
Membedah Fatwa Haram “Sound Horeg”: Mengapa Dilarang dalam Islam?
Fenomena “Sound Horeg” yang belakangan marak di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, telah menjadi sorotan dan menimbulkan banyak kontroversi di tengah masyarakat. Untuk menanggapi keresahan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur telah menerbitkan fatwa yang menegaskan keharaman penggunaan sound system “horeg”.
Apa Itu “Sound Horeg” dan Dampaknya?
“Sound Horeg” merujuk pada tren penggunaan sistem suara dengan volume yang sangat keras, seringkali identik dengan guncangan (horeg, dalam bahasa Jawa) yang dihasilkan saking kerasnya suara. Biasanya, sound ini digunakan dalam acara hajatan, konvoi, pesta jalanan, hingga pentas musik di tempat terbuka. Tren ini sering menjadi viral karena kemeriahan ekstremnya dan menyerupai “diskotik berjalan” atau “dugem yang berjalan” dengan musik DJ dan lampu kelap-kelip yang dibawa keliling pemukiman. Bahkan, kerap disediakan penari (dancer) yang berpakaian minim dan orang-orang pun ikut menari serta berjoget di tempat tersebut.
Kontroversi dan Keberatan Masyarakat
Fenomena ini memunculkan beberapa keberatan utama di tengah masyarakat, di antaranya:
- Gangguan Kebisingan (Noise Pollution): Volume suara yang tinggi melebihi ambang batas wajar (bahkan mencapai 120 dB, sementara telinga manusia hanya dapat menoleransi hingga 85 dB) sangat mengganggu kenyamanan, terutama bagi bayi, lansia, dan orang sakit.
- Risiko Kesehatan: Kebisingan ekstrem dapat merusak saraf telinga dan menyebabkan ketulian. Getaran bass yang kuat bahkan dapat mengganggu irama jantung, khususnya bagi penderita penyakit jantung.
- Kerusakan Bangunan: Gelombang suara yang dahsyat bisa merusak bangunan, menyebabkan atap atau plafon runtuh, bahkan tembok retak. Protes warga seringkali berujung pada bentrok horizontal.
- Pelanggaran Norma Sosial dan Syariat: Kehadiran joget campur baur antara laki-laki dan perempuan, mengumbar aurat, dan suasana layaknya diskotik, melabrak norma agama dan kesusilaan. Klaim bahwa ini adalah budaya masyarakat dipertanyakan karena lebih menyerupai budaya Barat.
Dasar Hukum Fatwa MUI Jawa Timur
Fatwa MUI Jatim Nomor 1 Tahun 2025 menyatakan haramnya penggunaan “Sound Horeg” dengan intensitas suara melampaui batas wajar yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan, merusak fasilitas umum, dan memutar musik diiringi joget pria wanita dengan membuka aurat serta kemungkaran lain, baik yang dilokalisir maupun berkeliling pemukiman warga. Fatwa ini didasarkan pada berbagai dalil syar’i:
1. Ayat Al-Qur’an:
- QS. Al-Baqarah ayat 195: Melarang menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.
- Ayat tentang larangan menyakiti orang lain.
- Ayat tentang larangan berbuat kerusakan di muka bumi.
Ini menguatkan bahwa segala bentuk bahaya dan kerusakan harus dicegah.
2. Kaidah Fikih:
- Ad-dararu yuzal: Bahaya itu harus dihilangkan. Syariat menolak segala bentuk bahaya dan memerintahkan untuk menghilangkannya.
- Dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih: Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Meskipun ada manfaat materi bagi pelaku bisnis sound horeg (klaim omzet miliaran rupiah), kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar.
3. Pendapat Ulama dan Maqasid Syariah:
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa kemaslahatan adalah proteksi terhadap tujuan syariat (maqasid syariah), yaitu menjaga agama (hifzuddin), jiwa (hifzun nafs), akal (hifzul aql), keturunan (hifzun nasl), dan harta (hifzul mal). “Sound Horeg” jelas merusak jiwa (kesehatan), harta (bangunan), dan keturunan (moralitas).
4. Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW:
- Hadits “La dharara wa la dhirar” (Tidak boleh melakukan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan). Hadits riwayat Ad-Daru Qutni ini menjelaskan bahwa wajib hukumnya mencegah segala bentuk bahaya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Seorang muslim tidak boleh menyakiti diri sendiri atau orang lain. Bahkan membalas bahaya dengan bahaya pun tidak diperbolehkan. Terlebih lagi, Sound Horeg justru mendatangkan bahaya kepada orang yang tidak melakukan bahaya apapun, menunjukkan kezaliman yang lebih besar. Orang yang membahayakan orang lain akan dibalas oleh Allah SWT dengan siksa di akhirat. Membahayakan orang lain melalui ucapan atau perbuatan hukumnya haram, dan menyetel Sound Horeg termasuk perbuatan yang membahayakan orang lain.
- Hadits “Al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi” (Orang Islam itu adalah orang yang kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya). Hadits dari Abdullah bin Amr ini menjelaskan bahwa seorang muslim yang sempurna keislamannya adalah ketika orang lain merasa aman dari gangguan lisan (tidak mencaci, menggunjing, fitnah) dan perbuatannya (tidak menyakiti dengan kekerasan atau mengambil harta secara zalim). Aktivitas Sound Horeg yang menghasilkan volume bising, merusak bangunan, dan mengundang kemungkaran adalah perbuatan tangan yang menyakiti orang lain, sehingga bertentangan dengan hadits ini.
- Hadis “Iyyakum wal julus bil turaqat” (Hendaklah kalian jangan duduk-duduk di tepi jalan). Hadis dari Abu Said Al-Khudri ini menunjukkan bahwa Nabi SAW bahkan menegur sahabat yang hanya duduk-duduk di tepi jalan, dan meminta mereka menunaikan “hak jalanan”. Hak jalanan meliputi: menundukkan pandangan, menahan atau mencegah gangguan bagi orang lain, menjawab salam, memerintahkan yang makruf, dan mencegah yang mungkar. Jika sekadar duduk-duduk di jalan saja harus dibatasi agar tidak mengganggu dan menimbulkan fitnah (misalnya bagi wanita yang lewat), maka membawa sound system yang sangat keras, merusak, dan menghadirkan wanita berpakaian minim serta joget-joget di jalanan, jelas jauh lebih besar mudaratnya dan lebih dilarang.
Menjawab Keberatan dan Kesalahpahaman
Adapun beberapa keberatan muncul menanggapi fatwa ini, antara lain:
- “Sound Horeg itu teknologi/benda, bukan perbuatan.”
Hukum asal benda itu mubah (halal). Fatwa ini tidak mengharamkan sound system-nya sebagai produk teknologi, melainkan aktivitas atau perbuatan menggunakan sound system tersebut sebagai sarana untuk menimbulkan kemudaratan atau kemungkaran. Analoginya seperti pisau: bahwa pisau itu mubah, tapi menggunakannya untuk menyakiti orang adalah haram.
Jika sound system digunakan di lapangan yang jauh dari pemukiman dan tidak mengganggu, atau untuk kebaikan (misalnya memutar shalawat atau murattal dengan volume wajar dan tidak mengganggu), maka tidak ada masalah. Namun, volume bising yang mengganggu tetaplah mudarat, bahkan jika isinya shalawat atau murattal, karena dapat mengganggu kenyamanan orang lain.
- “Jika ada kerusakan, kami akan ganti rugi.”
Tindakan ganti rugi tidak menghapus dosa perbuatan merusak yang dilarang. Sulit untuk memastikan semua orang yang terdampak (bayi, lansia, orang sakit, atau potensi kerusakan pendengaran jangka panjang) telah menyetujui atau mendapatkan ganti rugi yang setimpal. Kerusakan tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga imateriil seperti kesehatan dan kenyamanan.
- “Ini budaya/seni/kreativitas, jangan dimatikan.”
Kata “kreatif” itu netral. Bagi seorang Muslim, kreativitas harus berada dalam koridor syariat Islam. Seni dan kreativitas diperbolehkan selama tidak melanggar hukum Islam. Contohnya arsitektur masjid atau seni kaligrafi. Namun, kreativitas yang mengarah pada kemungkaran atau kemaksiatan (seperti penyajian minuman keras yang kreatif) tidak dibenarkan.
- “Aturan kebisingan sudah ada di undang-undang, mengapa fatwa MUI?”
Fatwa ulama atau seruan agama seringkali membutuhkan dukungan kekuatan atau kekuasaan untuk efektif diterapkan. Seharusnya, penguasa yang saleh dan amanah akan mendukung serta menerapkan seruan ulama demi kebaikan umat, sebagaimana agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar yang tidak dapat dipisahkan.
- “Ulama hanya mencari dalil untuk melarang yang tidak disukai.”
Resistensi semacam ini adalah hal yang wajar ketika kemungkaran yang dinikmati atau menghasilkan keuntungan dihentikan. Ini berkaitan dengan mentalitas ketaatan masyarakat terhadap syariat. Jika syariat dijadikan tolak ukur, masyarakat akan menolak kemungkaran itu sendiri. Para ulama memiliki dalil yang jelas untuk mencegah kerusakan dan kemungkaran. Tidak ada dalil dalam Islam yang mendukung perbuatan merusak atau maksiat.
Tanggung Jawab Bersama
Fenomena ini menyadarkan kita akan pentingnya mendukung seruan para ulama dalam menghentikan kemungkaran dan kerusakan yang terjadi di tengah masyarakat. Selain itu, menjadi tugas kita bersama untuk terus berjuang demi hadirnya kepemimpinan yang syar’i, yaitu kepemimpinan yang amanah, saleh, dan bertakwa, yang menerapkan syariat Islam. Dengan begitu, setiap seruan ulama yang sahih dapat didukung dan diterapkan oleh para penguasa demi kemaslahatan umat.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: