
Episode Terberat dalam Dakwah: Pemboikotan Total dan Tahun Kesedihan di Mekkah
Dalam sejarah perjuangan dakwah Islam, terdapat satu episode yang sangat menantang dan penuh pengorbanan, yaitu masa pemboikotan total terhadap keluarga besar Nabi Muhammad SAW. Ini adalah ujian berat yang tidak hanya menguji keteguhan hati para sahabat, tetapi juga menjadi pembuktian kekuatan iman dan kesetiaan terhadap ajaran Allah SWT.
Awal Mula Pemboikotan
Setelah masuknya tokoh penting seperti Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khaththab ke dalam agama Islam, jumlah kaum Muslim semakin bertambah. Hal ini membuat kaum Quraisy semakin gelisah. Ditambah lagi dengan penolakan tegas Nabi Muhammad SAW untuk menghentikan dakwahnya, serta komitmen Bani Hasyim dan Bani Muthallib untuk melindungi beliau, membuat mereka memutuskan langkah ekstrem: pemboikotan total.
Pada tahun ketujuh setelah kenabian, para pemimpin Quraisy berkumpul di lembah Al-Mahshib dan sepakat untuk memboikot keluarga besar Nabi Muhammad SAW. Keputusan itu mencakup empat poin utama: (1) Tidak boleh menikahi atau dikawinkan dengan anggota keluarga Nabi, (2) Tidak diperbolehkan melakukan jual beli dengan mereka, (3) Tidak menerima perdamaian dari mereka, dan (4) Tidak boleh merasa kasihan hingga mereka menyerahkan Nabi kepada Quraisy. Maklumat ini ditulis oleh Baghidl bin Amir dan digantungkan di dinding Ka’bah sebagai bentuk formalitas publik.
Tiga Tahun dalam Keterasingan
Keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthallib kemudian mengasingkan diri di Lembah Abu Thalib. Di sana, mereka menjalani masa pemboikotan selama tiga tahun lamanya. Selama periode tersebut, pasokan makanan dan air benar-benar diputus. Kaum musyrikin bahkan rela memborong barang dagangan agar tidak tersisa untuk keluarga Nabi.
Akibatnya, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit karena kelaparan. Jeritan anak-anak dan tangisan wanita di tengah malam terdengar menyayat hati. Namun, meskipun dalam tekanan hebat, keluarga Nabi tidak goyah. Bahkan Abu Thalib, pamannya, tetap membela Rasulullah tanpa syarat.
Di tengah situasi sulit ini, ada beberapa tokoh Quraisy yang masih memiliki rasa kemanusiaan. Salah satunya adalah Hisyam bin Amru, yang merancang strategi untuk mengakhiri pemboikotan. Ia mengajak Zuhair bin Abi Umayyah, Mut’im bin Adi, Abu Bakhtari, dan Zam’ah bin Aswad untuk bersama-sama menentang perjanjian tersebut.
Pembatalan Perjanjian Pemboikotan
Pada hari yang telah direncanakan, Zuhair mulai membuka suara saat thawaf di Ka’bah. Ia mempertanyakan sikap Quraisy yang tega membiarkan keluarga dekat mereka kelaparan. Tanggapan keras dari Abu Jahal langsung dibantah oleh Mut’im, Abu Bakhtari, Zam’ah, dan Hisyam secara bergantian. Akhirnya Mut’im mendatangi lembaran perjanjian untuk merobeknya, namun ternyata kertas tersebut sudah dimakan rayap—kecuali kalimat “Bismillah” (Dengan menyebut nama Allah).
Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa makar manusia tak akan mampu mengalahkan kuasa Allah. Setelah tiga tahun lebih menjalani pemboikotan, akhirnya pada bulan Muharram tahun ke-10 kenabian, blokade itu dicabut.
Wafatnya Abu Thalib dan Khadijah RA
Tidak lama setelah pemboikotan berakhir, datanglah ujian baru bagi Nabi Muhammad SAW. Tahun kesepuluh kenabian dikenal sebagai Aamul Huzni atau Tahun Kesedihan, karena wafatnya dua sosok penting dalam hidup beliau: pamannya, Abu Thalib, dan istrinya, Khadijah RA.
Abu Thalib meninggal dalam kondisi belum memeluk Islam, meskipun ia tetap melindungi Nabi dari ancaman Quraisy. Nabi sempat memohon agar pamannya mau mengucapkan kalimat syahadat, namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah terus menghasut hingga akhir hayatnya. Nabi tak putus asa dan hendak mendoakan pamannya tersebut agar mendapatkan ampunan. Karena itu, turunlah surah At-Taubah ayat 113 yang melarang Nabi memohonkan ampun bagi orang musyrik, meskipun kerabat sendiri.
Sementara itu, wafatnya Khadijah RA memberikan luka batin yang sangat dalam bagi Nabi. Beliau adalah istri pertama yang percaya pada kenabian Rasulullah, mendukung beliau secara materi maupun moral, dan menjadi tempat curahan hati selama masa-masa sulit.
Menikahi Saudah RA dan Dakwah ke Thaif
Untuk mengisi kekosongan setelah wafatnya Khadijah, Nabi menikahi Saudah binti Zam’ah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Saudah adalah salah satu dari sedikit wanita yang ikut hijrah ke Habasyah dan kembali setelah suaminya wafat.
Beberapa waktu setelah itu, Nabi melakukan perjalanan dakwah ke Thaif. Ia berharap dapat menemukan dukungan dari Bani Tsaqif. Sayangnya, usaha ini tidak berhasil. Para pemuka Bani Tsaqif menolak ajaran Islam dan bahkan menyuruh penduduk untuk melempari Nabi dengan batu hingga beliau terluka. Dalam kondisi lemah dan tertekan, Nabi berdoa kepada Allah, “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku, dan hina dinanya diriku di hadapan manusia…”
Doa ini menjadi simbol ketundukan total seorang nabi kepada Rabb-Nya. Di tengah penderitaan, Nabi tetap optimis dan yakin bahwa pertolongan Allah pasti datang. Sebagai bentuk kasih sayang-Nya, Allah mengutus Jibril dan malaikat penjaga gunung untuk menawarkan balasan bagi penduduk Thaif. Namun Nabi justru berdoa agar kelak dari keturunan mereka lahir orang-orang yang menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya.
Hikmah di Balik Ujian
Berbagai ujian berat ini mengandung pelajaran mendalam bagi umat Islam:
1. Proses seleksi alami bagi pejuang Islam: Hanya orang-orang yang benar-benar ikhlas dan teguh imannya yang mampu bertahan.
2. Mendidik jiwa dengan kesabaran dan pengorbanan: Ujian adalah bagian dari proses pendewasaan iman.
3. Membersihkan diri dari dosa dan niat buruk: Agar layak menerima pertolongan Allah.
4. Makar Allah lebih dahsyat dari rencana manusia: Pembatalan pemboikotan datang dari pihak yang tak diduga—kaum kafir Quraisy sendiri.
Kembali ke Mekkah dengan Keyakinan
Setelah gagal mendapatkan perlindungan di Thaif, Nabi kembali ke Mekkah. Meskipun risiko besar mengintai, beliau tetap percaya bahwa Allah akan melindungi agama-Nya. Dengan izin Allah, Mut’im bin Adi, salah satu tokoh yang menentang pemboikotan, bersedia melindungi Nabi saat kembali ke Mekkah.
Perjalanan pulang ini menjadi bukti bahwa keyakinan seorang Nabi tidak pernah runtuh, meski dihadapkan pada kenyataan paling pahit sekalipun.
***
Episode pemboikotan total dan ujian berat di Mekkah adalah bagian penting dari perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Melalui kesulitan inilah karakter umat Islam dibentuk, iman diuji, dan ketundukan kepada Allah semakin kokoh. Fragmen sirah ini mengajarkan kita bahwa dalam setiap ujian, ada hikmah dan pertolongan yang menanti. Dan dalam setiap kesulitan, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya yang sabar dan taat.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: