmu harus didatangi sebagai bentuk memuliakan ilmu itu sendiri. Saat ini, banyak keberkahan ilmu dicabut karena kurangnya pemuliaan terhadap ilmu dan ulama, seperti mengundang ulama privat ke rumah tanpa penghargaan yang cukup.
- Memanfaatkan Majelis Ilmu, Bukan Hanya Media Sosial: Meskipun belajar melalui media sosial tidak dilarang dan tetap mendatangkan keberkahan, keberkahan yang didapat dari hadir langsung di majelis ilmu jauh lebih besar. Malaikat senantiasa mencari dan turut hadir dalam majelis ilmu, mendoakan orang-orang yang hadir.
- Para Bapak Juga Perlu Hadir: Ada fenomena menarik di mana majelis taklim lebih banyak dihadiri ibu-ibu. Para bapak, meskipun sibuk bekerja, perlu menyempatkan diri untuk hadir di majelis ilmu demi keberkahan hidup.
Ciri Kehidupan yang Berkah
Kehidupan yang berkah bukan hanya diukur dari aspek materi. Keberkahan adalah bertambahnya kebaikan. Harta yang berkah akan menumbuhkan rasa syukur, menjadikan seseorang semakin taat kepada Allah, banyak bersedekah, dan berinfak untuk kebaikan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang semakin menjadikan orang takut dan bertakwa kepada Allah. Contoh nyata adalah kisah pengusaha yang omsetnya miliaran tetapi tidak pernah membayar zakat karena hartanya habis diinfakkan kepada fakir miskin—itulah harta yang berkah.
Kriteria Ulama Panutan di Masa Kini dan Menyikapi Perbedaan Pendapat
Ulama panutan adalah mereka yang memiliki rasa takut yang besar kepada Allah (takwa). Mereka adalah ulama akhirat, yang tidak mencari kepentingan dunia, harta, ketenaran, atau kedekatan dengan penguasa. Mereka adalah pewaris Nabi yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mendorong umat untuk terikat dengan syariat Allah, bahkan memperjuangkan tegaknya syariat. Ulama yang menentang syariat atau kewajiban menegakkan syariat, sekalipun ahli dalam bidang lain, bukanlah ulama di bidang syariat.
Mengenai perbedaan pendapat antar ulama, misalnya dalam mengoreksi penguasa: sebagai seorang muqallid (orang awam yang mengikuti), kita harus melakukan tarjih (memilih pendapat yang paling kuat). Kita dapat melihat dari:
- Kekuatan Dalil: Pilih pendapat yang dalilnya (dari Al-Qur’an dan Sunnah) lebih kuat dan jelas.
- Aspek Ketakwaan dan Pengamalan Ulama: Lihat apakah ulama tersebut mengamalkan pendapatnya sendiri. Misalnya, apakah ulama yang melarang mengoreksi penguasa secara terang-terangan, juga melakukan koreksi secara diam-diam? Mengoreksi penguasa adalah kewajiban yang sangat penting karena kemaksiatan penguasa berdampak pada jutaan rakyat.
Pentingnya Bermazhab dan Mengikuti Mujtahid
Dalam Islam, status seorang Muslim yang mukallaf hanya ada dua: (1) seorang mujtahid (mampu menggali hukum sendiri), atau (2) seorang muqallid (mengikuti mujtahid). Sebagai muqallid, kita harus berpegang pada pendapat mujtahid. Pernyataan “tidak bermazhab” seringkali menunjukkan kesombongan atau ketidaktahuan, karena bahkan Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar, juga bermazhab. Bermazhab adalah bukti pertanggungjawaban kita kepada Allah karena ketidakmampuan kita menggali hukum sendiri.
***
Ingatlah sebuah pepatah: “Al-Ilmu Laisa bil riwayah walakinnal khasyyah.” Ilmu itu bukan dengan banyaknya mengumpulkan riwayat atau hafalan, tetapi yang sebenarnya adalah ketika kita semakin banyak ilmu, semakin menumbuhkan rasa takut kepada Allah SWT.
Semoga kita semua didekatkan dan senantiasa hadir di tengah-tengah para ulama akhirat, serta mendapatkan keberkahan dalam setiap langkah kita. Semoga Allah senantiasa mengaruniakan kepada kita dan keturunan kita menjadi calon ulama dan pemimpin yang shaleh, generasi Ahlul Qur’an.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: