
Oleh: Siti Eva Rohana
Media sosial kini menjadi pilar utama dalam sistem komunikasi global. Kehadirannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat dunia. Tidak hanya komunikasi, media sosial juga menyediakan fitur yang dapat digunakan untuk mengakses segala informasi dan menghibur para penggunanya.
Namun uniknya, perasaan terhubung di media sosial tidak berarti menghilangkan perasaan sepi. Seseorang bisa aktif di dunia maya tetapi minim interaksi sosial. Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY. Mereka melakukan riset berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di Tik Tok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual” (detik.com 18/9/24).
Menurut teori Hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih ‘nyata’ daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat mempengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang.
Di tengah hiruk pihuk bermedia sosial, masyarakat di era digital banyak yang merasa kesepian. Terlebih gen Z yang hidup di era digitalisasi, disebut generasi yang paling merasa kesepian, insecure, bahkan mengalami gangguan kesehatan mental.
Jika kita telusuri lebih mendalam, bukan sekedar persoalan kurangnya literasi digital dan manajemen penggunaan gawai. Gangguan mental dan buruknya hubungan sosial merupakan efek dari penerapan sistem kapitalisme dalam kehidupan.
Industri kapitalis telah membuat arus di media sosial menimbulkan dampak buruk. Konten bebas berseliweran meskipun konten tersebut merupakan hasil rekayasa. Sehingga tak sedikit orang tetap mengkonsumsi dan bahkan membenarkan narasi tersebut.
Ditambah lagi adanya algoritma media sosial telah memicu efek domino. Kesepian itu semakin berkembang seiring banyaknya konten serupa dengan sentuhan yang lebih estetik dan penuh emosional, membawa pengguna hanyut dengan perasaan yang dirasakan.
Dampak buruk berikutnya adalah masyarakat bersikap asosial atau sulit bergaul di dunia nyata. Meskipun berada di tengah keluarga, pola hubungan diantara anggota keluarga menjadi terasa jauh.
Sikap asosial dan perasaan kesepian akan berdampak buruk dan merugikan umat. Terlebih bagi generasi muda yang sebenarnya punya potensi besar untuk menghasilkan karya-karya produktif; akan menjadi generasi yang lemah dan tak berdaya. Kepedulian terhadap persoalan umat juga tak akan mampu dipotret oleh masyarakat yang terjebak dalam kesepian dirinya.
Padahal generasi muda dalam hal ini adalah gen Z, memiliki potensi besar yang penting bagi perubahan dunia dari karut-marut persoalan yang diakibatkan kapitalisme. Kebiasaan mereka melakukan interaksi lintas negara sebagai penduduk asli digital membuatnya memiliki perspektif dan jangkauan global. Mereka piawai menggunakan teknologi digital dan seharusnya mampu memanfaatkannya untuk mengaruskan perubahan di tengah masyarakat dunia.
Namun potensi itu mandul akibat pengaruh arus digitalisasi yang sangat ditentukan oleh penerapan sistem sebuah negara. Meskipun digitalisasi adalah produk peradaban yang bersifat universal sebagaimana sebuah alat yang pengaruhnya tergantung dari motif penggunanya, sistem sebuah negara akan menentukan berbagai kebijakan dan prosedur dalam arus digitalisasi.
Dalam tatanan kehidupan kapitalistik yang menempatkan materi sebagai tujuan hidup, digitalisasi akan dipandang sebagai alat untuk mengejar materi semata. Dalam penggunaannya pun diterapkan prinsip kebebasan. Tidak heran jika berbagai perangkat digital hanya digunakan untuk mencari keuntungan dan kesenangan tanpa adanya unsur keimanan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa segala sesuatu harus dipergunakan dengan menghadirkan kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah swt. Sehingga, digitalisasi juga akan dipandang sebagai karunia Allah swt. untuk mengumpulkan amal kebaikan demi meraih rida-Nya. Pemanfaatannya akan senantiasa terikat dengan syariat-Nya.
Maka dari itu, hadirnya peran negara dengan sistem Islam sangat dibutuhkan untuk memastikan arus digitalisasi berjalan tanpa merusak fitrah dan identitas generasi. Media sosial memang tidak bisa ditinggalkan, tapi harus dikendalikan. Islam bisa menjadi identitas utama yang menjaga nilai, sementara negara wajib memastikan ruang digital mendukung koneksi sehat dan produktif.
Sudah saatnya generasi muda menyadari hal ini dan segera melepas diri dari jebakan digitalisasi yang membajak potensi dan merusak identitas diri mereka, selanjutnya terlibat dalam perjuangan menghadirkan sistem Islam bersama kelompok dakwah, agar tercipta generasi muda yang produktif dan berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat. Waalahu’alam bishshawab.[]