
Strategi Hijrah Nabi Muhammad SAW: Perjalanan menuju Tegaknya Negara Islam di Madinah
Hijrah merupakan salah satu peristiwa monumental dalam sejarah Islam yang tidak hanya menjadi simbol perpindahan geografis, tetapi juga transformasi besar-besaran dari fase dakwah tersembunyi ke penerapan syariat secara utuh dalam bingkai negara. Keputusan Nabi Muhammad SAW untuk meninggalkan Makkah menuju Madinah bukanlah langkah sembarangan, melainkan hasil dari perencanaan strategis yang matang dan didasari oleh pertimbangan politik, sosial, dan tentu saja menurut wahyu-Nya.
Alasan Utama Mengapa Hijrah Dilakukan
Makkah pada masa itu menjadi pusat penindasan terhadap umat Islam. Kaum Quraisy dengan segala kekuatan ekonomi dan militer berusaha menghancurkan ajaran Islam yang mulai menyebar. Penyiksaan, pengucilan, hingga pembunuhan terjadi secara sistematis. Dalam kondisi seperti ini, para sahabat pun memohon izin kepada Rasulullah untuk mencari tempat yang lebih aman guna menyebarkan agama Allah tanpa tekanan.
Dari sisi wahyu, Allah SWT telah menunjukkan bahwa Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Madinah) adalah negeri hijrah yang dijanjikan. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari disebutkan, “Aku diperlihatkan negeri hijrah kalian, yaitu satu negeri yang memiliki pohon kurma di antara dua harrah (dataran batu).” Inilah salah satu petunjuk ilahi bahwa Madinah akan menjadi tempat lahirnya negara Islam pertama.
Selain karena alasan keamanan, Madinah dipilih karena masyarakatnya relatif mudah menerima kebenaran, memiliki pengalaman dalam peperangan, serta dekat dengan tradisi kenabian. Banyak penduduk Madinah yang hidup berdampingan dengan kaum Yahudi yang sudah lama menantikan kedatangan nabi akhir zaman. Selain itu, letak geografis Madinah yang strategis, subur, dan dilindungi benteng alam menjadikannya lokasi ideal untuk membangun basis kekuatan Islam.
Persiapan dan Gelombang Hijrah
Sebelum Nabi Muhammad SAW berangkat, beliau memberikan izin kepada para sahabat untuk melakukan hijrah secara bertahap. Orang-orang yang pertama kali berhijrah adalah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rabi’ah bersama istrinya, Laila binti Abi Hasyimah. Hijrah dilakukan secara rahasia untuk menghindari pengintaian musuh.
Namun, ada satu pengecualian: Umar bin Khaththab. Ia memilih berangkat secara terang-terangan dengan membawa senjata lengkap, melakukan thawaf di Ka’bah, dan menyampaikan ancaman keras kepada tokoh Quraisy: “Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.” Sikap tegas Umar membuat tak seorangpun berani menghalanginya.
Tokoh lain seperti Suhaib bin Sinan Ar-Rumi juga mengorbankan hartanya untuk bisa berhijrah. Ketika dicegah oleh orang Quraisy karena kekayaannya, Suhaib berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika aku menyerahkan semua hartaku kepada kalian, tetapi kalian harus biarkan aku pergi?” Mereka setuju, dan Nabi bersabda, “Mudah-mudahan Suhaib mendapat keberuntungan.”
Sidang Darurat Quraisy: Rencana Pembunuhan Nabi
Ketika kabar hijrah para sahabat menyebar, kaum Quraisy merasa terancam. Pada malam hari tanggal 26 Shafar tahun ke-14 Kenabian, mereka mengadakan rapat darurat di Darun Nadwah. Hadir di sana tokoh-tokoh penting Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Sufyan, Jubair bin Muth’im, dan lainnya. Bahkan, konon Iblis datang menyamar sebagai seorang tua dari Najd untuk ikut dalam diskusi tersebut.
Setelah beberapa usulan ditolak, akhirnya Abu Jahal mengusulkan agar setiap kabilah mengirimkan seorang pemuda untuk membunuh Nabi Muhammad SAW secara serentak. Tujuannya agar tanggung jawab pembunuhan tidak dapat dikaitkan pada satu kelompok tertentu. Usulan ini diterima, termasuk oleh Iblis yang turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Malam Bersejarah: Keluar dari Kepungan Musuh
Allah SWT memberikan informasi rencana pembunuhan ini melalui Jibril. Nabi SAW menerima wahyu untuk tidak tidur di tempat biasanya. Di siang hari yang terik, Nabi mengunjungi rumah Abu Bakar dan menyampaikan, “Sesungguhnya telah diizinkan kepadaku untuk keluar (berhijrah).” Abu Bakar langsung menawarkan diri sebagai teman perjalanan. Maka dimulailah perjalanan suci menuju Madinah.
