
Motif di Balik Hijrah ke Habasyah: Upaya untuk Menjaga Dakwah dan Iman
Di tengah tekanan berat yang dialami umat Islam di Makkah, Allah SWT membuka jalan keluar melalui perintah hijrah. Ini bukan pelarian fisik dari ancaman, tetapi upaya strategis untuk menjaga kelangsungan dakwah Nabi Muhammad SAW dan keselamatan para pengikutnya. Hijrah pertama ke Habasyah terjadi pada tahun kelima kenabian, tepatnya bulan Rajab. Keputusan ini tidak diambil secara sembarangan, tetapi didasari oleh wahyu dan kondisi yang ada membuat Nabi harus mempertimbangkan secara mendalam tentang masa depan Islam.
Tekanan Semakin Menggila
Sejak awal dakwah, kaum Quraisy menentang ajaran tauhid yang dibawa Rasulullah SAW. Penolakan mereka tidak hanya bersifat verbal, tetapi juga berujung pada berbagai bentuk penyiksaan kepada para pemeluk Islam. Utsman bin Affan diselimuti daun kurma dan diasapi, Mush’ab bin Umair dibiarkan tanpa makanan, Bilal bin Rabah ditindih batu di padang pasir, hingga Yasir dan Sumayyah RA—pasangan tua yang akhirnya dibunuh karena tetap teguh dalam iman. Bahkan Abu Fakihah sampai diikat kakinya dan diseret di atas tanah.
Situasi ini membuat Rasulullah SAW khawatir akan nasib umatnya. Di tengah penderitaan tersebut, turunlah firman Allah:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar [39]: 10)
Ayat ini menjadi petunjuk bahwa umat Islam harus mencari tempat yang lebih aman untuk menjaga agama mereka. Tempat itu ternyata ada di Habasyah (Ethiopia), sebuah negeri yang dipimpin oleh raja adil bernama Najasyi atau Ash-Hamah bin Al-Abjar.
Pilihan Bijaksana: Hijrah ke Habasyah
Rasulullah SAW memilih Habasyah bukan tanpa alasan. Raja Najasyi dikenal sebagai penguasa yang bijaksana dan adil. Selain itu, banyak penduduk Habasyah yang memeluk agama Nasrani, sehingga mereka memiliki kesamaan dengan umat Islam dalam hal kisah Isa bin Maryam. Meskipun berbeda dalam aqidah, mereka diharapkan bisa lebih memahami nilai-nilai ketauhidan yang diajarkan Islam.
Dengan izin Allah, rombongan pertama berangkat pada malam hari menggunakan kapal dari pelabuhan Syaibah, dekat Jeddah. Sebanyak 12 laki-laki dan 4 wanita, termasuk Ruqayyah putri Nabi SAW, berangkat menuju Habasyah. Dalam rombongan ini, Utsman bin Affan dipercaya sebagai pemimpin. Mereka tiba dengan selamat dan diterima dengan baik oleh rakyat setempat.
Beberapa waktu kemudian, berita tentang sujudnya tokoh-tokoh Quraisy ketika mendengar pembacaan Surah An-Najm tersebar. Banyak yang mengira bahwa musyrikin Makkah telah masuk Islam. Kabar ini membuat sebagian sahabat yang sudah berada di Habasyah pulang ke Makkah. Namun, tak lama berselang, mereka menyadari bahwa kabar itu tidak benar. Akhirnya, pada bulan Syawal tahun yang sama, rombongan kedua berangkat ke Habasyah, kali ini lebih besar: 83 laki-laki dan 18 wanita.
Reaksi Quraisy: Provokasi dan Diplomasi Kotor
Mengetahui bahwa sejumlah besar umat Islam telah meninggalkan Makkah, kaum Quraisy merasa terancam. Mereka khawatir jika dakwah terus berkembang di Habasyah, maka pengaruh mereka akan semakin melemah. Untuk itu, mereka mengutus dua tokoh cerdik, Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, untuk memprovokasi Raja Najasyi agar menolak para pengungsi Muslim.
Amru bin Ash, yang sudah akrab dengan lingkaran istana Habasyah, datang dengan membawa hadiah untuk para uskup kerajaan. Tujuannya jelas: meminta dukungan para pemuka agama untuk menekan sang raja. Ketika menghadap Najasyi, mereka mengatakan bahwa umat Islam adalah kelompok “pemberontak” yang memecah belah agama nenek moyang mereka dan menciptakan agama baru.
Namun, Raja Najasyi tidak langsung percaya begitu saja. Ia memanggil utusan umat Islam, yaitu Ja’far bin Abi Thalib, untuk memberikan penjelasan.
Dialog Bersejarah antara Ja’far dan Najasyi
Pertemuan antara Ja’far dan Raja Najasyi menjadi salah satu momen penting dalam sejarah Islam. Najasyi bertanya, mengapa umat Islam tidak mengikuti agama Nasrani seperti dirinya dan para raja lain?
Ja’far menjawab dengan penuh keyakinan dan kebijaksanaan. Ia menjelaskan bagaimana umat Islam hidup dalam kegelapan jahiliyah: menyembah berhala, melakukan zina, memutus silaturahmi, hingga menzalimi yang lemah. Hingga pada akhirnya, Allah mengutus seorang nabi dari bangsa mereka sendiri, yaitu Nabi Muhammad SAW, yang membawa cahaya kebenaran.
“Kami diperintahkan untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan menjauhi segala bentuk kemungkaran,” kata Ja’far. “Tetapi kaum kami memaksa kami untuk kembali pada kebiasaan buruk itu, hingga kami memilih untuk hijrah ke negeri tuan.”
Najasyi pun tertarik. Ia meminta Ja’far membacakan ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi SAW. Ja’far membacakan Surah Maryam, yang menceritakan kisah Nabi Zakaria, Yahya, dan kelahiran Nabi Isa AS. Mendengar bacaan yang indah dan penuh makna itu, Najasyi dan para uskup menangis. Air mata mereka mengalir deras, seolah-olah hati mereka tersentuh oleh kebenaran yang selama ini mereka cari.
Najasyi berkata, “Demi Allah, apa yang kamu baca ini dan apa yang dibawa oleh Isa AS pastilah berasal dari sumber yang sama.”
Penolakan Hadiah dan Pembelaan Raja
Setelah dialog itu, Amru bin Ash mencoba membangkitkan prasangka buruk dengan mengatakan bahwa umat Islam menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Nasrani tentang Nabi Isa AS. Tapi saat Najasyi menanyakan kembali, Ja’far menjelaskan bahwa Nabi Isa adalah hamba Allah, rasul-Nya, roh dari-Nya, dan kalimat yang ditiupkan kepada Maryam.
Najasyi mengambil sebatang dahan dan berkata, “Isa tidak lebih dari ini, seperti ujung dahan ini.” Ia menegaskan bahwa klaim umat Islam tidak bertentangan dengan ajaran Injil yang asli.
Akhirnya, Najasyi menolak semua hadiah dari utusan Quraisy. Ia bahkan mengembalikan hadiah tersebut dan berkata, “Aku tidak butuh hadiah jika itu harus menyakiti salah seorang dari mereka.”
Ujian Kesetiaan: Saat Rakyat Memberontak
Namun, ujian belum berakhir. Para uskup yang tidak senang dengan sikap Najasyi mulai menyebarkan isu bahwa raja telah meninggalkan agama Nasrani. Rakyat Habasyah pun sempat terguncang. Beberapa bahkan ingin mencabut bai’at mereka kepada Najasyi.
Menghadapi situasi ini, Najasyi menulis surat singkat di atas kulit kijang: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang terakhir. Aku juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.”
Dengan surat itu di dadanya, Najasyi berdiri menghadapi rakyatnya. Ia bertanya, “Bagaimana perlakuanku selama ini terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Sangat baik, Tuanku.” Lalu Najasyi berkata, “Lalu mengapa kalian menentangku?” Mereka mengatakan karena ia telah menyimpang dari agama mereka.
Najasyi menunjukkan tulisan di dadanya dan berkata, “Inilah pandangan saya tentang Isa.” Tak disangka, rakyat menerima pernyataan itu dengan tenang dan lega. Mereka membubarkan diri tanpa konflik besar.
Najasyi Masuk Islam dan Shalat Ghaib Nabi SAW
Pada tahun ke-7 Hijriah, Rasulullah SAW mengirim surat kepada enam pemimpin negara tetangga, termasuk Najasyi. Surat itu berisi ajakan masuk Islam beserta beberapa ayat Al-Qur’an. Setelah membacanya dengan penuh hormat, Najasyi menyatakan masuk Islam di hadapan rakyatnya. Ia berkata, “Kalau saja aku bisa menemui Muhammad, aku akan duduk di hadapannya dan membasuh kedua kakinya.”
Sayangnya, Najasyi wafat pada tahun ke-9 Hijriah. Mendengar kabar ini, Nabi SAW langsung mengumumkannya kepada para sahabat dan menshalatkannya secara ghaib (tanpa jenazah). Ini menjadi bentuk penghargaan tertinggi dari Nabi SAW terhadap sosok yang telah melindungi umat Islam di masa sulit.
Hikmah dan Motif Utama Hijrah
Hijrah ke Habasyah memiliki banyak hikmah dan motif yang mendalam:
1. Melindungi Dakwah dan Jiwa: Hijrah dilakukan untuk menjaga kelangsungan dakwah dan melindungi nyawa para pemeluk Islam dari ancaman pembunuhan.
2. Mencari Dar al-Amn: Kaum Muslim diizinkan untuk hijrah dari dar al-khauf (negeri penuh ketakutan) ke dar al-amn (negeri yang aman), selama masih bisa melaksanakan ibadah dengan baik.
3. Dakwah Tetap Berjalan: Meski dalam kondisi pengungsian, para sahabat tetap menyampaikan ajaran Islam, membuktikan bahwa dakwah tidak boleh berhenti karena tekanan.
4. Tipu Daya Musuh Gagal: Usaha Quraisy untuk memadamkan Islam melalui provokasi gagal total karena ketundukan mereka pada kebenaran dan keadilan.
***
Hijrah ke Habasyah adalah babak penting dalam sejarah Islam. Ini bukan pelarian, tetapi langkah strategis untuk menjaga iman dan melanjutkan perjuangan. Kisah ini mengajarkan kita untuk tetap tegak dalam menghadapi tekanan, mempercayai bahwa Allah selalu membuka jalan bagi mereka yang beriman. Sejarah juga membuktikan bahwa kebenaran akan selalu menang, meski harus melalui ujian yang berat.
Seperti janji Allah dalam Al-Qur’an,
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan menjadikan mereka pewaris (bumi).” (QS Al-Qashash [28]: 5)
Hijrah ke Habasyah menjadi awal dari kemenangan yang lebih besar, menuju kemenangan hakiki di Madinah dan seluruh penjuru dunia.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: