
NgajiShubuh.Or.Id — Tagar #SaveRajaAmpat menggema di berbagai media sosial. Netizen ramai-ramai mengkritisi eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) mengonfirmasi kegiatan pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, 26-31 Mei 2025. Sebenarnya ini terlambat, mengapa tidak sejak dahulu? Walaupun ini adalah bagian dari upaya penegakan hukum, perlindungan lingkungan hidup di kawasan pesisir, dan pulau-pulau kecil yang memiliki nilai ekologis yang urgen, Pemerintah tidak boleh seenaknya memberikan izin tambang kepada pihak swasta.
Sedihnya lagi, mengapa harus menunggu kerusakan ekologis baru ada gerakan dari Pemerintah untuk menghentikan sementara penambangan di sana. Kepekaan Pemerintah tentang masalah yang ditimbulkan terhadap eksploitasi sumber daya alam (SDA) sangat lemah. Harusnya sejak dulu, sebelum dimulai penambangannya, sudah ada aturan dan sistem yang rinci. Dalam menyorot polemik Raja Ampat ada beberapa catatan penting.
Pertama, soal penambangan nikel di Raja Ampat oleh pihak swasta tidak hanya dihentikan sementara tetapi harus selamanya. Perusahaan yang telah merusak alam wajib bertanggung jawab untuk mengembalikan keasrian lingkungan yang telah dirusak dengan pendekatan holistik dan terintegrasi. Langkah ini dilakukan untuk memperbaiki lingkungan yang terdampak penambangan nikel. Dalam Islam, pengelolaan SDA tidak boleh diswastanisasi dan dikapitalisasi, sehingga segala pintu yang menuju ke sana harus ditutup oleh negara.
Kedua, undang-undang tentang pengaturan sumber daya alam di negeri ini dibuat berdasarkan landasan sekuler kapitalisme. Akibatnya, perangkat hukum seolah-olah melegitimasi kerusakan alam dan pengurasan SDA yang dilakukan oleh perusahaan swasta asing. Sebagaimana, UU Migas, UU Omnibus Law, atau UU Minerba adalah karpet merah kapitalis asing untuk mengeksploitasi alam. Makanya aneh kalau baru bergejolak sekarang. Seharusnya kegejolak itu timbul ketika pembuatan UU tersebut.
Ketiga, aturan sekuler buatan hawa nafsu manusia sangat lemah dalam mengatur manusia itu sendiri. Seharusnya Pemerintah sadar untuk mengatur kehidupan termasuk SDA menggunakan aturan yang telah diturunkan Allah Swt., bukan malah membuat hukum sendiri berdasarkan kepentingan kapitalis. Kesombongan manusia yang mengabaikan aturan yang diturunkan Allah Swt. telah menjadi pintu gerbang keserakahan manusia dalam mengeksploitasi dan merusak alam.
Keempat, yang paling bertanggung jawab terkait kerusakan alam yang ada di Raja Ampat tidak hanya presiden dan segala perangkatnya yang mengizinkan perusahaan melakukan penambangan. Namun, undang-undang dan sistem yang diterapkan di negeri ini juga. Terjadinya kapitalisasi SDA itu sudah lama, tidak hanya di era Joko Widodo, tetapi sejak berdirinya negeri ini. Pintu swastanisasi asing dibuka sedikit-sedikit hingga terjadi eksploitasi alam dengan segala bentuk kerusakan yang ditimbulkan. Makin ke sini, eksploitasi makin tidak terkendali hingga benar-benar menciptakan kerusakan di darat, laut, dan udara.
Kelima, jangan salah alamat soal Raja Ampat. Akar masalah terjadinya eksploitasi alam adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme yang mengabaikan syariat Islam. Tuntutan akidah Islam dalam menerapkan aturan adalah secara keseluruhan, bukan hanya soal ibadah ritual saja, tetapi juga dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam harus menyandarkan aturan yang dibuat berdasarkan syariat Islam.
Oleh karena itu, untuk menuntaskan problem SDA tidak bisa cuma menghentikan izin tambang, tetapi harus merevisi undang-undang yang semula mengabaikan syariat Islam menjadi menegakkan syariat Islam secara totalitas. Penerapan syariat Islam dalam bingkai negara telah dicontohkan Nabi Muhammad saw., tidak selayaknya negeri mayoritas muslim malah menerapkan gagasan demokrasi sekuler kapitalisme yang lahir dari orang-orang kafir yang tidak memahami hakikat kehidupan dan dirinya sendiri. Sudah saatnya merevisi aturan, undang-undang, atau hukum agar bersujud kepada Allah Swt., yakni dengan kembali menerapkan khilafah Islam.[] Ika Mawarningtyas