Pada malam itu, Ali bin Abi Thalib rela menggantikan posisi Nabi di tempat tidurnya. Sementara itu, Nabi menaburkan tanah ke arah kepala para pembunuh yang sedang mengepung rumahnya. Allah mencabut pandangan mereka hingga tidak dapat melihat Nabi. Beliau berhasil keluar dan langsung menuju rumah Abu Bakar.
Perjalanan ke Gua Tsur: Keajaiban Ilahi
Untuk mengelabui musuh, Nabi dan Abu Bakar tidak langsung menuju Madinah, tetapi bergerak ke selatan menuju Jabal Tsur. Di sinilah ujian iman benar-benar diuji. Di dalam gua, Abu Bakar menemukan lubang-lubang kecil yang berpotensi menjadi celah bagi binatang berbisa. Untuk menutupi lubang, ia sobek kainnya, bahkan menggunakan kakinya sendiri untuk menutup dua lubang terakhir.
Saat Nabi tertidur di pangkuan Abu Bakar, seekor binatang menyengat kaki Abu Bakar. Namun, demi tidak mengganggu istirahat Nabi, Abu Bakar menahan sakit hingga air mata menetes. Saat Nabi bangun dan mengetahui hal ini, beliau menyembuhkannya dengan ludah beliau.
Setelah tiga malam mereka tinggal di Gua Tsur dan ancaman sudah reda, mereka melanjutkan perjalanan menuju Madinah dengan bantuan Abdullah bin Uraiqith sebagai pemandu jalur profesional.
Penghadangan dan Mukjizat Sepanjang Perjalanan
Di tengah perjalanan, Suraqah bin Malik yang mendengar sayembara 100 ekor unta mencoba menangkap Nabi. Tetapi, ketika hampir mendekati rombongan, kudanya terbenam ke dalam tanah. Meskipun mencoba dua kali, hasilnya sama. Akhirnya Suraqah sadar bahwa ia tidak akan mampu melawan kehendak Allah. Ia memohon perlindungan dari Nabi, dan surat perlindungan ini kemudian menyelamatkannya saat penaklukan Makkah delapan tahun kemudian.
Selama perjalanan, Nabi juga sempat singgah di tenda Ummu Ma’bad. Saat itu tidak ada susu di kambingnya karena paceklik. Tetapi, atas izin Allah, kambing yang tidak lagi menghasilkan susu tiba-tiba memiliki kantong susu penuh setelah Nabi memerahnya. Kejadian ini membuat hati Ummu Ma’bad terbuka untuk masuk Islam.
Buraidah bin Hushaib pun yang awalnya berniat menangkap Nabi justru berakhir dengan keislamannya setelah berdialog langsung dengan Nabi. Bahkan, seluruh kabilahnya masuk Islam dalam waktu semalam.
Kedatangan di Madinah: Awal Baru Umat Islam
Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 11 hari, Nabi Muhammad SAW akhirnya tiba di Quba pada tanggal 8 Rabi’ul Awal tahun pertama Hijriyah. Di sana, beliau mendirikan Masjid Quba dan tinggal selama empat hari. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan menuju Madinah.
Saat memasuki Madinah, masyarakat menyambut beliau dengan gegap gempita. Mereka melantunkan qashidah yang hingga kini dikenal:
“Thala’a al-badru ‘alayna min tsanīyāti al-wadā‘… Wahai bulan purnama yang terbit kepada kita.”
Nabi membiarkan untanya berjalan hingga berhenti di lokasi Masjid Nabawi saat ini. Di sanalah beliau tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Anshari selama tujuh bulan sambil menunggu pembangunan masjid.
Hikmah dari Peristiwa Hijrah
Ada banyak pelajaran penting dari peristiwa hijrah:
1. Bersama Kesulitan Datang Kemudahan
Keyakinan bahwa setiap kesulitan pasti diiringi kemudahan adalah prinsip dasar dalam hidup seorang Mukmin.
2. Allah Menolong Orang yang Berjuang di Jalan-Nya
Perjalanan hijrah membuktikan bahwa jika seseorang berjuang sesuai sunnah Nabi, maka Allah pasti membantu.
3. Hijrah sebagai Ujian Iman
Para sahabat yang meninggalkan keluarga dan harta adalah contoh hasil seleksi alami dari barisan umat Islam yang benar-benar beriman.
4. Tonggak Berdirinya Negara Islam
Hijrah menjadi awal mula tegaknya negara Islam pertama di dunia yang akan menerapkan syariat secara kaffah.
***
Peristiwa hijrah bukan sekadar kisah perpindahan fisik, tetapi merupakan revolusi total yang mengubah nasib umat manusia. Dengan hijrah, Islam tidak lagi menjadi gerakan minoritas, tetapi menjadi sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang utuh. Dari Madinah, cahaya Islam mulai menyinari dunia, dan sejarah mencatat bagaimana Nabi Muhammad SAW dan para sahabat membangun fondasi peradaban yang kokoh berdasarkan nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: