
Problem Kesehatan Mental: Mengapa Semakin Marak dan Bagaimana Solusi Islam Mengatasinya?
Kesehatan mental adalah kondisi kejiwaan dan psikis seseorang yang memungkinkannya mengatasi tekanan hidup, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada komunitasnya. Ini mencakup kemampuan berpikir, merasakan, bertindak, bersosialisasi, dan mengelola stres. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik karena keduanya saling mempengaruhi dan merupakan bagian dari kesejahteraan masyarakat.
Seseorang dengan mental yang sehat akan menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan, memiliki visi hidup yang jelas, cara berpikir positif, dan mudah bangkit dari keterpurukan. Mereka juga produktif, kontributif, pandai mengelola stres, mengendalikan emosi, serta menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Namun, mencapai kondisi ideal ini tidak mudah, terutama dengan banyaknya pemicu stres hari ini.
Fenomena Maraknya Gangguan Mental: Sebuah Krisis Global
Dalam satu dekade terakhir, isu kesehatan mental menjadi sangat banyak dibahas, terutama setelah ditemukan banyak kasus di kalangan generasi muda, mulai dari NPD (narsistik), stres, kecanduan game atau film, hingga depresi berat dan kegilaan.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental semakin marak terutama pascapandemi Covid-19, yang memicu tekanan jangka pendek maupun panjang. Dampaknya bukan hanya pada ekonomi yang krisis, tetapi juga merusak kesehatan mental banyak orang karena perasaan terkekang, bingung, cemas, dan kehilangan pekerjaan.
Pada tahun 2025 WHO menyatakan problem kesehatan mental pada anak dan remaja mencapai titik kritis dan menghancurkan. Kids Right Index 2025 melaporkan 14% anak dan remaja usia 10-19 tahun mengalami problem kesehatan mental. Bahkan, anak di bawah 10 tahun pun banyak yang mengalami gangguan mental emosional akibat bullying atau pelecehan seksual.
Secara global, angka bunuh diri pun mencapai 6/100.000 orang pada remaja usia 15-19 tahun, bahkan menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak pada usia 15-29 tahun. Penggunaan media sosial memiliki korelasi dengan kondisi kesehatan mental, termasuk bunuh diri.
Kemudian ada fenomena baru, yaitu Duck Syndrome atau Sindrom Bebek, di mana seseorang terlihat tenang di permukaan namun menyimpan kegundahan luar biasa. Fenomena tersebut kini marak di kalangan generasi muda karena tuntutan tampil sempurna di media sosial.
Di Indonesia, data Survei Kesehatan Mental Generasi Muda 2022 menunjukkan 34,9% remaja mengalami gejala gangguan mental. Menteri Kesehatan juga pernah mengatakan 30% dari 280 juta penduduk Indonesia pada 2025 memiliki penyakit mental. Kasus bunuh diri juga meningkat dari tahun ke tahun.
Akar Masalah: Perspektif Islam tentang Problematika Kesehatan Mental
Pendekatan penanganan kesehatan mental telah berevolusi dari spiritualistik (ruqyah, pemasungan) menjadi psikologis (konflik psikis) hingga multifaktor (psikologis, interpersonal, keluarga, masyarakat, medis). Namun, saat ini, pendekatan yang dominan masih sekularistik dan materialistik; masalah kesehatan mental dilihat sebagai problem tunggal dan individual. Padahal, sejatinya, problem kesehatan mental adalah problem multifaktor dan sistemik, yang menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang “sakit” karena sesuatu yang melingkupi.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental meliputi:
- Internal: Biologis (genetik), fisiologis (pengalaman, trauma seperti inner child), dan spiritualitas (ketahanan ideologis, kemampuan mengatasi masalah).
- Eksternal: Keluarga (pola asuh, relasi, kondisi ekonomi), lingkungan (interaksi, kontrol sosial, budaya, lifestyle, media sosial), dan yang paling krusial adalah peran negara.
Islam memberikan jawaban jelas terkait kesempitan hidup yang dirasakan oleh banyak orang yang mengalami gangguan mental emosional. Dalam Surah Thaha ayat 124, Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh ia akan menjalani kehidupan yang sempit.” Kesempitan hidup ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem sekularisme, sistem yang menafikan peran Allah dalam kehidupan.
Sistem sekuler sendiri menciptakan banyak stresor melalui berbagai aspek:
- Politik: Jauh dari fungsi pengayoman, penguasa tidak memposisikan diri sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Kebijakan negara seringkali menjadi sumber kekerasan terbesar, menyebabkan stres pada masyarakat, misalnya terkait pajak atau layanan kesehatan seperti BPJS yang tidak berpihak pada rakyat.
- Ekonomi: Sistem kapitalisme yang eksploitatif memproduksi kemiskinan dan pengangguran, sementara negara seolah menganggapnya baik-baik saja dan menetapkan kriteria kemiskinan yang tidak sesuai realita.
- Sosial Budaya: Penuh persaingan, individualis, hedonis, konsumtif, liberal-permisif, dan penuh kekerasan, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi kesejahteraan mental.
- Pendidikan: Sekularistik, tidak lagi menjadi tempat aman bagi anak-anak, jauh dari agama, bahkan guru menjadi pelaku kejahatan. Orientasi pendidikan menciptakan “mesin pekerja” yang menuntut secara materialistik.
- Hukum: Diskriminasi dan sulitnya mendapatkan keadilan, menimbulkan frustrasi (no viral no justice).
- Media: Menjadi alat propaganda kekufuran, pornografi, game judi, riba online, yang kesemuanya menjadi stresor.
Solusi Komprehensif: Kembali pada Sistem Islam
Mengingat akar masalahnya yang sistemik, solusinya pun harus sistemik dan komprehensif. Kehidupan sekuler-kapitalistik harus ditinggalkan karena bukan habitat umat Islam dan tidak manusiawi. Satu-satunya harapan adalah sistem Islam, yang merupakan konsekuensi iman bagi seorang Muslim. Allah SWT dengan tegas berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 65 bahwa hakikatnya kita tidak beriman sebelum menjadikan Nabi Muhammad sebagai hakim dalam setiap perkara, tanpa keberatan.
Ajaran Islam adalah sistem yang sempurna, solusi bagi seluruh problem kehidupan, yang bukan hanya memberikan kesejahteraan material, tetapi juga kesejahteraan hakiki yang disebut keberkahan (ziadatul khair).
Islam menjadi support system bagi kesehatan mental melalui dua aspek utama:
- Akidah yang Sahih: Menjawab persoalan utama manusia (dari mana aku?, akan ke mana aku?, dan harus apa aku?), memberikan visi hidup yang jelas, menjadi asas pola berpikir dan bersikap umat. Akidah Islam menjadi pondasi imun untuk menghadapi berbagai problem cabang kehidupan (ekonomi, politik, pergaulan, keluarga), menciptakan nafsun mutmainah (jiwa yang tenang tenteram) dan jiwa pejuang yang tangguh.
- Aturan Islam yang Sempurna: Mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia: (1) Hubungan dengan Allah: Meliputi rukun iman (termasuk qada dan qadar) serta ibadah, yang dapat menjadi solusi pelepasan stres. (2) Hubungan dengan Diri Sendiri: Mengatur makanan, minuman, dan akhlak, sehingga lisan dan perilaku individu tidak menjadi stressor bagi orang lain. (3) Hubungan dengan Masyarakat: Meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan media, yang semuanya diatur untuk menciptakan masyarakat yang kondusif dan sejahtera.
Ajaran Islam akan mengeliminasi stresor dan menjadi support system bagi kesehatan mental dan kesehatan lainnya. Allah menjanjikan keberkahan dari langit dan bumi bagi penduduk negeri yang beriman dan bertakwa, namun sebaliknya akan menimpakan azab jika mereka mendustakan ayat-Nya (QS. Al-A’raf: 96).
Peran Individu, Masyarakat, dan Negara dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam, individu yang tangguh, masyarakat yang kondusif (menjalankan amar makruf nahi mungkar), dan negara yang berfungsi sebagai pengatur serta pelindung akan saling menguatkan. Ini membangun imunitas dan keimanan yang sempurna, membentuk ketahanan ideologis yang tangguh.
Sejarah mencatat kecemerlangan peradaban Islam. Will Durant, sejarawan Barat, dalam bukunya The Story of Civilization, menyatakan bahwa para Khalifah telah memberikan keamanan luar biasa bagi kehidupan dan kerja keras manusia, menyediakan peluang dan kesejahteraan (termasuk kesehatan fisik dan mental) selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena ini belum pernah tercatat lagi dalam sejarah setelah masa mereka.
Mengapa Orang Taat pun Bisa Terkena Gangguan Mental?
Fenomena orang-orang yang secara individu terlihat taat namun ternyata mengalami problem kesehatan mental bukanlah kemunafikan. Ini adalah bukti betapa sistem sekuler saat ini sedemikian tidak manusiawinya, hingga bisa memapar siapa saja, bahkan mereka yang mestinya idealnya tidak terpengaruh. Perjuangan mereka untuk tetap baik di tengah sistem yang destruktif adalah perjuangan besar yang patut diapresiasi. Stresor bisa datang dari pengalaman masa lalu, pola asuh yang salah, dan berbagai faktor internal yang tidak terlihat dari luar. Yang dibutuhkan adalah sistem pendukung (support system) yang kuat, mulai dari keluarga, lingkungan, dan terutama negara, yang menciptakan kebijakan-kebijakan yang baik.
Tantangan Ibu Rumah Tangga dan Solusi Ekonomi dalam Islam
Bagi kaum ibu, problem ekonomi (pemasukan terbatas, pengeluaran banyak) adalah stresor yang sangat nyata. Sistem ekonomi kapitalistik yang liberal menciptakan kesenjangan sosial yang tinggi dan mengorbankan mayoritas masyarakat. Tawaran gaya hidup konsumtif, pinjaman online (pinjol), hingga proyek-proyek pemberdayaan ekonomi perempuan yang digagas secara global (misalnya SDGs) seringkali menjadikan perempuan sebagai problem solver atas persoalan ekonomi yang sejatinya bukan tanggung jawab individual.
Dalam pandangan Islam, perempuan diratukan; tugas utamanya adalah mendidik anak di rumah, dengan finansial dan keamanan dijamin oleh suami atau negara. Ini memungkinkan ibu fokus pada pendidikan anak, menciptakan generasi cemerlang. Meskipun perempuan boleh terlibat dalam aktivitas ekonomi, ini bukan solusi tuntas untuk kemiskinan sistemik. Kita harus keluar dari kotak pemikiran kapitalisme yang menuntut perempuan untuk bekerja penuh dan menjadi solusi kemiskinan, karena ini adalah desain besar untuk menjauhkan kaum Muslim dari peradaban Islam. Sambil berusaha secara praktis, kita harus terus menguatkan tawakal kepada Allah tentang rezeki dan tidak terdistraksi oleh propaganda yang membahayakan umat.
Seruan untuk Perubahan: Kembali kepada Islam Kaffah
Sebagai Muslim, ilmu yang kita dapatkan menuntut pertanggungjawaban. Jika kita menyadari kerusakan sistem saat ini, adalah tanggung jawab kita untuk menyebarluaskan pemahaman tentang akar masalah dan satu-satunya solusi: kembali kepada aturan-aturan Allah. Dakwah adalah kewajiban setiap Muslim, bukan hanya ustadz atau ulama. Dakwah harus komprehensif, mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan hingga mewujudkan khilafah sebagai “mahkota kewajiban”.
Kita harus menjadikan agenda perubahan di tengah masyarakat ini sebagai agenda bersama, berjuang untuk mengembalikan sistem Islam melalui dakwah tanpa kekerasan, mencontoh Rasulullah SAW. Kebahagiaan tertinggi bagi seorang Muslim adalah mencari keridaan Allah (QS. Al-Baqarah: 207). Dengan berjuang mencari keridaan Allah, mental kita akan tetap sehat, kewarasan terjaga, dan kita akan mampu berkontribusi dalam perubahan, meskipun menjadi korban sistem yang rusak.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: