
Kecerdasan Politik dalam Islam: Konsep dan Praktik yang Membumi
Dalam kehidupan masyarakat modern yang kompleks, kecerdasan politik bukan hanya menjadi kebutuhan para pemimpin, tetapi juga bekal penting bagi setiap individu Muslim. Di tengah derasnya arus opini publik dan permainan kekuasaan, Islam mengajarkan bentuk kecerdasan politik yang bersih, berorientasi maslahat, dan berpijak pada nilai-nilai wahyu. Tulisan ini akan menguraikan konsep dasar dan praktik nyata dari kecerdasan politik dalam pandangan Islam.
Apa Itu Kecerdasan Politik?
Kecerdasan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah kesempurnaan perkembangan akal budi—termasuk ketajaman berpikir dan kepekaan sikap. Dalam konteks politik, kecerdasan politik adalah kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak secara tepat dalam mengelola urusan publik. Dalam Islam, kecerdasan ini mengacu pada kesanggupan seseorang mengatur urusan masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri, berdasarkan hukum syariat.
Secara bahasa, politik berasal dari kata Yunani polis (negara kota) dan polites (warga negara). Dalam Islam, kata “siyasah” bermakna mengurus urusan rakyat. Dengan demikian, politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, tapi seni dan tanggung jawab dalam memelihara masyarakat sesuai tuntunan syariat.
Rumus Kecerdasan Politik
Kecerdasan politik dapat dirumuskan secara sederhana:
PQ = X (A + B + C)
PQ: Political Quotient (kecerdasan politik)
X: Keyakinan dan nilai dasar
A: Kemampuan berpikir
B: Kemampuan bersikap
C: Kemampuan bertindak
Dengan keyakinan yang kokoh, seseorang akan mampu menimbang masalah politik secara jernih, mengambil sikap bijak, dan bertindak strategis demi kemaslahatan umat.
Praktik Nyata: Teladan dari Rasulullah ﷺ
1. Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian damai antara Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Quraisy menunjukkan kecerdasan politik tingkat tinggi:
- Aspek pemikiran: Nabi memilih jalur damai melalui perundingan, bukan konfrontasi.
- Aspek sikap: Ketika nama beliau dihapus dari perjanjian, beliau tetap tenang dan tidak terprovokasi.
- Aspek tindakan: Beliau pulang ke Madinah dan melaksanakan tahallul, serta mematuhi perjanjian dengan mengembalikan Abu Jandal.
Perjanjian ini, meski secara lahir merugikan, justru membuka jalan bagi kemenangan dakwah di masa depan.
2. Penanganan Wabah Tha’un di Amwas
Ketika wilayah Syam dilanda wabah, Khalifah Umar bin Khattab RA menunjukkan kecerdasan politik luar biasa:
- Aspek pemikiran: Beliau berdiskusi dengan para sahabat dan memutuskan kembali ke Madinah—tanpa menantang takdir.
- Aspek sikap: Tetap tegas saat dipertanyakan oleh Abu Ubaidah, beliau menegaskan bahwa lari dari takdir Allah juga bagian dari takdir Allah.
- Aspek tindakan: Beliau memerintahkan pemindahan penduduk ke bukit-bukit (social distancing) lewat Amr bin Ash, hingga wabah mereda.
Tindakan ini menunjukkan bahwa pengelolaan krisis kesehatan pun bagian dari politik Islam yang cerdas dan manusiawi.
Saatnya Membangun Umat dengan Kecerdasan Politik
Kecerdasan politik dalam Islam bukan tentang manipulasi, tetapi seni mengelola urusan umat dengan adil, jernih, dan bijak. Di tengah kekacauan narasi politik dunia, umat Islam dituntut untuk menghadirkan politik yang berlandaskan nilai dan akhlak. Politik bukanlah medan najis yang harus dijauhi, tapi amanah yang harus ditunaikan.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” – Nabi Muhammad ﷺ
Sudah saatnya kita membekali diri dengan kecerdasan politik Islam: bukan untuk mengejar kekuasaan, tetapi untuk menata peradaban.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV.