
Aktivitas Politik Sebelum Berdirinya Negara Islam di Madinah: Bai’at Aqabah dan Persiapan Hijrah
Sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menegakkan agama Islam tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang dilakukan secara bertahap. Salah satu momen penting dalam sejarah ini adalah upaya untuk mendirikan negara Islam di Madinah, yang dimulai jauh sebelum hijrah terjadi. Aktivitas politik Rasulullah SAW pada masa itu mencerminkan strategi cerdas dan penuh kesabaran dalam membangun fondasi bagi tegaknya sebuah sistem kepemimpinan Islam.
Tahapan Dakwah Nabi Muhammad SAW
Dakwah Nabi Muhammad SAW berlangsung dalam beberapa tahap. Dimulai pada usia 40 tahun ketika beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira. Pada awalnya, dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan fokus pada pembinaan individu dan kelompok kecil, dikenal sebagai Marhalah Tatsqif. Selama empat tahun (tahun ke-0 hingga ke-3 kenabian), Rasulullah membentuk kader-kader dakwah melalui majelis pembinaan di rumah Arqam bin Abi al-Arqam.
Pada tahap kedua (Marhalah Tafa’ul Ma’al Ummah), dakwah mulai dilakukan secara terang-terangan. Ini mengundang reaksi keras dari masyarakat Makkah, termasuk upaya-upaya untuk menghentikan penyebaran ajaran Islam. Di tengah tekanan tersebut, Nabi SAW melakukan aktivitas politik dengan mendekati berbagai suku Arab untuk memperoleh dukungan atau Thalabun Nushrah, yaitu upaya untuk mendapatkan bantuan dari kelompok yang memiliki kekuatan riil guna menegakkan Daulah Islam.
Beberapa suku seperti Bani Tsaqif di Thaif, Bani Kindah, Bani Hanifah, dan Bani Amir bin Sha’sha’ah dikunjungi oleh Nabi SAW. Sayangnya, tawaran tersebut ditolak oleh mereka. Namun, pada musim haji tahun ke-11 kenabian, enam orang dari Suku Khazraj di Yatsrib (Madinah) menyatakan keislaman mereka setelah bertemu dengan Rasulullah SAW di Aqabah. Keenam tokoh tersebut adalah As’ad bin Zurarah, Auf bin al-Harits, Rafi bin Malik, Quthbah bin Amir, Aqabah bin Amir, dan Jabir bin Abdillah.
Baiat Aqabah I: Langkah Awal Menuju Kepemimpinan
Tahun ke-12 kenabian menjadi momentum penting ketika 12 utusan dari Yatsrib (lima di antaranya sudah masuk Islam tahun sebelumnya) datang menemui Nabi SAW di Bukit Aqabah. Pertemuan ini dikenal sebagai Baiat Aqabah I, di mana mereka berjanji setia kepada Nabi SAW dengan syarat-syarat tertentu, antara lain tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak, tidak berdusta, dan tidak durhaka kepada Nabi.
Setelah baiat ini, Nabi SAW mengirimkan Mus’ab bin Umair sebagai duta Islam ke Yatsrib. Tugas Mus’ab adalah membimbing para pemeluk baru, mengajarkan ajaran Islam, serta melanjutkan dakwah kepada tokoh-tokoh penting di sana. Hasilnya luar biasa. Tokoh besar seperti Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair akhirnya masuk Islam dan menjadi pendukung kuat Nabi SAW di Madinah.
Baiat Aqabah II: Penyerahan Kekuasaan
Pada tahun ke-13 kenabian, sekitar 70 orang dari Yatsrib datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari jumlah tersebut, 30 orang laki-laki dan dua orang perempuan menemui Nabi SAW secara rahasia di lembah Aqabah. Baiat Aqabah II inilah yang menjadi titik awal penyerahan kekuasaan kepada Nabi SAW. Isi baiat ini lebih komprehensif, mencakup ketaatan dalam kondisi apapun, taat dalam kesusahan maupun kemudahan, serta siap menegakkan amar makruf nahi munkar dan membela Nabi SAW jika ia datang ke Madinah.
Setelah baiat ini, Nabi SAW memilih 12 pemimpin dari kalangan Khazraj dan Aus untuk menjadi penanggung jawab atas kaum mereka. Para pemimpin ini disumpah untuk menjalankan tanggung jawab seperti para Hawariyyin (pengikut setia Nabi Isa AS). Setan mencoba mengganggu proses ini dengan berteriak di tengah malam, tetapi Nabi SAW dengan tenang menghadapi gangguan tersebut dan memerintahkan peserta baiat untuk kembali ke tenda masing-masing.
Reaksi Quraisy dan Izin Berperang
Kabar tentang Baiat Aqabah II membuat geger kaum Quraisy. Mereka merasa terancam dengan adanya aliansi antara Nabi SAW dan warga Madinah. Para pemimpin Quraisy menemui tokoh-tokoh Khazraj yang belum mengetahui baiat tersebut, tetapi mereka membantah telah terlibat dalam persekongkolan apa pun. Bahkan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh yang kelak dikenal sebagai pemimpin munafik, menyebut informasi tersebut sebagai fitnah.
Sementara itu, Allah SWT menurunkan izin berperang kepada Nabi SAW setelah kaum Quraisy semakin keras menindas umat Islam. Ayat Al-Quran Surah Al-Hajj ayat 39-40 menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan berperang karena mereka dizalimi dan diusir dari rumah tanpa alasan benar selain karena menyembah Allah. Dengan turunnya ayat ini, Nabi SAW mulai mempersiapkan langkah-langkah strategis, termasuk memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah.
Hikmah di Balik Aktivitas Politik Nabi SAW
Ada banyak pelajaran penting dari aktivitas politik Nabi SAW dalam upaya mendirikan negara Islam:
1. Islam Butuh Institusi Negara
Syariat Islam hanya bisa diterapkan secara kaffah (menyeluruh) jika dilaksanakan oleh institusi negara. Oleh karena itu, pendirian negara Islam bukan sekadar opsi, tetapi kewajiban.
2. Politik adalah Bagian dari Dakwah
Dakwah tidak cukup hanya bersifat spiritual, ritual, atau sosial. Untuk mewujudkan penerapan syariat secara total, dibutuhkan aktivitas politik yang serius.
3. Jalan Dakwah Nabi adalah Jalan Terbaik
Proses yang dilalui Nabi SAW—mulai dari pembinaan individu, interaksi dengan masyarakat, hingga penerimaan kekuasaan—adalah contoh ideal yang harus diikuti oleh umat Islam untuk bisa menegakkan kembali Islam dalam bingkai negara.
4. Iman yang Kuat Melahirkan Kepemimpinan yang Kuat
Tokoh-tokoh Madinah seperti Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair rela menyerahkan kekuasaan mereka kepada Nabi SAW karena pancaran iman yang mendalam, hasil dari pembinaan dakwah yang konsisten.
5. Kemenangan Datang Setelah Perjuangan
Allah SWT tidak memberikan kemenangan secara gratis. Kekuasaan yang menolong agama-Nya hanya akan diberikan kepada mereka yang sungguh-sungguh berjuang di jalan-Nya.
6. Proses Alami dan Manusiawi
Pendekatan yang dilakukan Nabi SAW sangat manusiawi dan realistis, sehingga mudah dicontoh oleh generasi sesudahnya.
***
Berdirinya negara Islam di Madinah tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari proses panjang yang penuh perhitungan. Baiat Aqabah menjadi tonggak sejarah yang menandai pergantian kekuasaan dari tradisi jahiliyah menuju sistem pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam. Dengan baiat tersebut, Nabi SAW resmi mendapat dukungan politik dan militer dari masyarakat Madinah, yang kemudian menjadi dasar bagi pelaksanaan hijrah dan proklamasi negara Islam.
Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa politik adalah bagian tak terpisahkan dari dakwah Islam. Tanpa kekuasaan, sulit bagi syariat untuk ditegakkan secara sempurna. Oleh karena itu, umat Islam di masa depan harus belajar dari sejarah ini: bahwa perubahan tidak cukup hanya dengan doa dan zikir, tetapi membutuhkan langkah politik yang tegas, kerja sama yang solid, dan keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap janji Allah SWT.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: