
Naskah Khutbah Jum’at (Edisi 34-2025)
DMDI
(DEWAN MASJID DIGITAL INDONESIA)
https://seruanmasjid.com
Versi Bahasa Indonesia
KEADILAN ZAKAT VS KEZALIMAN PAJAK
KHUTBAH PERTAMA
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اللهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٦٠ (اَلتَّوْبَةُ)
Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamin, Segala puji bagi Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ yang telah menganugerahkan kita nikmat iman dan Islam, serta mempertemukan kita di tempat yang diberkahi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Bertakwalah kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ dengan sebenar-benarnya takwa sebagaimana firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Âli Imrân [3]: 102)
Sungguh takwa adalah benteng terakhir kita di tengah kehidupan akhir zaman saat ini. Dan sungguh, hanya dengan takwa kita akan selamat di dunia dan akhirat.
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pajak memiliki filosofi yang sejalan dengan zakat dan wakaf. “Dalam setiap rezeki ada hak orang lain. Caranya, hak orang lain itu diberikan. Ada yang melalui zakat, wakaf dan pajak. Pajak itu kembali pada yang membutuhkan,” kata Sri Mulyani dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 di Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Menurut Sri Mulyani, konsep ini tercermin pada berbagai program Pemerintah yang dibiayai APBN. Misalnya, Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan manfaat kepada 10 juta keluarga tidak mampu. Ada juga bantuan sosial sembako untuk 18,2 juta penerima.
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf jelas gegabah dan menyesatkan. Zakat adalah ibadah harta yang Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ perintahkan khusus bagi kaum Muslim dengan aturan tertentu, bukan atas semua rakyat. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman:
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
”Mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Dia dalam (menjalankan) agama yang lurus, juga supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka (kaum Muslim) zakat dalam harta mereka, yang diambil dari kalangan kaya di antara mereka, lalu diberikan kepada kalangan fakir mereka.” (HR. al-Bukhari).
Zakat memiliki hikmah sebagai pembersih harta muzakki, sesuatu yang tidak ada pada pajak. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا…
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kalian membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. at-Taubah [9]: 103).
Selain itu, zakat hanya boleh diberikan kepada delapan ashnaf sebagaimana firman-Nya:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk kaum fakir, kaum miskin, para pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hati mereka, untuk (memerdekakan) budak, untuk kaum yang berutang, untuk (jihad) fi sabilillah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan; sebagai suatu ketetapan yang telah Allah wajibkan. Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 60).
Karena itu, zakat tidak boleh dipakai untuk kepentingan pembangunan proyek negara atau membayar utang, berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme.
Zakat adalah fardhu ‘ain bagi Muslim yang hartanya mencapai nisab dan haul, dengan objek harta yang telah ditentukan syariah. Menolak zakat adalah dosa besar, sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam:
مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ ، مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ
“Siapa saja yang Allah beri harta, namun tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada Hari Kiamat harta tersebut akan dijelmakan dalam bentuk ular jantan ganas.” (HR. al-Bukhari). Bahkan penolakan zakat dapat berkonsekuensi pada batalnya iman, sebagaimana keputusan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallâhu ’anhu memerangi kaum murtad karena enggan menunaikan kewajiban ini.
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Pajak sejatinya tidak memiliki dasar dalam Islam. Setiap pungutan harta yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bentuk kezaliman. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ…
”Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil…” (QS. al-Baqarah [2]: 188).
Imam Ibnu Katsir rahimahulLaah menjelaskan ayat ini sebagai larangan atas segala bentuk perampasan harta, terlebih jika dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap Muslim atas Muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim).
Pajak adalah kezaliman karena dipungut dari seluruh rakyat tanpa membedakan kaya-miskin, agama, atau jenis harta, bahkan dapat dinaikkan sesuai kepentingan penguasa. Saat ini, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) di berbagai daerah mencapai 200–1000% akibat kebijakan pemerintah pusat memangkas transfer ke daerah. Rakyat semakin terbebani di tengah kondisi ekonomi sulit, daya beli menurun, pengangguran dan PHK meningkat, serta kemiskinan bertambah. Sementara itu, pejabat negara, komisaris BUMN, dan anggota DPR justru menikmati penghasilan fantastis hingga ratusan juta rupiah per bulan ditambah berbagai tunjangan dan bonus besar.
Dalam Islam, pungutan pajak atas harta rakyat adalah haram. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
”Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim).
Oleh karena itu, pajak tidak bisa disamakan dengan zakat maupun wakaf. Islam telah menetapkan aturan jelas dalam mengatur harta umat.
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Syariah Islam telah menetapkan sumber pemasukan negara tanpa pajak, seperti pengelolaan sumber daya alam, kepemilikan umum, serta harta hasil sitaan korupsi yang wajib dirampas negara. Utang luar negeri ribawi jelas diharamkan karena menjadi alat penjajahan ekonomi dan membebani APBN, sebagaimana Indonesia yang harus mengalokasikan hampir Rp 600 triliun pada 2026 hanya untuk bunga utang. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban mengurus rakyat tanpa membeda-bedakan pusat dan daerah, serta haram mengurangi pelayanan publik atau membebankannya kepada rakyat lewat pajak dan iuran seperti BPJS. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, penguasa harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan hidup sederhana sebagaimana rakyatnya, bukan bermewah-mewah di tengah penderitaan umat. Sistem Islam meniscayakan pemimpin yang amanah, adil, dan bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat, bukan malah menindas mereka dengan pajak dan berbagai beban ekonomi. Hanya dengan kembali pada syariah Islam secara kaffah, keadilan dan kesejahteraan sejati dapat terwujud bagi seluruh umat. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA