
Vaksin dari Peradaban Islam: Meluruskan Kesalahpahaman dengan Fakta Sejarah dan Sains
Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan, vaksinasi masih menjadi topik perbincangan hangat yang sering kali diwarnai oleh misinformasi dan resistensi dari sebagian masyarakat. Berbagai alasan, mulai dari isu keagamaan, hoaks medis, hingga teori konspirasi politik, menjadi dasar penolakan ini. Namun, tahukah Anda bahwa peradaban Islam memiliki peran penting dalam sejarah awal pengembangan vaksin?
Akar Vaksinasi Modern: Inovasi dari Khilafah Utsmani
Jauh sebelum dikenal luas di dunia Barat, sebuah metode untuk menciptakan kekebalan terhadap penyakit cacar (variola) telah dipraktikkan di Istanbul pada abad ke-17, di masa Khilafah Utsmani. Metode ini dikenal dengan istilah variolasi, yaitu menyuntikkan bahan dari penderita cacar ringan kepada orang sehat untuk memicu imunitas.
Praktik ini disaksikan langsung oleh Lady Mary Wortley Montagu, istri seorang konsul Inggris di Istanbul. Ia terobsesi dengan metode ini setelah adiknya menderita cacar hingga wajahnya cacat permanen. Bersama dokter kedutaan, Charles Maitland, ia membawa pengetahuan berharga ini ke Inggris pada tahun 1721 dan menginokulasi putra-putrinya sendiri di bawah pengawasan Royal College of Physician.
Meskipun sukses, metode ini menimbulkan kontroversi di Inggris. Sebagian masyarakat menolaknya dengan alasan agama (dianggap pengetahuan dari “orang kafir“), kecurigaan medis, dan kekhawatiran politik. Namun, praktik yang dibawa dari dunia Islam inilah yang kemudian menginspirasi Dr. Edward Jenner untuk meneliti dan memodernisasi metode tersebut sekitar setengah abad kemudian, yang akhirnya melahirkan vaksinasi modern yang kita kenal hari ini.
Ini menunjukkan bahwa dunia Islam memiliki peran penting dalam mengawali sejarah vaksinasi global.
Mengapa Ada Resistensi? Menjawab Tiga Kekhawatiran Utama
Saat ini, resistensi terhadap vaksin muncul kembali dengan alasan yang hampir serupa dengan yang terjadi di Inggris pada abad ke-18. Mari kita bedah tiga isu utama tersebut:
- Hoaks Medis: Sering kali beredar informasi keliru seperti vaksin menyebabkan autisme atau mengandung zat berbahaya seperti merkuri. Faktanya, vaksin bukanlah racun, melainkan cara untuk “melatih” sistem imun tubuh agar mengenali dan melawan virus atau kuman spesifik. Manfaatnya jauh lebih besar daripada efek sampingnya yang umumnya ringan, seperti demam sesaat. Terkait kandungan thimerosal (etil merkuri) pada beberapa vaksin, zat ini berfungsi sebagai penguat komponen vaksin (adjuvant) dan berbeda dengan metil merkuri yang berbahaya. Keamanan setiap vaksin telah melalui uji klinis berlapis sebelum digunakan secara massal.
- Kekhawatiran Agama (Isu Halal-Haram): Sebagian masyarakat khawatir vaksin haram karena prosesnya mungkin bersentuhan dengan bahan najis. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berulang kali mengeluarkan fatwa bahwa vaksin hukumnya halal dan mubah demi menjaga jiwa (hifzhun an-nafs), yang merupakan salah satu tujuan utama syariat. Bahkan, Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa penggunaan bahan haram yang memiliki indikasi medis yang jelas hukumnya makruh, bukan haram. Hal ini didasarkan pada dalil di mana Nabi Muhammad SAW memperbolehkan Sayyidina Utsman bin Affan RA memakai sutra (yang haram bagi laki-laki) untuk mengobati penyakit kulitnya.
- Teori Konspirasi Politik: Narasi bahwa vaksin adalah senjata biologis untuk depopulasi global atau alat rezim korup dan oligarki farmasi juga kerap beredar. Narasi seperti ini perlu dilawan dengan literasi kritis untuk membedakan mana teori yang mungkin benar dan mana yang mustahil. Sering kali, teori konspirasi semacam ini mudah menyebar di kalangan masyarakat yang sedang beroposisi terhadap penguasa.
Herd Immunity: Ikhtiar Kolektif Melindungi Sesama
Vaksinasi bukanlah sekadar perlindungan individu, tetapi sebuah ikhtiar kolektif untuk melindungi masyarakat luas. Agar efektif, vaksinasi harus mencakup sebagian besar populasi (sekitar 80-95%) untuk mencapai perlindungan komunal atau herd immunity.
Ketika mayoritas orang divaksin, mereka yang tidak bisa divaksin karena kondisi medis tertentu (seperti penderita penyakit autoimun, lansia, atau orang dengan sakit kronis) akan ikut terlindungi. Sebaliknya, jika banyak orang menolak vaksin, wabah penyakit yang seharusnya sudah bisa dikendalikan seperti campak dan polio dapat merebak kembali.
Vaksinasi adalah Amal Jariah
Sejarah membuktikan bahwa vaksin adalah pengubah permainan (game-changer) dalam kesehatan manusia. Penyakit mematikan seperti cacar yang telah membunuh ratusan juta orang kini telah musnah berkat vaksinasi global.
Pada abad ke-19, ketika ilmu vaksinasi modern dari Inggris kembali ke Turki, Khilafah Utsmani di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Majid I mengambil langkah tegas. Bekerja sama dengan Syaikhul Islam (otoritas ulama tertinggi), beliau mewajibkan vaksinasi massal gratis bagi anak-anak untuk menghentikan epidemi cacar, serta menerbitkan risalah untuk mengedukasi masyarakat.
Menolak vaksin tanpa dasar ilmiah dan syar’i bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga mengkhianati warisan sejarah Islam yang menjunjung tinggi ikhtiar menjaga kehidupan. Satu suntikan vaksin adalah wujud nyata kasih sayang, penggunaan akal sehat, dan kepatuhan pada ajaran Islam yang bisa menjadi amal jariah untuk melindungi keluarga dan generasi mendatang.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: