
Oleh: Bagus Lego Suroso
Sampai hari ini, saudara-saudara kita di Gaza hidup dalam kondisi yang tak sanggup kita bayangkan. Rumah mereka hancur dibombardir, anak-anak mereka menangis kelaparan, dan rumah sakit tempat mereka mencari pertolongan telah menjadi puing-puing. Bahkan Rumah Sakit Indonesia di Gaza utara terpaksa berhenti beroperasi di tengah gencarnya serangan Israel terhadap sistem layanan kesehatan.
Serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 85 orang di Gaza sejak Kamis dini hari dan korban terus bertambah di tengah pemboman yang tiada henti. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan 29 anak-anak dan orang tua yang meninggal dalam beberapa hari terakhir di Gaza telah tercatat sebagai “kematian terkait kelaparan”, dan ribuan lainnya berisiko kelaparan. Perang Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 53.762 warga Palestina dan melukai 122.197 orang (aljazeera.com, 23 Mei 2025)
Blokade yang Membunuh
Blokade Israel telah menghancurkan sistem kehidupan di Gaza. Bukan hanya serangan rudal atau tembakan dari drone yang membuat Gaza sekarat, tetapi juga blokade total yang sistematis dan tidak manusiawi—yang mencekik setiap aspek kehidupan warga Palestina.
Setelah hampir 80 hari penuh (sejak 2 Maret 2025), Israel menutup semua jalur penyeberangan menuju Gaza—bukan hanya untuk makanan dan obat-obatan, tetapi juga untuk bantuan kemanusiaan dasar. Dalam laporan tempo.com (19 Mei 2025), disebutkan bahwa setelah hampir 3 bulan blokade, Israel hanya akan mengizinkan sembilan truk bantuan untuk 2,4 juta penduduk Gaza. Sembilan truk diperuntukkan bagi seluruh rakyat yang kelaparan, sakit, dan tinggal di bawah puing-puing. Tentu jauh dari kata cukup.
Padahal menurut data Bank Dunia, hampir seluruh penduduk Gaza (lebih dari 2,4 juta jiwa) sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan. Tidak ada ekonomi. Tidak ada infrastruktur. Tidak ada listrik atau air bersih yang stabil. Segalanya runtuh—dan satu-satunya sumber harapan mereka adalah bantuan dari dunia luar.
Tapi yang paling menyakitkan bukan hanya rudal Zionis. Sesuatu yang menyayat lebih dalam adalah diamnya para penguasa negeri-negeri Muslim. Mereka masih sibuk dalam batasan diplomasi, dalam batasan PBB, dan dalam politik nasional yang tak pernah menyentuh luka umat.
Khilafah: Perisai Umat yang Hilang
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Hari ini, perisai itu hilang. Kita hanya punya raja dan presiden, tapi tidak punya Khalifah.
Kita punya tentara ratusan ribu, tapi tak ada satu pun bergerak untuk menolong Gaza.
Wahai Kaum Muslimin, hanya Khilafah Islamiyah yang bisa:
- Menyatukan negeri-negeri Muslim: Menyatukan sumber daya, kekuatan militer, dan strategi geopolitik umat.
- Menghentikan penjajahan: Menarik garis batas dengan jelas antara Islam dan kufur. Tidak akan ada kompromi dengan penjajah.
- Mengirim tentara, bukan hanya bantuan makanan. Krisis di Gaza bukan sekadar bencana kelaparan—ini adalah penjajahan brutal yang membunuh secara sistematis. Maka solusinya bukan hanya pengiriman makanan, obat-obatan, atau bantuan logistik lainnya. Sebab, nyawa saudara-saudara kita di Gaza tidak cukup ditolong dengan mie instan dan air mineral.
Wahai Kaum Muslimin, jangan biarkan Gaza menangis sendiri. Jangan biarkan darah suci itu mengalir tanpa arti. Mari kita berjuang lebih keras lagi agar Khilafah Kembali hadir di muka bumi.[]