
NgajiShubuh.Or.Id — Polemik pembatalan visa haji furoda menyisakan dugaan yang menyibak tata kelola haji saat ini. Ditanggapi oleh Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, pemerintah Arab Saudi memang sedang melakukan penataan penyelenggaraan ibadah haji dengan menerbitkan berbagai aturan baru. Ia mengatakan, pengurusan visa haji furoda dilakukan oleh agen dan bekerja sama langsung dengan otoritas di Saudi. Dengan demikian, penyelesaian persoalan juga dilakukan oleh agen penyelenggara haji furoda.
Haji adalah bagian rukun Islam, hukumnya wajib bagi yang mampu secara finansial dan fisik. Di sinilah umat Islam diajak untuk mengupayakan. Begitu pun dengan pemerintah Indonesia maupun Arab Saudi. Hanya saja kesemrawutan dan kekeliruan ibadah haji dimulai ketika dikapitalisasi. Kapitalisasi ibadah haji menjadi ladang bisnis terlihat dari beberapa hal sebagai berikut. Pertama, pengelolaan haji yang diserahkan kepada pihak swasta atau agen. Hal ini menunjukkan Pemerintah lepas tangan. Seharusnya ibadah haji dikelola negara murni untuk kelancaran, kenyamanan, dan kesempurnaan ibadah haji.
Kedua, ada perbedaan golongan yakni haji reguler, haji furoda, haji plus. Golongan kasta berhaji ini menunjukkan perbedaan kualitas, kecepatan, dan biaya berangkat haji. Seharusnya Pemerintah baik Arab Saudi maupun Indonesia memberikan fasilitas yang terbaik dengan harga yang terjangkau. Bukan malah perkara teknis yang ribet dan memberatkan dari segi biaya.
Ketiga, skema pembayaran riba ajang komersialisasi ibadah. Dulu sebelumnya, berangkat haji reguler tidak selama ini, yakni harus menunggu sampai 30 tahun lebih dari tahun daftarnya. Hal itu dipicu dengan skema pembayaran riba, ketika masyarakat diminta pesan kursi dulu dengan membayar kurang lebih 25 juta. Uang 25 juta calon jemaah tersebut masuk dan mengendap di bank. Tentu dana tersebut diputar pihak bank selama 30 tahun lamanya.
Secara fakta, memang ibadah haji membutuhkan biaya, tetapi tidak lantas menjadi ajang komersialisasi ibadah. Dari awal, Pemerintah harusnya menetapkan biaya haji sekian dan sekian. Tidak usah dengan harus dengan memesan kursi selama puluhan tahun. Sehingga jika ada yang memiliki tabungan mencapai nisab lolos berangkat haji. Merekalah yang bisa berangkat haji terlebih dahulu. Selain itu, ibadah tidak boleh dijadikan ajang komersialisasi.
Dampak pengelolaan haji secara kapitalisme ini adalah mereka harus menunggu lama untuk berangkat haji. Bahkan mereka melakukan haji di usia yang sudah lanjut dan renta. Ketika masih prima dan kuat, mereka tidak diberi kesempatan untuk bisa berangkat dan tidak dikondisikan mampu berangkat oleh negara karena masalah antrian yang terlalu panjang dan administrasi yang tidak memudahkan mereka.
Inilah implikasi jika pengelolaan haji dengan sistem kapitalisme, yakni mengelola haji dengan mengutamakan aspek materi dan mengambil keuntungan. Seharusnya pengelolaan dilakukan atas dorongan akidah dan berjalan berdasarkan tuntunan syariat. Hal itu akan tampak pada bagaimana upaya negara Arab Saudi maupun Indonesia menyelenggarakan haji benar-benar menyasar kepada mereka yang mampu secara fisik maupun finansial.
Seyogianya, hal ini menyadarkan umat Islam akan penting persatuan umat di bawah naungan institusi Islam yang disebut Khilafah. Karena hanya dengan sistem pemerintahan Khilafah, ibadah haji dikelola berdasarkan syariat Islam bukan dengan cara-cara sekuler yang jauh dari Islam. Begitu wilayah negeri-negeri Muslim akan disatukan dalam naungan Khilafah tanpa ada sekat pemisah nasionalisme sebagaimana yang terjadi hari ini.[] Ika Mawarningtyas