NgajiShubuh.or.id — Proyek Kereta Api Cepat Jakarta Bandung atau Whoosh adalah proyek strategis nasional yang digarap 2017 dan resmi beroperasi Oktober 2023. Proyek ini telah menjadi sorotan utama karena masalah yang timbul sejak awal, bahkan sebelum tiang pancang pertama dipasang. Awalnya, proyek ini diperkirakan menelan biaya USD 1,9 miliar, namun terjadi pembengkakan luar biasa hingga mencapai USD 8 miliar, atau sekitar Rp114 hingga 120 triliun rupiah. Mahfud MD bahkan sempat menyoroti adanya dugaan korupsi besar di balik pembengkakan biaya ini. Kenaikan biaya fantastis ini disebabkan oleh beberapa komponen, termasuk kenaikan biaya EPC (Engineering, Procurement, and Construction), pembebasan lahan, beban keuangan (bunga utang), dan biaya operasional.
Secara komersial, proyek ini disebut sebagai “bom waktu” karena kemampuan keekonomiannya yang diragukan, di mana diprediksi sulit menutup biaya operasional dan bahkan ada yang memprediksi break event point (BEP) baru terjadi setelah satu abad. Proyek KCJB ini dikelola melalui konsorsium BUMN Indonesia (60% saham) dan BUMN Tiongkok (40% saham). Mayoritas pendanaan, yakni 75%, berasal dari pinjaman Tiongkok. Pinjaman dari Tiongkok ini berupa utang dalam dolar AS dengan bunga 2% per tahun dan dalam Yuan dengan bunga 3,4% per tahun.
Awalnya, proyek ini diumumkan sebagai skema business-to-business (B2B) yang tidak akan melibatkan jaminan atau dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, janji ini dilanggar ketika proyek mengalami kemangkrakan, dan APBN akhirnya dipaksa untuk menanggung defisit. Akibat dari proyek ini, beberapa BUMN mengalami kerugian signifikan. Pertama, PT Wijaya Karya (WIKA) mengalami kerugian 7,12 triliun rupiah, dengan utang total membengkak menjadi Rp56 triliun pada tahun 2023. Kedua, PT Kereta Api Indonesia (KAI) diprediksi menanggung kerugian sekitar Rp6 triliun hingga tahun 2026 akibat proyek ini.
Ketika kerugian makin membesar, Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) yang bertindak sebagai koordinator Komite Kereta Cepat Jakarta Bandung, seolah-olah ingin “cuci tangan” dengan mengatakan bahwa keuangan kereta cepat sudah busuk sejak awal, padahal sebelumnya ia membela proyek tersebut. Komite yang dibentuk Jokowi untuk menyelesaikan proyek ini melibatkan Luhut, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Oligarki
Menurut pengamat ekonomi Dr. Arim Nasim, proyek infrastruktur di era Jokowi banyak yang dilakukan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan kelompok atau oligarki, yang hanya mengatasnamakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Keputusan memilih Tiongkok juga didasarkan pada penawaran pinjaman yang tidak mensyaratkan jaminan pemerintah (yang faktanya kemudian dilanggar) dan klaim tender yang kompetitif, padahal tenaga kerja konstruksi hingga tenaga kasar banyak didatangkan dari Tiongkok.
Pemilihan Tiongkok (Cina) dalam proyek ini disoroti sebagai bagian dari kolaborasi antara kepentingan Tiongkok untuk mengokohkan dominasi melalui proyek Belt and Road Initiative (OBOR) dan kepentingan rezim Jokowi yang cenderung lebih dekat kepada Tiongkok. Proyek ini dilihat lebih dominan sebagai proyek politik daripada murni proyek ekonomi.
Islam
Dalam pandangan Islam, proyek kereta api cepat Jakarta Bandung dinilai sebagai proyek yang haram (diharamkan secara hukum syarak) karena beberapa aspek. Dianggap haram karena, pertama, aspek pendanaannya dengan utang riba dan pajak. Terlebih utang riba ini dilakukan kepada Cina sebagai negara penjajah. Begitu pun pajak tentu akan membebani rakyat secara keseluruhan, padahal proyek ini hanya ambisi oligarki. Kedua, proyek ini bukanlah kebutuhan primer (pokok) bagi masyarakat. Proyek sekunder seperti KCJB haram dibiayai dari utang, apalagi utang berbunga, atau menggunakan dana negara. Proyek ini dipandang hanya sebagai alternatif, padahal mobilitas Jakarta-Bandung bisa diatasi dengan lebih murah melalui pengembangan double track kereta api biasa.
Ketiga, investasi asing melalui utang luar negeri dianggap sebagai salah satu cara negara kapitalis (penjajah) untuk mengeksploitasi dan menjajah negara penerima pinjaman, melemahkan ekonomi, dan memaksakan kebijakan politik/ekonomi tertentu (seperti liberalisasi sumber daya alam). Bahkan, proyek ini juga dilaporkan merampas tanah rakyat secara zalim, di mana kompensasi yang dijanjikan tidak layak atau tidak terealisasi. Investasi asing yang sering dikejar-kejar pemerintah bisa menjadi pintu masuk hegemoni asing untuk menguasai negeri ini dan membuat negeri ini tidak berdaya.
Untuk mengatasi permasalahan ini tidak ada cara lain kecuali kembali ke sistem Islam secara keseluruhan, karena hanya dengan menerapkan hukum Islam rantai penjajahan dapat diputus secara total. Pemerintah harus mengkaji ulang proyek ini dan memutus rantai kerugian negara dengan merevisi sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sistem ekonomi Islam. Penerapan Islam tidak hanya aspek ekonomi semata, tapi juga segala aspek kehidupan dengan mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiah.[] Ika Mawarningtyas
