
NgajiShubuh.or.id – Memang aneh dan lucu sekali perhitungan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia. Sejak perinciannya, APBN sudah dirancang defisit. APBN 2026 disiapkan defisit sebesar Rp689,1 triliun, dengan total belanja negara Rp3.842,7 triliun dan pendapatan negara Rp3.153,9 triliun. Ada dua sumber pemasukan APBN yang berpotensi jadi beban rakyat. Pertama, pemasukan APBN masih didominasi pajak. Dominasinya mencapai 85% dari total pendapatan Rp2.693,71 triliun. Ketergantungan yang masif ini mengindikasikan bahwa beban masyarakat dengan pajak akan makin berat di tahun 2026.
Kedua, utang riba ke pihak asing. Solusi dari defisit adalah penarikan utang baru sebesar Rp781 triliun. Beban pembayaran utang Indonesia sangat besar. Pada APBN 2025, cicilan pokok utang dan bunga riba mencapai sekitar Rp1.352 triliun. Angka ini membesar pada APBN 2026 dan utang jatuh tempo mencapai Rp833 triliun dan bunga riba Rp599 triliun, dengan total beban utang sekitar Rp1.433 triliun. Posisi utang publik per 31 Maret 2025 mencapai Rp17.641 triliun. Jumlah ini keuangan publik. Beberapa ekonom bahkan memperkirakan utang publik sudah mendekati Rp20.000 triliun. Utang publik adalah kewajiban finansial yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan daerah, yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah. Utang ini bisa kepada penduduk maupun asing, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran publik yang tidak bisa ditutupi oleh pajak. Utang publik sering disebut juga sebagai utang negara atau utang pemerintah.
Defisit yang terus menerus terjadi karena politik ekonomi kapitalisme yang mengabaikan sumber daya alam (SDA) sebagai sumber pendapatan utama. SDA seperti cadangan batu bara yang fantastis (potensi nilai mencapai Rp3.700 triliun per tahun 2022, justru diserahkan kepada segelintir oligarki swasta, alih-alih dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat. Selain itu, pemerintah justru mengalokasikan anggaran kepada program-program populis problematis seperti makan bergizi gratis (MBG) atau Danantara. Program yang menghabiskan banyak biaya demi mengejar validasi publik semata, malah berujung blunder terhadap APBN dan pemerintah.
Persiapan defisit APBN 2026 ini mempertegas kegagalan negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Seolah-olah pemerintah hanya bergantung pada utang kepada asing dan pajak. Dampaknya, dari utang riba ke asing, untuk bayar ribanya saja pemerintah harus utang lagi dan atau menaikkan beban pajak kepada masyarakat. Hal ini menjadi beban yang zalim kepada rakyat hingga bisa disebut sebagai neokolonialisme (penjajahan baru yang lebih halus dan laten, yang membuat negara berkembang tetap bergantung pada negara maju/penjajah).
Defisit APBN 2026 mengonfirmasi desain neokolonialisme itu nyata dipraktikkan di Indonesia. Negeri ini dibuat bergantung pada utang kepada pihak asing dan rakyat dicekik dengan berbagai tuntutan pajak. Di saat yang sama pemerintah justru melakukan swastanisasi dan kapitalisasi SDA kepada asing. Aset dan kekayaan negara dikuasai asing, negaranya punya utang yang terus bertambah akibat riba, dan rakyatnya dihisap dengan aneka pajak. Inilah gambaran neokolonialisme di negeri ini yang mendapatkan legitimasi hukum di setiap langkahnya.
Sudah saatnya untuk mengakhiri pola kelola APBN kapitalistik ini. Pemerintah harus mengelola APBN dengan sistem Islam untuk terhindar dari jeratan riba dan pajak yang mendominasi APBN ini. Hanya dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh, hegemoni negara penjajah bisa diputuskan, sehingga negara bisa berdikari mengelola negaranya dan hanya tunduk kepada Allah Swt. yang telah menciptakan segalanya. Memang hijrah ke sistem Islam tidaklah mudah, tapi jika negeri ini punya kemauan sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan. Oleh karena itu, hanya dengan Kembali kepada sistem Islam kaffah dalam naungan sistem Khilafah Islamiah, negeri ini akan membawa kesejahteraan dan rahmat ke seluruh alam.[] Ika Mawarningtyas
Disarikan dan dikembangkan dari YouTube Ngaji Shubuh TV: