
Meneladani Kecerdasan Politik Para Pemimpin Islam
Dalam sejarah peradaban Islam, kecerdasan politik bukan hanya soal strategi kekuasaan, tetapi merupakan cerminan ketajaman visi, kematangan sikap, dan ketegasan tindakan yang berpijak pada nilai-nilai tauhid. Para pemimpin besar dalam sejarah Islam seperti Umar bin Khattab, Shalahuddin Al Ayyubi, dan Muhammad Al Fatih adalah contoh nyata bagaimana kecerdasan politik mampu mengubah arah sejarah dengan tetap menjaga kemuliaan akhlak.
Umar bin Khattab: Kemenangan dengan Kebijaksanaan
Sebagai Amirul Mukminin, Umar bin Khattab RA menunjukkan kecerdasan politik luar biasa saat menaklukkan Al-Quds (Yerusalem) pada tahun 637 M.
- Aspek pemikiran: Beliau mengutamakan strategi politik luar negeri berbasis dakwah dan jihad. Penunjukan Abu Ubaidah bin Al Jarrah sebagai panglima dalam Perang Ajnadin menunjukkan keputusan strategis yang penuh perhitungan.
- Aspek sikap: Meski sebagai pemimpin tertinggi (Khalifah), beliau tetap melakukan musyawarah dengan para sahabat dan memilih hadir langsung ke Al-Quds untuk membuka peluang perdamaian.
- Aspek tindakan: Umar menerima kunci Al-Quds dan membuat Perjanjian Umariyah yang menjamin keselamatan penduduk, tempat ibadah, dan harta mereka—kecuali kaum Yahudi yang tidak diperkenankan tinggal di kota itu. Ini menjadi standar etika politik Islam dalam perlakuan terhadap non-Muslim di wilayah yang ditaklukkan.
Shalahuddin Al Ayyubi: Penyatu Umat dan Pembebas Al-Quds
Lebih dari lima abad setelahnya, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi menginspirasi dunia dengan strategi politik dan militernya saat membebaskan kembali Al-Quds dari tentara Salib pada tahun 1187 M.
- Aspek pemikiran: Di usia 32 tahun, beliau menyadari pentingnya mempersatukan umat Islam yang saat itu terpecah. Ia menyiapkan penaklukan dengan memperbaiki akidah dan ukhuwah umat.
- Aspek sikap: Kesabaran beliau menanti waktu yang tepat, membangun kekuatan, dan menanamkan semangat jihad kepada pasukannya, menjadi kunci keberhasilan.
- Aspek tindakan: Setelah kemenangan, Shalahuddin tetap menjaga prinsip syariah: ia melindungi penduduk Al-Quds, tak membalas dendam, dan mengelola kota sesuai nilai-nilai Islam.
Muhammad Al-Fatih: Menjemput Bisyarah Nabi
Penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada 1453 M menjadi bukti nyata dari kecerdasan dan spiritualitas seorang pemimpin muda. Ia adalah penggenap bisyarah (kabar kenabian) Rasulullah ﷺ bahwa kota tersebut akan ditaklukkan oleh sebaik-baiknya pasukan dan pemimpin.
- Aspek pemikiran: Di usia 21 tahun, beliau telah menyusun strategi penaklukan yang kompleks; mulai dari armada laut, logistik, hingga teknik militer seperti memindahkan kapal melalui daratan.
- Aspek sikap: Kesabaran dan ketegasan beliau dalam mendidik pasukan agar dekat dengan Allah menjadi kunci kemenangan.
- Aspek tindakan: Setelah penaklukan, beliau menjamin hak-hak non-Muslim dan mengubah gereja Hagia Sophia menjadi masjid. Ia juga membangun kembali kota itu sebagai pusat peradaban baru dengan nama Islambol (Kota Islam), menjadikannya sebagai ibu kota Khilafah Utsmaniyah.
Kecerdasan Politik adalah Ibadah
Dari ketiga figur di atas, kita belajar bahwa kecerdasan politik dalam Islam adalah integrasi antara akal, iman, dan amal. Ia bukan sekadar manuver kekuasaan, tetapi jalan untuk menegakkan keadilan, menjaga perdamaian, dan mengangkat derajat umat manusia.
“Barang siapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, maka Dia akan memberikan kepahaman kepadanya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari)
Hari ini, umat Islam memerlukan kembali model kecerdasan politik seperti para pemimpin agung tersebut—yang mengedepankan maslahat, bukan sekadar ambisi. Karena sesungguhnya, politik adalah bagian dari amanah risalah.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV.