
Memahami Potensi Nuklir Indonesia: Uranium, Torium, dan Masa Depan Energi Nasional
Penting sekali kita memahami bahwa energi nuklir bisa dijadikan sebagai bagian dari kedaulatan energi nasional masa depan, di tengah meningkatnya kebutuhan energi dan ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil.
Cadangan Uranium Indonesia dan Potensinya
Indonesia diperkirakan memiliki cadangan uranium sekitar 80.000 ton. Salah satu lokasi terbesar yang diidentifikasi adalah di Kalan, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, dengan taksiran 24.000 ton. Selain Kalimantan, potensi uranium juga ditemukan di Papua, Sulawesi Barat, dan Bangka Belitung, dengan total perkiraan 89.000 ton.
Meskipun cadangan ini belum sebesar Australia (1,7 juta ton) atau Kazakhstan (815.000 ton), 80.000 ton uranium di Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energi selama berabad-abad jika digunakan secara efisien.
Uranium adalah unsur logam radioaktif yang lazim dipakai sebagai bahan bakar nuklir, namun perlu dipahami bahwa ia tidak “dibakar” melainkan “direaksikan” atau meluruh. Di alam, uranium sebagian besar berupa isotop U238, yang bersifat radioaktif tetapi tidak reaktif untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Hanya isotop U235 yang dapat digunakan di PLTN karena dapat ditembak dengan neutron untuk menghasilkan energi fisi.
Satu gram uranium murni setara dengan 3 ton batu bara dalam hal energi. Namun, kadar uranium dalam batuan di Indonesia umumnya rendah hingga sedang, sekitar 0,05% hingga 0,3%. Ini berarti untuk mendapatkan 1 gram uranium yang diperkaya hingga 5% (reactor grade), dibutuhkan sekitar 286 kg batuan yang mengandung 0,05% uranium.
Metode Penambangan Uranium
Penambangan uranium berbeda dengan batu bara; ia memerlukan penggalian dan alat khusus untuk mendeteksi radiasinya. Metode yang digunakan meliputi:
- Open pit mining: Jika deposit dekat permukaan, tapi dapat merusak lingkungan.
- Underground mining: Membuat terowongan, tapi berisiko bagi kesehatan manusia.
- In-situ leaching (ISL): Metode yang semakin umum dan lebih ramah lingkungan, melibatkan pemompaan larutan kimia ke dalam tanah untuk melarutkan uranium, lalu menyedotnya kembali.
Di sisi lain, harus dilakukan pengayaan uranium. Proses pengayaan (enrichment) diperlukan untuk meningkatkan konsentrasi U235. Uranium di alam hanya mengandung sekitar 0,7% U235. Untuk reaktor nuklir, U235 perlu diperkaya hingga 3-5%. Proses ini dilakukan dengan memasukkan gas uranium fluorid (UF3) ke dalam alat sentrifugal dan memutarnya dengan kecepatan sangat tinggi untuk memisahkan isotop berdasarkan beratnya. Penting untuk dicatat bahwa alat pengayaan ini diawasi ketat secara global oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), karena jika U235 diperkaya hingga 90%, ia dapat digunakan sebagai senjata nuklir (weapons grade).
Potensi Torium Indonesia: Harapan Energi Masa Depan
Selain uranium, torium menjadi potensi energi nuklir yang jauh lebih melimpah di Indonesia, sekitar 210.000 ton, tiga kali lipat lebih banyak dari uranium. Lokasinya hampir sama dengan uranium, yaitu di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Torium sering ditemukan sebagai mineral monasit, terutama di tambang timah.
Torium sendiri memiliki kekhasan, di antaranya:
- Tidak dapat digunakan untuk membuat bom nuklir.
- Menghasilkan limbah yang lebih sedikit dibandingkan uranium.
- Jauh lebih efisien: 1 ton torium cukup untuk 1 PLTN 1 GW selama 210.000 tahun, dan 1 kg torium dapat menyalakan lampu 100 watt selama 4.000 tahun, dibandingkan 120 tahun untuk uranium, 6 hari untuk gas alam, atau 4 hari untuk batu bara.
Saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Torium (PLTT) belum ada yang beroperasi secara komersial. Tiongkok telah berhasil membuat prototipe dan sedang dalam tahap pengujian, dan banyak peneliti nuklir di Indonesia juga tercurah pada pengembangan torium.
Aplikasi Nuklir di Luar Energi
Meskipun fokus utama adalah energi, bahan nuklir dan teknologi terkait memiliki berbagai aplikasi penting lainnya:
- Kedokteran Nuklir: Menggunakan isotop seperti kobalt atau sesium untuk diagnosis dan terapi.
- Penanggalan Radiometrik: Menentukan usia fosil atau mumi menggunakan isotop seperti Karbon-14.
- Pemrosesan Makanan: Iradiasi dengan sinar gamma untuk membebaskan makanan dari bakteri dan mikroorganisme.
- Industri X-ray: Untuk memeriksa retakan pada komponen industri, misalnya di pabrik mobil.
- Bidang Material: Memproses material untuk pengembangan baterai.
- Katalis: Untuk proses bisnis.
Tantangan dan Peluang Pengembangan PLTN di Indonesia
Indonesia belum memiliki PLTN yang beroperasi secara komersial, meskipun sudah ada program studi teknik nuklir di UGM sejak tahun 1980-an. Salah satu alasannya adalah biaya pembangunan PLTN yang sangat mahal, mencapai puluhan triliun rupiah, serta waktu pembangunan yang lama (lebih dari 5 tahun).
Small Modular Reactor (SMR) dan Mikroreaktor
Pengembangan Small Modular Reactors (SMRs) atau mikroreaktor berukuran kecil (hingga 300 MW atau bahkan 1-10 MW) menjadi alternatif menarik. Di antara keunggulan SMRs adalah sebagai berikut:
- Portabilitas: Dapat diangkut menggunakan truk atau kapal, cocok untuk pulau-pulau terpencil yang saat ini masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
- Efisiensi: Dapat beroperasi hingga 10 tahun tanpa perlu pengisian bahan bakar.
- Keamanan: Didesain dengan sistem pelindung yang kokoh.
Kedaulatan dan Kendali Nasional
Indonesia berkomitmen pada Non-Proliferation Nuclear Weapons Treaty (NPT), yang berarti aktivitas nuklirnya diawasi oleh IAEA. IAEA memantau pergerakan material nuklir, pergerakan ahli nuklir bersertifikat, dan transfer pengetahuan (standar, desain alat) untuk mencegah pengembangan senjata.
Meskipun Indonesia memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu, kemauan dan kepercayaan pemimpin nasional sangat krusial untuk mengambil keputusan dalam membangun PLTN. Peran oligarki dan masalah korupsi juga disebut sebagai penghambat utama. Pengelolaan aset nasional, termasuk tambang uranium, juga perlu tata kelola yang baik dan kemandirian dalam teknologi, termasuk perangkat lunak yang vital untuk operasional. Namun, kemandirian total dari asing mungkin sulit di awal karena keterikatan pada sistem dan standar internasional.
Pengembangan teknologi nuklir harus dipimpin oleh orang-orang yang bertakwa, demi memerdekakan, mencerdaskan, dan menyejahterakan umat, bukan untuk menjajah atau menakut-nakuti bangsa lain. Kekuatan negara sangat bergantung pada ilmu dan teknologi, serta kekuasaan yang tidak ditopang ilmu akan menuju kehancuran. Oleh karena itu, Indonesia perlu keluar dari keraguan dan ketakutan akan bahaya nuklir yang seringkali politis.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: