Ratusan bangunan liar (bangli) di tiga desa wilayah Cikarang Utara, telah dibongkar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi, pada Senin (20/10/2025). Lahan tersebut akan dikembalikan sebagai daerah resapan air, normalisasi Anak Kali Cilemah Abang, ruang terbuka hijau, atau kebutuhan masyarakat lainnya (indexbekasi.com, 23/10/2025).
Penertiban bangli yang menyasar 515 bangunan di tiga desa di sepanjang bantaran Kali Sekunder ini berjalan ricuh, saling dorong dan adu mulut dengan Satpol PP Kabupaten Bekasi. Warga tak terima jika dilakukan tanpa kompensasi.
Solusi jangka pendek, Pemkab membuat tenda-tenda darurat bagi warga terdampak. Sedangkan solusi jangka panjang, Pemkab mengajak warga untuk mulai berpikir memiliki rumah sendiri dengan mencicil harian sebesar Rp10.000–Rp15.000, sebagaimana Program Pembangunan Tiga Juta Rumah yang dicanangkan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) RI. Namun hal tersebut belum dapat terealisasi dalam waktu dekat. Sementara ada sekitar 3,2 juta warga Bekasi yang didominasi pekerja industri, belum memiliki rumah layak huni.
Solusi Islam
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok yang wajib diadakan oleh setiap individu dengan dukungan penuh negara. Di dalam rumah tersebut, akan terlindung seluruh anggota keluarga dari tekanan eksternal seperti perubahan cuaca, waktu, serta mara bahaya lainnya. Pun menjadi tempat pembentukan karakter melalui aktivitas tarbiyah di dalamnya. Hingga saat ke luar rumah, individu tersebut siap berkontribusi di tengah umat.
Hanya saja hal tersebut tidak akan terjadi di alam kapitalisme. Pemenuhan kebutuhan dasar individu, telah diambil alih swasta. Pada gilirannya rakyat harus merogoh kocek sangat dalam untuk sebuah hunian yang nyaman. Sistem kapitalisme menjadikan rumah dan tanah sebagai aset finansial dan komoditas untuk memperoleh keuntungan (exchange value), bukan sebagai kebutuhan dasar (use value).
Maka wajar jika peran negara sebatas fasilitator pengembang (swasta), melalui beragam kebijakan dan regulasi, untuk menciptakan iklim bisnis di bidang properti, bukan penyedia langsung perumahan.
Hal ini tentu berbeda dengan Islam. Negara wajib menyediakan hunian yang aman dan nyaman bagi warganya, dengan harga terjangkau. Dana diambil dari kas Baitul Mal. Sementara itu, seluruh kebutuhan pokok lainnya berada dalam jaminan negara, sehingga rakyat memiliki kemampuan untuk memiliki rumah. Bagi warga terdampak relokasi, akan mendapatkan penggantian yang sesuai sehingga kemaslahatan tetap terjaga di tengah kehidupan.
Pada masa Umar bin Khaththab, dibangun perumahan di Kufah dan Basrah, pascafutuhat Irak dan Persia. Setiap keluarga memperoleh rumah dengan lingkungan yang tertata, jalan-jalan, infrastruktur, saluran air (kanal) yang memungkinkan masyarakat di sana tumbuh dan berkembang dengan potensi baik yang mereka miliki.
Pada masa Khalifah Al-Manshur (762M), kota dibangun berbentuk bulat, dengan pusat pemerintahan dan masjid di tengahnya, dikelilingi area pemukiman warga, pasar dan fasilitas publik. Sementara pada masa Harun Al-Rasyid, dibangun perumahan bagi pegawai, tentara, termasuk buruh dan pengrajin di Kota Raqqah (Suriah).
Khilafah memberikan pendekatan holistik, bahwasanya rumah adalah kewajiban negara dan memastikan keadilan bagi setiap warga. Hal ini pula akan membentuk peradaban yang khas yang tegak di atas akidah, serta gemilangnya kepemimpinan yang tunduk kepada syariat. Allahumma ahyanaa bil Islam.[] Lulu Nugroho
