
Indonesia Merdeka atau Indonesia Gelap? Mengurai Makna Kezaliman dan Jalan Menuju Cahaya
Konsep “kegelapan” memiliki relevansi kuat dalam hadits, yang diidentikkan atau dikonotasikan dengan kezaliman. Hadits yang menjadi pijakan utama adalah dari Jabir radhiyallallahu anhu, di mana Rasulullah ﷺ bersabda: “Jauhilah kezaliman, karena kezaliman itu akan menjadi kegelapan di hari kiamat.”
Secara bahasa, kezaliman (az-zulm) diartikan sebagai “meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Namun, Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan makna penting lainnya, yaitu “pengurangan (an-naqs)”. Ini berarti kezaliman juga merujuk pada tindakan mengurangi sesuatu yang seharusnya menjadi hak orang lain atau melakukan kurang dari yang seharusnya. Kezaliman itu sendiri dapat terjadi dalam dua bentuk utama; (1) meninggalkan kewajiban, dan (2) mengerjakan keharaman.
Dua Jenis Kezaliman: Terhadap Hak Allah dan Hak Manusia
1. Kezaliman terhadap Hak Allah Azza wa Jalla
Ini adalah kezaliman terbesar. Allah memiliki hak untuk ditauhidkan, diibadahi, dan ditaati. Contoh kezaliman paling tinggi dalam konteks ini adalah syirik (mempersekutukan Allah); mengadakan sekutu bagi Allah yang telah menciptakan kita.
Termasuk kezaliman terhadap hak Allah adalah tidak melaksanakan hukum-hukum Allah (hudud) yang telah ditentukan-Nya dalam Al-Qur’an, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam/jilid bagi pezina, atau bahkan menggantinya dengan hukuman lain.
Dalam bidang ekonomi, melegalkan riba yang diharamkan Allah juga merupakan kezaliman terhadap hak Allah.
Menerapkan hukum buatan manusia (misalnya, hukum yang bersumber dari demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai sumber hukum) daripada hukum Allah adalah kezaliman yang sangat besar, karena ini menggeser hak pembuatan hukum dari Allah kepada manusia, menjadikan manusia berperan sebagai Tuhan. Demokrasi disebut sebagai sistem kufur karena alasan ini.
Regulasi yang membiarkan atau tidak menghukum dosa-dosa besar (seperti khamr atau judi online) juga berlapis-lapis kezaliman para pembuatnya.
2. Kezaliman terhadap Hak Sesama Hamba (Manusia)
Berdasarkan khutbah haji wada’ Nabi ﷺ, hak-hak manusia yang tidak boleh dilanggar adalah darah (nyawa), harta, dan kehormatan mereka.
Dalam hal darah, salah satu bentuk kezaliman adalah membunuh atau melukai orang lain. Sementara dalam hal harta, bentuk kezalimannya bisa dengan mengambil harta orang lain tanpa hak, tidak memberikan hak yang seharusnya (misalnya, menunda pembayaran utang padahal mampu), dan tidak mendistribusikan kekayaan alam secara merata kepada rakyat, melainkan terkonsentrasi pada segelintir orang. Ini bisa berbentuk korupsi (pengurangan anggaran) atau pengenaan pajak yang tidak adil karena sumber daya umum diberikan kepada pihak swasta. Kezaliman pada harta ini seringkali sistemik, bukan hanya personal.
Adapun dalam hal kehormatan, bentuk kezaliman yang dilakukan bisa berupa perbuatan zina, liwath, qadhaf (menuduh berzina), atau berupa sistem dan aturan yang tidak menjaga kehormatan, seperti tidak mewajibkan menutup aurat, tidak memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan, atau tidak tegas menghukum pelaku perzinaan dan menutup tempat hiburan yang memfasilitasinya.
Sifat rakus (asy-syuh) juga ditekankan sebagai penyebab kehancuran, penumpahan darah, dan pelanggaran kehormatan. Ini terlihat dalam kerakusan terhadap sumber daya alam yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan pembungkaman atas protes yang dilakukan oleh rakyat.
Dampak Kezaliman dan Jalan Menuju Cahaya
Kezaliman, dengan segala bentuknya, adalah haram. Di hari kiamat, orang yang zalim tidak akan memiliki teman akrab atau syafaat yang diterima, dan akan diseret ke dalam neraka. Cahaya seorang Muslim akan meredup sesuai dengan kadar kezalimannya.
Contoh-contoh kezaliman sehari-hari yang dapat mengurangi cahaya seorang Muslim di akhirat meliputi: suami yang tidak menafkahi keluarga, pengusaha/atasan yang tidak menggaji karyawan sesuai kesepakatan, karyawan yang tidak memenuhi kewajibannya, menutup jalan seenaknya, mengganggu tetangga dengan suara keras, mengemplang utang, menyerobot antrean, dan tidak meminta maaf atas kesalahan. Lebih luas lagi, hakim yang memutuskan tidak berdasarkan hukum Allah akan celaka di akhirat.
Apakah Kita Bisa Mengubah Kondisi Ini?
Menanggapi pesimisme bahwa rakyat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kezaliman sistemik, sebenarnya kita bisa berbuat sesuatu, minimal dengan lisan (bersuara). Suara dapat mengubah sesuatu, dan dakwah (penjelasan) dapat mengubah kebencian menjadi cinta. Bahkan kuping penguasa seringkali terganggu oleh suara netizen dan apa yang trending di media sosial.
Meskipun menyampaikan kebenaran mungkin menimbulkan penentangan dan ancaman (karena pembawa cahaya akan ditentang oleh mereka yang betah dalam kegelapan), ini adalah sunnatullah (ketetapan Allah). Oleh karena itu, dakwah harus dimulai dari keluarga, agar keluarga siap mendukung dan terlibat dalam perjuangan ini.
Mengenai hubungan pemimpin dan rakyat, pandangan bahwa pemimpin selalu merupakan cerminan rakyatnya, tidak sepenuhnya benar. Seorang nabi seperti Rasulullah ﷺ diangkat untuk memimpin kaum yang masih jahiliyah. Justru, pemimpin yang baik akan memperbaiki masyarakat yang rusak. Kerusakan masyarakat diakibatkan oleh kerusakan pemimpin, dan kerusakan pemimpin diakibatkan oleh kerusakan ulama. Oleh karena itu, kita harus fokus pada perbaikan pemimpin dan sistemnya, melalui perbaikan “simpul-simpul umat”.
Kemerdekaan Sejati dan Langkah Selanjutnya
Indikator kemerdekaan sejati adalah berlepas diri dari penghambaan terhadap sesama manusia, menuju penghambaan kepada Allah Ta’ala saja. Artinya, hanya mentauhidkan Allah dan mentaati hukum-Nya. Selama kita masih terkungkung oleh sistem buatan manusia dan kezaliman, kita belum merdeka dan masih berada dalam kegelapan.
Untuk keluar dari kegelapan ini dan menuju cahaya, solusinya adalah membawa kebenaran dari Allah Ta’ala berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta syariat Allah untuk ditegakkan.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: