
Pentingnya Berpegang Teguh pada Ideologi Islam: Fikrah dan Thariqah di Tengah Hegemoni Barat
Apakah Islam dapat dianggap sebagai sebuah ideologi? Ada pandangan yang mengatakan bahwa ideologi adalah buatan manusia, sementara Islam adalah risalah ilahiah dari Allah, sehingga Islam tidak bisa disebut ideologi. Namun sejatinya, persoalan ini kembali pada definisi “ideologi” itu sendiri.
Menurut definisi yang dikemukakan oleh Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, ideologi atau mabda adalah aqidah aqliyah (akidah yang pembenarannya melalui proses berpikir) yang darinya terpancar sebuah sistem (nizham). Aqidah aqliyah di sini merujuk pada “fikrah kulliyah” atau pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan, dan manusia. Pemikiran menyeluruh ini, yang pembenarannya melalui proses berpikir, akan menghasilkan akidah yang kokoh dan kuat, serta mampu memancarkan sistem.
Islam memiliki dua aspek utama: aspek ruhiyah (kerohanian), yang berbicara tentang kehidupan sebelum dan sesudah dunia, dan aspek siyasah (politik/sistem), yang menghasilkan sistem kehidupan yang komprehensif. Ini berbeda dengan agama-agama lain seperti Hindu, Budha, atau Kristen, yang umumnya hanya memiliki aspek ruhiyah dan tidak memancarkan sistem politik atau ekonomi.
Sementara itu, ideologi-ideologi selain Islam seperti kapitalisme dan sosialisme memang memiliki sistem ekonomi dan politik, tetapi tidak memiliki aspek ruhiyah; mereka tidak berbicara tentang pahala, dosa, surga, atau neraka. Inilah yang menjadikan Islam sebagai mabda yang unik dan menyeluruh, mencakup kedua aspek tersebut. Komunisme sendiri disebut sebagai bagian dari sosialisme atau sosialisme ekstremnya.
Dampak Hegemoni Barat dan Kompromi Pemikiran
Umat Islam saat ini hidup di tengah hegemoni Barat yang kuat, tidak hanya dalam sains dan teknologi, tetapi juga dalam ideologi. Fenomena ini disebut sebagai “Westoxication” atau peracunan Barat, yang lahir dari al-ghazwul fikri (perang pemikiran). Dampaknya, umat Islam kehilangan jejak kepribadian Muslim dan seringkali tidak mampu mengambil pemikiran Islam dari asalnya, terutama dalam ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Kondisi demikian menghasilkan tiga varian sikap di kalangan umat Islam:
- Sepenuhnya terpengaruh Barat.
- Mampu bertahan dan mengambil sepenuhnya dari Islam (sangat jarang).
- Mencampur atau mengkompromikan Islam dengan pemikiran selain Islam.
Contoh dari kondisi tersebut adalah munculnya istilah “kapitalisme Islam”, “sosialisme Islam”, atau “demokrasi Islam”. Ini menciptakan kontradiksi dalam kehidupan umat, seperti keberadaan bank konvensional di samping bank syariah, padahal keduanya memiliki tujuan yang bertentangan (bunga vs tanpa bunga).
Keadaan ini diperparah oleh kelemahan umat Islam akibat sejarah sekularisasi yang panjang, di mana akses terhadap pemahaman Islam yang sungguh-sungguh sempat terhalang.
Konsistensi sebagai Solusi
Menghadapi situasi ini, gerakan dan partai politik Islam mestinya memiliki solusi yang menyembuhkan. Jalan yang lurus (shiratal mustaqim) hanyalah satu: Islam. Mengikuti jalan-jalan lain (subulus syaitan) pasti akan mencerai-beraikan umat dari jalan Islam. Oleh karena itu, persatuan umat hanya bisa dicapai dengan kembali kepada shiratal mustaqim.
Untuk mencapai tujuan ini, setiap kelompok (kutlah atau hizb) harus memiliki kejelasan pemikiran (fikrah) dan metodologi (thariqah) yang konsisten. Penting juga untuk mempersiapkan umat melalui pembinaan dan pengkaderan yang sadar dan konsisten dengan hukum thariqah.
Optimisme di Tengah Tantangan
Meskipun menghadapi kekuatan besar yang didukung oleh kekuasaan, media, dan aparat, umat Islam tidak boleh merasa kecil hati atau pesimis. Kekuatan ideologi selain Islam tampak kokoh namun sesungguhnya rapuh, bagaikan sarang laba-laba yang mudah hancur jika ditiup. Kerapuhan ini akan terlihat jika umat Islam memiliki pemahaman yang kokoh terhadap fikrah dan mabda Islam.
Membangun opini umum tentang Islam (ijadur ra’yul ‘am) membutuhkan proses pembinaan dan pengkaderan yang berkelanjutan. Era digital saat ini, meskipun memiliki sisi negatif, juga memungkinkan penyebaran mabda Islam secara luas melalui media alternatif seperti media sosial, menjangkau ratusan ribu orang sekaligus.
Yang terpenting adalah keyakinan bahwa “ketika kebenaran datang, kebatilan akan lenyap”. Kebatilan seperti buih di atas air yang akan hilang jika digelontor dengan air bersih (kebenaran). Sejarah juga membuktikan bahwa kekuatan sebesar apapun (seperti Firaun, Namrud, atau Orde Baru) pada akhirnya akan tumbang.
Allah menilai ikhtiar (usaha) dan perjuangan yang benar, bukan semata-mata hasil. Kemenangan sejati dalam Islam adalah kembalinya kekuasaan Islam dalam kehidupan, bukan hanya berkuasanya individu atau kelompok. Konsep “satu dari dua kebaikan: kemenangan atau syahid” mengajarkan bahwa kalah pun bisa menjadi kebaikan jika berada di jalan yang benar.
Konsistensi terhadap mabda sangat penting karena di sinilah nilai perjuangan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala berada, bukan di hadapan manusia. Perjuangan yang benar memerlukan waktu, tekad, dan kesabaran, karena “semakin tinggi cita-cita, semakin sulit untuk dicapai dan semakin memerlukan waktu“.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: