NgajiShubuh.or.id — Tragedi yang terjadi baru-baru ini—mulai dari robohnya bangunan pondok pesantren di Sidoarjo yang menelan hampir 60 korban, hingga kasus keracunan massal program Makanan Bergizi (MBG)—memunculkan pertanyaan mendasar mengenai bagaimana umat Islam memahami takdir dalam konteks hukum alam (sunatullah) dan tanggung jawab manusia. Dalam Islam, ketika musibah terjadi, ucapan standar yang diajarkan adalah “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dan anjuran untuk bersabar. Keyakinan bahwa ada hal yang disukai manusia tetapi buruk baginya, dan sebaliknya, adalah bagian dari keimanan.
Namun, di balik keimanan tersebut, terdapat persoalan mendasar: apakah setiap musibah cukup disikapi dengan sabar dan tawakal, ataukah musibah tersebut harus menjadi alarm bagi kesalahan sistem yang harus dibenahi? Pemahaman qada dan qadar yang bersifat fatalistik—seolah-olah Allah menentukan tanpa keterlibatan manusia—adalah bahaya teologis dan ideologi yang berbahaya. Jika semua musibah direspons hanya dengan rida pada qada dan qadar secara fatalistik, maka Islam tidak akan memiliki hukum qishas (hukuman setimpal). Hukum qishas diwajibkan bagi pelaku, meskipun korban meninggal karena ajalnya telah tiba. Takdir adalah dalil untuk korban, bukan dalil untuk pelaku yang harus tetap bertanggung jawab.
Musibah Akibat Mengabaikan Sunatullah
Tragedi yang terjadi seringkali bukan disebabkan oleh intervensi gaib tanpa sebab akibat, melainkan akibat langsung dari pelanggaran sunatullah (hukum alam). Qadar adalah ketetapan universal atau sunatullah (misalnya, gravitasi atau sifat api yang membakar), sedangkan qada adalah keputusan spesifik (misalnya, seseorang lahir di negara tertentu). Pelanggaran hukum Allah (sunatullah) berarti menentang kehendak Allah.
Pertama, robohnya pesantren. Bangunan tua pondok pesantren di Sidoarjo roboh saat sedang ditambahkan lantainya. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indonesia (Menteri PUPR) bahkan mencatat bahwa dari 42.433 pesantren di Indonesia, hanya 50 yang mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Kelalaian dalam mematuhi hukum statika struktur dan pengawasan konstruksi menyebabkan keruntuhan itu, dan ini adalah konsekuensi pasti ketika hukum-hukum ini diabaikan.
Kedua, keracunan MBG. Hingga 6 Oktober, sebanyak 10.482 anak dilaporkan keracunan dari dapur MBG. Data menunjukkan bahwa dari 8.549 penyedia MBG (SPPG), hanya 34 dapur yang memiliki Sertifikat Layak Higienis dan Sanitasi (SLHS). Keracunan makanan terjadi karena sifat bakteri seperti Salmonella dan E. Coli; jika bakteri tersebut mengontaminasi makanan, akan menyebabkan penyakit. Hal ini terjadi karena mengabaikan kebersihan adalah melanggar sunatullah.
Tiga Pilar Ikhtiar Kolektif
Keimanan sejati mendorong manusia untuk belajar, memperbaiki diri, dan mencegah mudarat (bahaya). Ikhtiar harus maksimal. Rasulullah SAW sendiri, meskipun doanya paling mustajab, melakukan ikhtiar maksimal dengan membangun parit (teknologi parit) saat Perang Ahzab. Ini adalah tiga peran penting yang harus dijalankan untuk menolak fatalisme kolektif. Pertama, peran individu dan kepemimpinan yang amanah. Setiap pemimpin—terutama yang memimpin lembaga pendidikan—memiliki tanggung jawab moral, profesional, dan spiritual untuk memastikan keselamatan. Sehingga seorang pemimpin harus mencari ahli bangunan jika memang tidak menguasai dalam hal membangun sebuah gedung yang kokoh. Ia harus mencari ahli sipil untuk membangun gedung kokoh bertingkat, begitu pun dalam hal lainnya. Jangan gengsi menyerahkan urusan kepada ahlinya apabila tidak menguasai di bidang tersebut walaupun dia tetap menjadi tanggung jawab utama.
Kedua, peran opini publik dan budaya. Meskipun mengucapkan sabar dan ikhlas itu dianjurkan dalam Islam, budaya kita memiliki masalah fatalisme kolektif yang menumpulkan kesadaran kritis. Masyarakat terbiasa menenangkan diri, bukan mencari sebab dan memperbaikinya. Mengkritisi kelalaian bukan berarti melecehkan takdir atau menghina ulama, melainkan menghormati hukum Allah yang rasional. Pengawasan sosial (hisbah) adalah bagian dari ibadah. Sudah selayaknya mau menerima kritik sebagai bagian dari introspeksi diri sehingga tetap tanggung jawab dalam melaksanakan amanah kepemimpinan.
Ketiga, peran negara (penegakan sistem). Negara memiliki amanah besar untuk melindungi jiwa warganya dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Negara harus memastikan setiap bangunan publik termasuk pesantren, masjid, gedung sekolah, dan sebagainya, memenuhi standar keselamatan. Regulasi dan pengawasan kontruksi harus diperkuat dan sertifikasi teknis dijalankan demi memenuhi standar keselamatan. Jika ditemukan unsur kelalaian, hukum harus ditegakkan, bahkan jika pengurusnya adalah orang yang saleh atau alim.
Dengan memahami sunatullah dan memperbaiki sistem, kita tidak sekadar ikhlas dan bersabar, tetapi kita menunaikan iman dalam bentuk tanggung jawab sebagai ikhtiar kolektif.[] Ika Mawarningtyas
Disarikan dari kajian YouTube Ngaji Shubuh TV:
