
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Afwan Pak Kiai. Semoga Pak Kiai senantiasa dalam limpahan rahmat dan kasih sayang Allah. Amin. Mau bertanya Pak Kiai, ada teman saya menjadi komisaris di sebuah Bank, meminta saya menjadi komite audit di banknya. Bolehkah kita menjadi komite audit di bank? (Hamba Allah, Makassar).
Jawab :
Tidak boleh menjadi auditor bank, baik bank konvensional maupun bank syariah, karena kedua bank tersebut melakukan transaksi riba.
Contoh transaksi riba yang dimaksud, misalnya bunga di bank konvensional, atau bagi hasil mudharabah di bank syariah. Semua ini adalah riba.(*)
Maka dari itu auditor tidak boleh melakukan audit, karena auditor setelah mengaudit akan memberi penilaian atas laporan keuangan bank dalam bentuk predikat, misal WTP (wajar tanpa pengecualian), dsb, serta membubuhkan tanda tangannya sebagai auditor.
Adanya penilaian dan tanda tangan tsb sebenarnya adalah termasuk kategori persaksian (syahadah) terhadap transaksi riba yang terjadi. Kesaksian atas riba tidak boleh, sesuai hadits shahih dari Jabir bin Abdillah RA bahwa:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (pemungut riba), pembayar riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua orang saksinya ( transaksi riba).” Kata Rasulullah SAW,”Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).
Perlu saya tambahkan mengapa bisa muncul transaksi riba di bank syariah.
Jadi begini, kita tahu bahwa terhadap tabungan di bank syariah itu, ada penjaminan (dhomān) yang diberikan bank syariah kepada para nasabahnya, berdasarkan program penjaminan simpanan yang diikuti oleh bank di LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).
Ini berarti jika bank syariah menjadi bank gagal, dana nasabah tidak akan hilang (hangus), melainkan akan dikembalikan oleh bank syariah kepada nasabah.
Adanya penjaminan ini, sesungguhnya telah mengubah status modal mudharabah yang disetor nasabah, menjadi pinjaman (qardh).
Konsekuensinya, jika mudharabah itu mendapatkan laba dan bank syariah membagikan keuntungannya, yang terjadi sesungguhnya bukanlah bagi hasil (profit sharing), melainkan bagi riba (riba sharing).
Dengan demikian, jelaslah bagi hasil dari mudharabah hakikatnya adalah riba, bukan bagi hasil yang halal. Ini karena tabungan mudharabah itu hakikatnya telah berubah menjadi pinjaman (qardh –karena adanya penjaminan tadi– sehingga bagi hasil yang muncul dari akad qardh, sebenarnya adalah riba yang haram diambil. Sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا
“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530). Wallahu a’lam.
Bogor, 3 Agustus 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Sumber : Fissilmi Kaffah
Simak Kajian Lengkapnya di: