
Tradisi Jahiliyah dan Pengangkatan Kenabian Nabi Muhammad SAW
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab, khususnya di Makkah, hidup dalam kondisi yang dikenal sebagai zaman jahiliyah—masa kegelapan akhlak, keyakinan, dan budaya. Berbagai praktik menyimpang merajalela, mulai dari penyembahan berhala, penguburan bayi perempuan hidup-hidup, hingga riba dan perjudian. Namun, dari tengah kehidupan yang penuh kemungkaran ini, Allah SWT menyiapkan seorang pemimpin besar untuk membawa perubahan: Nabi Muhammad SAW.
Tradisi Jahiliyah yang Menyimpang
Salah satu ciri utama masyarakat Arab pra-Islam adalah penyembahan berhala. Awalnya, mereka mengenal ajaran tauhid seperti yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS. Namun, tradisi menyembah berhala mulai masuk ke Makkah melalui tokoh Khuza’ah, Amru bin Luhai, setelah kunjungannya ke Syam. Ia membawa berhala bernama Hubal dari daerah Balqa’, Jordan, lalu memerintahkan masyarakat Makkah untuk menyembahnya.
Selain itu, Kaum Quraisy juga menyembah dua berhala bernama Isaf dan Nailah yang diletakkan dekat sumur Zamzam. Konon, Isaf dan Nailah dulunya adalah manusia dari suku Jurhum yang melakukan zina di dalam Ka’bah, hingga Allah mengubah mereka menjadi batu sebagai peringatan bagi umat lainnya.
Zaman jahiliyah juga ditandai dengan maraknya dunia jin dan dukun. Jin sering digunakan oleh para dukun untuk memberikan informasi atau ramalan. Bahkan, kabar pertama tentang diutusnya Rasulullah SAW diketahui dari seorang dukun perempuan yang memiliki hubungan dengan bangsa jin.
Praktik pernikahan pada masa itu pun sangat menyimpang. Ada tiga jenis pernikahan jahiliyah:
1. Pernikahan Al-Istibdha’: Seorang istri diminta untuk dicampuri lelaki terpandang agar keturunannya dianggap lebih baik.
2. Pernikahan Al-Rahth: Sekelompok lelaki menikahi satu wanita, lalu ketika hamil wanita tersebut memilih siapa ayah dari anaknya.
3. Pernikahan Al-Rayyah: Wanita memasang bendera merah di rumahnya sebagai tanda bahwa ia tersedia untuk dinikahi secara sementara oleh siapa saja.
Selain itu, masyarakat juga mengenal praktik riba (bunga hutang), judi, serta konsumsi minuman keras (khamr). Dalam transaksi jual beli tidak tunai, jika pembayaran tertunda, jumlah hutang akan berlipat ganda—praktik inilah yang kemudian dilarang dalam Al-Qur’an.
Yang lebih tragis lagi adalah penguburan bayi perempuan hidup-hidup. Hal ini dilakukan karena beberapa alasan: rasa malu, takut nasib buruk, anggapan bahwa wanita tidak produktif, kesulitan ekonomi, hingga kepercayaan keliru bahwa malaikat adalah anak perempuan Tuhan—yang harus dikembalikan kepada Tuhan.
Hikmah Penunjukan Nabi di Mekkah
Allah memilih Makkah sebagai tempat diutusnya Nabi Muhammad SAW karena beberapa alasan penting. Pertama, masyarakat Makkah dikenal keras dan penuh dosa, sehingga jika berhasil diubah, wilayah-wilayah lain lebih mudah ditundukkan secara moral dan spiritual.
Kedua, Makkah merupakan wilayah yang merdeka dan tidak dipengaruhi oleh kerajaan besar seperti Persia atau Romawi. Ketiga, masyarakat Arab menggunakan satu bahasa, yakni bahasa Arab, yang mempermudah penyebaran dakwah.
Keempat, Makkah menjadi pusat pertemuan berbagai suku dan bangsa karena lokasinya strategis dan menjadi tujuan para pedagang serta peziarah. Kelima, posisi geografis Jazirah Arab yang strategis memudahkan penyebaran agama ke seluruh dunia.
Persiapan Nabi Muhammad Menjadi Pemimpin Umat
Nabi Muhammad SAW telah dipersiapkan sejak lahir untuk menjadi pemimpin besar. Beliau lahir dalam keadaan yatim, sehingga mampu merasakan kesulitan orang lain. Ia juga pernah menjadi penggembala domba, yang melatihnya dalam kepemimpinan, tanggung jawab, dan manajemen.
Perjalanan dagang beliau ke Syam dan wilayah lainnya memberikan wawasan global yang luas. Selain itu, sifat jujur dan amanahnya membuat masyarakat Makkah menjulukinya “Al-Amin”. Nabi juga tidak pernah terlibat dalam praktik jahiliyah seperti menyembah berhala atau minum khamr, menjadikannya sosok yang bersih secara moral.
Beliau juga pernah terlibat dalam peristiwa penting seperti Hilful Fudhul (perjanjian perdamaian) dan renovasi Ka’bah. Semua ini membentuk karakter beliau sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana.
Tahannuts di Gua Hira dan Awal Wahyu
Menjelang usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW semakin sering mengasingkan diri untuk merenungkan (tahannuts) kondisi masyarakat dan mencari kedamaian jiwa. Ia sering pergi ke Gua Hira di Jabal Nur, membawa bekal roti dan air untuk beberapa hari.
Pilihan ini bukanlah kebetulan, tetapi bagian dari rencana besar Allah untuk mempersiapkan beliau menerima wahyu. Di sinilah, pada malam tanggal 21 Ramadhan (10 Agustus 610 M), Malaikat Jibril turun membawa wahyu pertama dalam bentuk Surah Al-Alaq ayat 1-5.
Kejadian ini sangat mengejutkan Nabi SAW. Setelah mendapatkan wahyu, beliau pulang ke rumah dalam keadaan takut dan berkeringat. Istri tercintanya, Khadijah RA, menyambut dengan penuh kasih sayang dan dukungan. Ia meyakinkan Nabi bahwa Allah tidak akan menghinakan beliau karena sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
Khadijah lalu membawa Nabi menemui pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang Nasrani yang berilmu. Setelah mendengar cerita Nabi, Waraqah meyakini bahwa Muhammad adalah nabi yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu. Sayangnya, Waraqah meninggal sebelum turunnya wahyu dakwah secara terbuka.
Jeda Wahyu dan Keteguhan Jiwa
Setelah menerima wahyu pertama, Nabi SAW mengalami jeda selama enam bulan tanpa wahyu. Masa ini penuh dengan kegelisahan dan kerinduan akan petunjuk Ilahi. Namun, setelah masa penantian ini, wahyu kembali turun berupa Surah Al-Muddatstsir, Al-Muzzammil, dan Adh-Dhuha.
Jeda ini memiliki hikmah tersendiri, yaitu untuk menghilangkan rasa takut dan membangkitkan kerinduan akan wahyu. Dalam Surah Al-Muddatstsir, Allah memerintahkan Nabi untuk bangun dan menyampaikan dakwah, membersihkan diri, serta meninggalkan segala bentuk kemaksiatan.
Surah Al-Muzzammil menekankan pentingnya ibadah malam dan tilawah Al-Qur’an secara perlahan-lahan agar lebih khusyuk dan bermakna. Sedangkan Surah Adh-Dhuha memberikan dukungan spiritual kepada Nabi bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya dan masa depan akan lebih baik daripada masa lalu.
Tauhid Pra-Islam di Makkah
Meskipun masyarakat Makkah mayoritas musyrik, ada beberapa individu yang tetap bertauhid sebelum kedatangan Islam. Mereka dikenal sebagai Hanif, yaitu orang-orang yang kembali kepada agama Nabi Ibrahim AS. Empat tokoh utama yang bertauhid adalah:
1. Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah RA, yang sempat mendukung Nabi dan beriman.
2. Zaid bin Amr bin Nufail, saudara sepupu Umar bin Khaththab RA, yang menolak penyembahan berhala dan mencari kebenaran agama Ibrahim.
3. Ubaidillah bin Jashsy, salah satu yang hijrah ke Habasyah dan meninggal sebagai muslim.
4. Utsman bin Al-Huwairits, yang juga menolak penyembahan berhala.
Mereka sering saling menasihati agar mencari kebenaran agama Ibrahim, karena menyadari bahwa kaum mereka telah menyimpang dari ajaran nenek moyang mereka sendiri.
***
Zaman jahiliyah adalah fase gelap dalam sejarah umat manusia, namun dari titik terendah itulah cahaya Islam mulai bersinar. Nabi Muhammad SAW, dengan sifat-sifat terpujinya dan persiapan yang matang, menjadi pembawa obor perubahan. Melalui wahyu pertama di Gua Hira, dimulailah era baru yang mengangkat martabat manusia, membebaskan dari kebodohan, dan menegakkan nilai-nilai tauhid serta keadilan.
Dengan hikmah yang mendalam, Allah memilih waktu, tempat, dan sosok yang tepat untuk membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya-Nya yang terang benderang.[]
Disarikan dari kajian Sirah Nabawiyyah di NSTV: