
NgajiShubuh.or.id – Dalam sistem ekonomi kapitalisme senantiasa terjadi siklus konjungtur. Siklus konjungtur adalah fluktuasi naik turunnya kegiatan ekonomi dalam jangka waktu tertentu, yang umumnya terdiri dari empat tahap utama: depresi (kemerosotan), ekspansi (pertumbuhan pesat), resesi (perlambatan), dan pemulihan (mulai pulih). Siklus ini mencerminkan perubahan kondisi perekonomian yang mempengaruhi pertumbuhan, produksi, dan pengangguran. Dampak nyata yakni pengangguran meningkat, kemiskinan, kebangkrutan, hingga depresi atau resesi ekonomi. Islam menyelesaikan permasalahan moneter yang secara makro senantiasa menimbulkan siklus konjungtur atau “lingkaran setan” dalam sistem ekonomi konvensional atau kapitalisme.
Kebijakan moneter dalam Islam difokuskan pada dua aspek utama; jenis mata uangnya dan penggunaan mata uang. Sering kali diskusi tentang moneter Islam hanya fokus pada jenis mata uang, padahal penggunaan mata uang yang salah tetap dapat menimbulkan problem moneter. Mata uang syar’i adalah dinar dan dirham. Mata uang Islam yang dijadikan standar adalah dinar syar’i dan dirham syar’i. Dinar yang asli berasal dari kekaisaran Romawi, sementara dirham berasal dari kekaisaran Persia. Hukum asal penggunaan dinar dan dirham bagi masyarakat untuk transaksi antar individu adalah mubah (boleh).
Hukum asal bagi negara untuk mencetak mata uang sendiri (bahkan dengan emas dan perak) adalah mubah, karena fi’il Rasul (perbuatan Rasul) menunjukkan Beliau saw. memilih untuk tidak mencetak mata uang sendiri. Namun, hukum tersebut dapat berubah menjadi wajib bagi negara dalam beberapa kondisi. Jika negara tidak mencetak mata uang sendiri dan malah menggunakan mata uang asing (seperti dolar), hal itu dapat menimbulkan bahaya (dharar) bagi negara, karena ekonomi dapat dikendalikan. Contoh bahaya, yakni Amerika Serikat memiliki kebebasan penuh mencetak dolar, terutama setelah keputusan Presiden Nixon pada tahun 1971 untuk melepaskan dolar dari emas, yang mengakibatkan negara-negara bergantung pada dolar. AS juga memiliki kewenangan penuh untuk menutup seri mata uang tertentu (menyatakan seri lama tidak berlaku), yang bisa menjadi musibah besar bagi negara yang menyimpan dolar tersebut.
Tidak boleh menggunakan mata uang asing sebagai sarana (7), jika hal itu menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, negara wajib menjamin kestabilan mata uang dan ekonomi negara. Stabilitas ini tidak akan sempurna kecuali dengan mencetak mata uang sendiri berbasis emas dan perak. Stabilitas emas sangat nyata. Contoh perbandingan UMR Jakarta (sebagai gambaran daya beli): UMR Jakarta 2015 sebesar Rp2 juta setara dengan 5 gram emas, tetapi UMR Jakarta 2025 sebesar Rp5,4 juta hanya setara dengan 2,2 gram emas, menunjukkan ketimpangan dan ketidakstabilan uang kertas (fiat money). Hadis tentang membeli dua ekor kambing seharga 1 dinar dan menjual satu ekor seharga 1 dinar juga menunjukkan stabilitas emas.
Untuk terbebas dari penjajahan mata uang kertas solusi mendasar adalah dengan kembali menerapkan sistem ekonomi Islam yang berbasis mata uang dinar-dirham dalam bingkai sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah Islamiah. Kembali ke sistem moneter berbasis emas adalah ranah politik, bukan ekonomi (pertanyaannya “mau atau tidak mau?”, bukan “bisa atau tidak bisa?”). Jika keputusan politik telah dibuat, transisi harus dilaksanakan secara saksama. Perubahan mata uang kertas ke dinar akan dilakukan secara bertahap, serupa dengan Bank Indonesia (BI) mengeluarkan pecahan mata uang baru. Uang kertas lama akan ditarik berangsur-angsur, tidak langsung dinyatakan tidak berlaku untuk menghindari kekacauan. Setiap perubahan mendasar (revolusioner) pasti menghadapi tantangan besar. Meskipun demikian, perubahan mendasar diperlukan untuk hasil yang jauh lebih baik seperti perubahan fundamental yang dilakukan oleh Tiongkok di era Deng Xiaoping (1978–1989).[]
Disarikan dari Youtube Ngaji Shubuh TV: