
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)
Judul di atas adalah salah satu sindiran yang dilontarkan politisi PDI Perjuangan (PDIP) , M Guntur Romli, dengan adanya sejumlah wakil menteri di Kabinet Merah Putih rangkap jabatan menduduki kursi pimpinan BUMN.
Sudah ada 25 jabatan pimpinan BUMN yang dirangkap oleh wakil menteri, menyusul mantan pebulutangkis nasional, Taufik Hidayat, menjabat sebagai komisaris di PT. PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), perusahaan subkontrak PLN yang bergerak di bidang pengadaan bahan bakar pembangkit listrik.
Guntur meminta pemerintah untuk berhati-hati dengan kecemburuan sosial, di tengah masyarakat menghadapi PHK, tapi elite-elitenya malah bagi-bagi jabatan sekaligus pendapatan (suara.com, 12-7-2025). Dulu, di era Jokowi, PDIP melalui Wasekjennya, Ahmad Basarah menyebutkan partainya tidak menyetujui kebijakan larangan rangkap jabatan yang dikeluarkan Presiden Jokowi (tempo.co, 24-1-2018). Gara-gara Puan Maharani dinonaktifkan Jokowi sebagai Ketua DPP Bidang Politik PDI Perjuangan ketika menjabat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Mengapa sekarang protes? Entahlah! Satu hal yang selalu sama, di dalam pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka pun ada pejabat yang rangkap jabatan.
Mahalnya Politik Demokrasi
Inilah bukti politik Demokrasi tak pernah menghasilkan kepemimpinan yang adil dan menyejahterakan. Semua calon pemimpin yang diusung partai tak serta merta gratis melenggang begitu dia berhasil berkuasa. Ada sejumlah “upeti” yang harus dibayarkan.
Kampanye butuh suara banyak, parpol harus siap “membeli” suara. Butuh “sapi perah” untuk menghasilkan dana banyak dan dalam waktu singkat, BUMN menjadi pilihan parpol. Kekayaan alam yang dikelola BUMN di dalamnya juga melibatkan swasta membuka celah bagi petinggi parpol untuk ikut bermain di dalamnya. Itulah mengapa korporasi selalu mendapat karpet merah di negeri ini.
Inilah yang kita lihat perekrutan pejabat BUMN tak pernah bisa profesional. Selalu beraroma kapitalistik dan transaksional. Ini pula yang menyebabkan korupsi kian merajalela sebab kolusi dan nepotisme juga subur jadi cara pencapaian jabatan. Di mana kemudian suara rakyat? Tertinggal saat pemilu usai.
Benarlah kemudian yang terjadi, yang sudah sejahtera semakin sejahtera karena ia dekat dan berada di dalam circle rezim. Sementara rakyat berjuang sendiri, sekaligus menjadi tumbal bagi perpolitikan bangsa.
Islam Sejahterakan Rakyat tanpa KKN
Khilafah sebagai institusi negara Islam, memiliki sistem perekrutan pegawai dan pejabat dengan memperhatikan aspek ketakwaan dan kapabilitas. Setiap pejabat dijamin merupakan orang yang bersih sekaligus mampu. Tidak ada proses transaksional dalam perekrutan pejabat. Khalifah akan memilihnya secara profesional. Sebab kekuasaan adalah amanah, yang kelak dimintai pertanggungjawab oleh Allah. Kekuasaan dalam Islam berfungsi sebagai raa’in (melayani) dan junnah (perisai) bagi rakyat.
Masihkah berharap pada sistem batil Kapitalisme-Demokrasi? Yang menjadikan politik hanya sebagai permainan pejabat dengan pengusaha, sedang rakyat yang seharusnya dilayani malah diabaikan. Allah SWT berfirman yang artinya, “Apa hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” [TQS Al-Maidah: 50] Wallahu a’lam bishshawab.[]