
Yahudi di Indonesia: Menelusuri Jejak Sejarah Sejak VOC hingga Tarekat Freemasonry
Sejarah keberadaan komunitas Yahudi di Indonesia dan pengaruh Freemasonry merupakan topik yang seringkali terlewatkan dalam narasi sejarah umum. Namun, melalui penelusuran sejarah, terungkap jejak-jejak yang menunjukkan kehadiran dan pengaruh mereka yang signifikan sejak berabad-abad lalu hingga pembentukan negara ini.
Awal Kehadiran Yahudi di Nusantara
Kehadiran orang Yahudi di Nusantara bukanlah fenomena baru. Catatan sejarah menunjukkan bahwa mereka sudah terlibat dalam perniagaan di kepulauan ini sejak abad ke-7, berlayar bersama rombongan pedagang Arab Muslim melalui jalur sutra dan perairan. Salah satu bukti awal ditemukan dalam karya Syekh Buzurq bin Syahriyar, “Ajaib al-Hind Barrihi wa Bahrihi wa Jazairihi” (abad ke-10), yang mengisahkan pedagang Yahudi bernama Yisq al-Yahud dari Oman yang berlabuh di Sarira atau Sri Buza (Sriwijaya, Palembang/Jambi).
Pada abad ke-13, keberadaan pedagang Yahudi juga tercatat di Pelabuhan Alfansur atau Barus, Sumatera Utara. Rahib Yahudi dari Kairo, Abraham Maimonides (Ibrahim bin Musa bin Maimun), bahkan mengeluarkan fatwa terkait seorang juru niaga Yahudi wanita yang berdagang kapur barus dan kayu gaharu di sana.
VOC dan Peran Yahudi dalam Kolonialisme
Ketika penjelajahan samudra beralih menjadi imperialisme dan kolonialisasi, peran komunitas Yahudi menjadi semakin menonjol. Vereenigde Oostind-Indische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602, ternyata sebagian besar didanai oleh para bankir Yahudi. Bahkan, dari 17 direksi VOC yang dikenal sebagai ‘Heren van Zeventien’, 80% aset sahamnya dimiliki oleh orang Yahudi Belanda, dengan nama seperti Isaac Le Maire sebagai pemegang saham terbesar.
VOC secara aktif mendatangkan orang Yahudi Belanda untuk menjadi pegawai di berbagai wilayah Nusantara, khususnya di Batavia. Kemampuan mereka dalam berkomunikasi dan membaca huruf Arab (termasuk huruf Jawi atau Arab Pegon yang umum di Nusantara) menjadikan mereka penerjemah yang berharga. Para pejabat VOC, baik Yahudi maupun Protestan, pada awalnya bahkan bermukim di sinagog dan loji-loji Yahudi di Batavia dan Kepulauan Onrust.
Freemasonry dan Konsep Tata Dunia Baru
Latar belakang berdirinya VOC tidak terlepas dari keberadaan organisasi rahasia Yahudi, Freemasonry. Gerakan ini bermula pasca Perang Salib pada tahun 1312, melibatkan kelompok seperti Knights Templar dan Ordo Sion yang memiliki konsepsi teologi Judeo-Christianity (Kristen yang tetap menjaga ritual keyahudian). Mereka disebut mendapatkan keuntungan besar dari Perang Salib dan berambisi membangun kembali Baitul Maqdis (Temple of Solomon).
Setelah Perang Salib, para Templar melarikan diri ke Skotlandia (dilindungi oleh Raja Robert the Bruce, yang disebut menginspirasi nama dan kostum Batman) dan Andalusia. Mereka kemudian mengidentifikasi diri sebagai ‘Mason‘ (tukang batu/bangunan) dan mendirikan Grand Loge in England di Britania, dengan tujuan menguasai dunia melalui hegemoni perniagaan. City of London, pusat keuangan yang terkait dengan Freemasonry dan dinasti Rothschild, juga turut mendirikan VOC serta East Indian Company (EIC) milik Inggris.
Pada 24 Juni 1717, dalam sebuah pertemuan rahasia di London, komunitas Mason merancang apa yang mereka sebut sebagai “Novus Ordo Seclorum” atau “The New World Order” (Tata Dunia Baru). Tata dunia baru ini mengadopsi “Khamsah Qanun Fii Talmud” (lima asas dalam ajaran Yahudi), yaitu:
- Monoteisme Kultural
- Humanisme atau Kemanusiaan (diadopsi dari ide kesetaraan dan persamaan Revolusi Prancis)
- Nasionalisme (negara bangsa)
- Demokrasi atau Kedaulatan Rakyat (liberalisasi pendapat dan kedaulatan di tangan rakyat)
- Sosialisme atau Keadilan Sosial
Asas-asas ini kemudian secara sistematis ditanamkan dan diterapkan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Infiltrasi dan Pengaruh di Nusantara
Para Templar juga menyusup ke Portugal dan Spanyol, menyaru sebagai ‘Kesatria dari Orde Kristus’, dan terlibat dalam ekspedisi pelaut Portugis seperti Vasco da Gama, Diogo Lopez De Sequeira, dan Alfonso De Albuquerque, seringkali berperan sebagai tenaga militer dan penerjemah.
Pengaruh Mason juga merambah ke dalam pemerintahan kolonial di Indonesia. Para Gubernur Jenderal Belanda, seperti Herman Willem Daendels, Thomas Stamford Raffles, dan Johannes van den Bosch (yang terkenal dengan kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa), disebut sebagai anggota Mason.
Pembentukan De Javasche Bank pada tahun 1828 (yang kemudian menjadi Bank Indonesia) juga dikaitkan dengan kebijakan keluarga Yahudi Eropa (Heren van Zeventien, City of London, dan dinasti Rothschild). Ini menunjukkan bagaimana ekonomi Indonesia, bahkan setelah merdeka, diklaim sangat bergantung pada kebijakan moneter internasional yang berlandaskan sistem riba dan dominasi Dolar AS.
Freemasonry juga merekrut pribumi terdidik Indonesia. Contohnya adalah Raden Syarif Bustaman (Raden Saleh), yang menjadi anggota loji di Belanda, dan Syarif Abdurrahman dari Pontianak, yang aktif di loji di Surabaya. Selain itu, Baron van Engelnagel mendirikan Pekalongan Teosofi pada 1883, sebuah ajaran yang berusaha menyisipkan pemikiran keyahudian ke dalam komunitas Muslim di Jawa.
Populasi Yahudi dan Zionisme di Hindia Belanda
Meskipun jumlahnya tidak besar, komunitas Yahudi di Hindia Belanda tercatat dalam sejarah. Pada tahun 1850, Yakob Safir mendata setidaknya 20 keluarga Yahudi di Batavia yang bekerja untuk pemerintah kolonial. Kemudian, pada 1921, Israel Cohen mencatat sekitar 2.000 populasi Yahudi di Batavia saja.
Berdasarkan sensus pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1930, terdapat sekitar 2.500 orang Yahudi di Jawa dan Sumatera. Mereka tergabung dalam “Association of Jews in the Dutch Indies” (Ass. J. In de Dutch) dan aktif dalam World Zionist Conference di Batavia, yang secara khusus menggalang dana dan dukungan untuk pendirian negara Yahudi di Palestina.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, banyak anggota World Zionist Conference, termasuk beberapa pribumi yang disebut “teryahudisasi”, melarikan diri ke Palestina karena fasisme Jepang sangat membenci ajaran Yahudi dan Zionisme. Setelah kemerdekaan Indonesia (1945) dan proklamasi negara Zionis Yahudi Israel (1948), banyak anggota konferensi ini, baik dari Belanda maupun Indonesia, kemudian eksodus ke Palestina/Israel. Bahkan, pada tahun 1958, mereka mendirikan organisasi “Tempo Doeloe” di Israel yang dipimpin oleh Susan Leer.
***
Meskipun populasi orang Yahudi di Indonesia secara historis tidak banyak, pengaruh leluhur mereka, terutama melalui koneksi dengan Freemasonry dan dominasi ekonomi, disebut sangat kuat dalam membentuk republik ini. Asas-asas “Khamsah Qanun Fii Talmud” yang diadopsi oleh Mason, seperti humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme, dijejalkan melalui politik etis dan pendidikan di era kolonial, sehingga membentuk pola pikir dan struktur bangsa. Cengkeraman ideologi ini berdampak besar, bahkan turut berkontribusi pada berdirinya negara Zionis Yahudi di Palestina pada tahun 1948.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: