
Konsistensi Terhadap Ideologi: Kunci Kejernihan Pemikiran dan Arah Perjuangan Islam
Fikrah, atau pemikiran, adalah akar atau inti dari keberadaan sebuah jemaah. Fikrah ini berfungsi sebagai penentu konsistensi dalam berjuang serta menjaga kejernihan pemikiran, tujuan, dan kekonsistenan dalam perjuangan. Dengan fikrah yang jelas, sebuah jemaah dapat menjauhkan diri dari segala perkara yang bukan berasal dari dirinya atau dari Islam, serta mampu menentukan sikap terhadap dakwah atau pemikiran lain di masyarakat.
Jika kejernihan fikrah hilang, maka cahaya jemaah akan redup dan hilang pula petunjuk serta rahmat. Ini berarti arah perjuangan dan keberadaan jemaah akan kehilangan fondasinya. Fikrah adalah aset paling berharga dari sebuah jemaah, melebihi aset fisik, kantor, atau jumlah pengikut. Selama fikrah tetap ada, potensi untuk membangun kembali dan mengkader anggota akan selalu ada.
Sementara thariqah (metode perjuangan) berbanding lurus dan sangat dipengaruhi oleh fikrah. Kejelasan tujuan adalah bagian dari fikrah, sementara jalan untuk mencapai tujuan adalah bagian dari thariqah, yang terikat pada hukum-hukum syariat tertentu. Sebuah jemaah yang menganut mabda atau ideologi tertentu akan terikat pada mabda tersebut dalam setiap gerak dan diamnya.
Mabda: Pondasi Pemikiran Islam
Mabda adalah pemikiran pokok yang membahas segala perkara dari dasarnya. Ini memberikan jawaban yang khas mengenai hakikat keberadaan manusia di alam ini, yang membedakannya dari mabda lain seperti kapitalisme, sosialisme, atau komunisme. Dari mabda inilah lahir pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan, hukum-hukum, dan perbuatan.
Islam, dengan makna “alyauma Akmaltu lakum diinakum” (Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu), menawarkan kesempurnaan yang bukan hanya sempurna secara tunggal, tetapi harmonis secara total. Ajaran Islam menyatu dengan aturan kehidupan dan tabiat penciptaan, sehingga tidak pernah ada persoalan mendasar yang tak terjawab bagi umat Islam.
Bagi seorang muslim, halal dan haram harus menjadi tolok ukur setiap perbuatannya, menjadi standar bagi setiap pandangan. Ini bukan sekadar tentang manfaat temporal (manfaat iktibari) tetapi tentang manfaat hakiki yang membawa kebahagiaan sejati. Contohnya, menjaga kehormatan dan nasab melalui pernikahan yang sah dalam Islam akan mendatangkan kebahagiaan hakiki, berbeda dengan hubungan di luar syariat yang membawa penderitaan.
Kebahagiaan hakiki seorang Muslim adalah mendapatkan keridaan Allah, bukan sekadar kelezatan fisik semata. Oleh karena itu, kehidupan seorang Muslim adalah kehidupan ibadah kepada Allah, yang mencakup semua aspek dari bangun tidur, membangun keluarga, perusahaan, hingga negara. Kebebasan sejati ditemukan dalam kebebasan di dalam aturan, karena tanpa aturan, segala sesuatu akan menjadi kacau dan tidak indah.
Akidah sebagai Pondasi Utama
Akidah yang kokoh menjadi sangat penting. Jika akidah rapuh, orang akan terus mempertanyakan setiap perintah agama. Namun, jika akidah kuat, mereka akan mudah menerima perintah, sebagaimana seseorang yang percaya pada dokter akan patuh pada resep dan instruksi tanpa banyak pertanyaan. Ini menunjukkan bahwa perubahan harus dimulai dari asasnya dahulu, yaitu akidah. Dalam dakwah, fokus utama seharusnya adalah mengubah akidah, bukan hanya moralitas atau ibadah.
Dalam dakwah ideologis, tidak bisa diterima pencampuradukan Islam dengan selain Islam, baik dalam sistem maupun dalam jemaah. Pencampuradukan ini mengaburkan asas dan sistem. Sistem pemerintahan, ekonomi, dan sosial haruslah buah dari asas Islam yang jelas. Label “Islam” (misalnya “sekolah Islam,” “bank Islam”) hanya diperlukan karena kehidupan saat ini tidak normal; idealnya, jika asasnya Islam, semuanya secara otomatis akan menjadi islami. Mencampuradukkan hukum Islam dengan hukum Barat, dengan dalih mengambil yang baik, tidak dapat diterima karena tidak ada yang baik kecuali Islam dalam konteks hukum yang lahir dari sebuah asas.
Secara substansial, Islam memandang hanya ada dua kategori: Islam (sabilullah) dan selain Islam (subulus syaithan). Apapun selain Islam, kedudukannya sama (misalnya, kafir dari Ahlul Kitab atau musyrikin).
Tantangan dan Pentingnya Konsistensi
Perjuangan untuk mengubah asas adalah titik paling krusial dan sering menimbulkan reaksi keras, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Perbedaan kelompok Islam yang ada saat ini seringkali melihat hal-hal superfisial, padahal seharusnya mereka bersatu di atas asas Islam yang sama. Jika asasnya Islam, maka tolok ukurnya haruslah syariat Islam. Ini yang membedakan gerakan Islam sejati dengan mereka yang mengklaim Islam namun tindakannya tidak sesuai syariat, seperti mendukung pemimpin kafir dengan alasan politik.
Pihak yang memperjuangkan sosialisme atau materialisme mungkin tidak menafikan agama atau Tuhan, namun mereka menempatkan agama hanya pada aspek spiritual (ruhiyah) dan tidak pada aspek pengaturan kehidupan masyarakat dan negara (siyasah). Problem dakwah saat ini adalah kegagalan untuk menjadikan akidah Islam sebagai dasar berpikir. Pada akhirnya, ideologi hanya berujung pada tiga kategori: Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam. Dua yang pertama dapat diperas menjadi sekuler, sehingga pada dasarnya hanya ada sekuler dan Islam. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menjadi sekuler, karena sekularisme adalah konsekuensi historis dari keyakinan Kristen di Eropa pada Abad Pertengahan, yang tidak relevan dengan Islam.
***
Konsisten terhadap mabda Islam, baik fikrahnya maupun thariqah-nya, adalah proses dinamis yang penuh tantangan. Seorang Muslim harus senantiasa waspada untuk tidak tergelincir, didukung dengan selalu lekat dengan jemaah, dalam kajiannya, halaqahnya, ibadahnya, salat malam, baca Quran dan doa. Ini adalah kunci untuk tetap berada dalam kebenaran hingga akhir hayat.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: