
Oleh : Sugiyatno, Praktisi Kampus
Pergaulan bebas yang realitasnya terjadi di lingkungan kampus dewasa ini penting menjadi perhatian masyarakat. Kekahawatiran atas dampak pergaulan bebas tersebut bukan saja terbatas pada lingkup persoalan individu, namun lebih jauh sangat potensial mengancam eksistensi norma kebaikan yang sudah terbangun di masyarakat. Meskipun norma kebaikan itu masih kurang ideal jika dipandang dari norma agama terutama standar syariah islam. Aktivitas pergaulan bebas di kampus umum ditemukan dalam bentuk interaksi sosial yang tidak menunjukkan batas jelas antara laki – laki dan perempuan. Fenomena ini terjadi karena secara umum dalam kehidupan kampus tidak ada aturan khusus dalam hal pembatasan pergaulan tersebut. Sistem yang berlaku nasional perihal kehidupan kampus masih jauh dari ideal untuk diharapkan menjaga etika pergaulan syar’i.
Fakta di lapangan menunjukkan betapa interaksi laki – laki dan perempuan di kampus yang begitu bebas sehingga aktivitas berpasangan dianggap hal yang wajar. Berbagai perilaku antar pasangan lawan jenis umum nampak di lingkungan kampus dan seolah dianggap biasa saja. Apapun dalih yang dipakai meskipun dipandang memiliki tujuan baik secara hitungan duniawi, tetap kebebasan interaksi ini harus dibenahi. Masyarakat kampus harus menyadari bahwa fakta seperti pacaran, bergandengan tangan, berboncengan, berduaan dan interaksi lainnya antar lawan jenis bukan mahrom adalah perilaku buruk yang jelas melanggar syariat.
Beberapa tahun terakhir banyak kasus ditemukan adanya pelanggaran norma kesusilaan di lingkungan kampus diantaranya yang mengarah pada pelecehan seksual. Wajar jika pada tahun 2021 silam muncul kebijakan dari Pemerintah saat itu melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang menerbitkan Permendikbud nomor 30 tahun 2021. Aturan ini mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan kampus. Meskipun dalam tinjauan konsep dan penerapan atas aturan ini juga masih perlu dikritisi. Aturan tersebut terbit dalam posisi belum mampu menjawab persoalan pergaulan kampus secara mendasar.
Terbitnya Permendikbud nomor 30 tahun 2021 tersebut masih menyisakan kontroversi dan keraguan di masyarakat. Konon pada konteks definisi kekerasan seksual sebagaimana tertuang dalam pasal 5 terdapat pernyataan ambigu yakni adanya redaksi “tanpa persetujuan korban”. Regulasi ini mengkonfirmasi bahwa frasa “tanpa persetujuan korban” pada akhirnya yang dijadikan standar penetapan suatu tindakan sebagai pelanggaran kekerasan seksual. Dalam makna lain bisa difahami jika tindakan seksual terjadi dengan persetujuan, maka secara hukum administratif dalam konteks ketentuan ini tidak dianggap sebagai kekerasan seksual meskipun norma agama tetap dianggap maksiat.
Pemberlakuan aturan yang tidak tegas, kurang jelas dan tidak sesuai kaidah syar’i tentu tidak dapat dijadikan pijakan serta harapan untuk menyelesaikan persoalan yang semakin hari bertambah kompleks. Aturan yang berlaku belum mampu menjawab tantangan dan penyelesaian, namun realitas di lapangan justru semakin berkembang. Beragam ekspresi pergaulan kini semakin bebas dan nampak mengkhawatirkan bahkan dalam beberapa kasus berubah menjadi sebuah trend. Apalagi generasi muda di kampus saat ini sangat dipengaruhi oleh trend yang berkembang di berbagai media.
Berbagai Media sosial dengan platformnya yang khas saat ini digandrungi mahasiswa dengan konten aktivitas pacaran, staycation dan semacamnya yang dirasakan seolah menjadi trend. Mereka merasa tidak gaul jika tidak mengikuti trend itu. Jelas pola semacam ini adalah pemahaman salah.
Dalam kehidupan kampus yang membebaskan interaksi lawan jenis sangat potensial memunculkan zona abu-abu. Sebuah interaksi meskipun belum tentu masuk kriteria kekerasan seksual, tetapi sangat mungkin fakta yang terjadi mengabaikan batas adab dan norma agama. Fenomena tinggal bersama antar lawan jenis umum terjadi di kota-kota besar. Banyak ditemukan mahasiswa yang tinggal satu kos/kontrakan dengan lawan jenis tanpa ikatan pernikahan. Kondisi yang demikian tentu sudah tidak memungkinkan diatur oleh kampus karena terjadi di lingkungan luar akademis.
Kemendiktisaintek mencatat 310 kasus kekerasan di kampus sejak 2021, dengan kondisi hampir 50 persen merupakan kekerasan seksual (IDN Times, 30 April 2025). Fakta ini patut menjadi catatan bagi masyarakat yang peduli terhadap kehidupan generasi muda khususnya di kampus.
Kasus pelanggaran seksual yang terjadi di lingkungan kampus ditengarai oleh minimnya pemahaman etika dan norma agama di kalangan warga kampus. Arus modernisasi informasi yang begitu pesat membuka peluang generasi muda kampus terpengaruh pola pergaulan global yang bebas dan potensial berkontribusi atas terjadinya kasus pelanggaran.
Kenyataannya pergaulan dalam kehidupan kampus saat ini dipengaruhi pula oleh paham sekuler. Urusan kehidupan dipandang terpisah dengan aturan agama. Pola pemikiran ini yang menjadi latar belakang dari berbagai problematika pergaulan kampus. Meskipun tidak dipungkiri banyak diantara para mahasiswa yang meyakini agama sesuai dengan kepercayaannya. Namun faktanya masih sangat sedikit mahasiswa yang mampu menghubungkan aspek keimanan beragama dengan praktik pergaulan keseharian. Kesadaran ini adalah faktor penting dan tidak serta-merta menjadi domain berpikir warga masyarakat kampus.
Upaya penanggulangan dampak pergaulan bebas di Kampus
Berdasarkan fakta dan realita kasus pelanggaran pergaulan bebas, perlu dilakukan upaya yang massif dari berbagai pihak terkait. Sedianya penanganan kasus pelanggaran atas dampak pergaulan bebas tidak semata pada lingkup personal dan ditangani setelah kejadian. Berbagai pihak dalam hal ini civitas akademika kampus yang meliputi mahasiswa, pengelola kampus beserta perangkatnya dan seluruh pihak pengampu kebijakan perlu bersinergi melakukan upaya penanggulangan pelanggaran pergaulan bebas.
Upaya berbagai kampus nasional yang mulai membentuk tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) patut diapresiasi, meskipun kinerjanya belum dirasakan optimal yang terbukti dengan masih adanya peningkatan kasus. Keberadaan instrumen lembaga kampus faktanya memiliki keterbatasan jangkauan dalam upaya nyata pencegahan dan penanganan kasus. Kontribusi tim PPKS kampus tetap dibutuhkan meskipun adanya keterbatasan dalam banyak hal. Setidaknya eksistensi tim ini dapat dirasakan oleh warga kampus untuk mengurangi dampak pelanggaran pergaulan bebas tersebut. Adapun komposisi tim hendaknya melibatkan personal yang memiliki pemahaman baik tentang agama misalnya psikolog muslim atau Pembina rohani agar penanganan tetap mengedepankan nilai spriritual dan tidak sekedar admnistratif saja.
Pemberlakuan Permendikbud nomor 30 tahun 2021 sudah nyata kurang lengkap dalam menjawab persoalan pelanggaran seksual sebagai dampak dari pergaulan bebas. Batasan normatif yang tidak menyandarkan pada aturan syariah menjadi penyebab tidak efektifnya atas aturan ini.
Pihak Kampus sedianya perlu menyusun kode etik tentang pergaulan mahasiswa yang secara spesifik melarang interaksi bebas sehingga membuka peluang maksiat. Dalam kode etik perlu disebutkan secara khusus jenis dan bentuk pelanggaran norma dan etika serta adab yang benar. Mestinya perlu ada peringatan dan atau larangan terhadap segala bentuk ekspresi kemesraan di ruang publik dengan nasehat dan pendekatan norma agama.
Dalam konteks pembinaan pergaulan, harus ada aspek perbaikan sikap dan perilaku yang tertuang dan dimunculkan dalam kurikulum pembelajaran. Pembelajaran aspek sikap dan perilaku tentu sangat mungkin disisipkan pada matakuliah berbagai bidang kajian dan program studi. Meskipun bentuk dan perwujudan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh penyampai dalam hal ini dosen yang setiap saat memberikan pelajaran ilmu kepada para mahasiswa. Materi pembelajaran dalam kurikulum perlu disajikan dengan asupan nasehat dan informasi yang berkontribusi untuk membentuk mahasiswa, sehingga mampu menjaga adab dan etika pergaulan di masyarakat.
Organisasi kemahasiswaan juga berperan besar dalam upaya mewujudkan kehidupan kampus yang menjunjung tinggi adab, etika dan norma kebaikan serta melaksanakan ketentuan agama secara baik. Banyak kegiatan yang dapat diselenggarakan organisasi mahasiswa diantaranya kajian tematik tentang etika pergaulan dan aktifitas non-akademik lainnya yang terprogram, sehingga targetnya jelas sebagai upaya berkontribusi mengkondisikan mahasiswa untuk menjaga pergaulan.
Secara personal para warga kampus juga harus membangun kesadaran, bahwa pergaulan bebas dapat berdampak negatif jika masing-masing individu minim edukasi dan kurang semangat belajar. Setiap person perlu merasa wajib mengikuti kajian rutin di berbagai kesempatan sebagai upaya membentengi diri dari pengaruh buruk pergaulan. Mereka yang disiplin mempelajari agama dan memperdalam pengetahuan fiqih tentu akan sangat berhati-hati dalam berinteraksi sosial. Menjaga kehormatan diri bukan samata untuk diri pribadi, lebih dari itu bahwa upaya ini merupakan perintah agama yang harus diikuti.
Setiap orang hendaknya membangun pemahaman yang benar dengan mengaktualisasikan ajaran agama dalam interaksi sosial. Masyarakat kampus tidak boleh canggung untuk mengamalkan aturan agama yang benar. Perjuangan untuk melaksanakan syariah merupakan bukti nyata dari keimanan yang sudah dibangun. Dalam komunikasi sosial hendaknya aspek religi menjadi filter penting, sehingga pemahaman sekuler tidak boleh diberi tempat untuk hal ini.
Solusi Islam dalam mengatasi dampak pergaulan bebas
Problem pergaulan memang tidak cukup diselesaikan hanya dengan aspek hukum normatif. Apalagi jika sebuah aturan dibangun bukan berasal dari konsep yang benar. Aturan yang disusun dari sumber penuh dengan subyektifitas pandangan tentu sangat sulit memberikan solusi pada setiap problematika. Faktor kepentingan subyektif yang tersirat dalam sebuah aturan menyebabkan kebijakan tidak dapat terlaksana secara obyektif.
Tentu tidak berlebihan jika islam hadir memberikan solusi tuntas. Seluruh aturan islam hadir yang hakikatnya berasal dari Allah SWT dan bisa dipastikan untuk ditelusur kebenarannya. Islam memberikan solusi nyata dalam penyelesaian urusan kehidupan termasuk mengenai pergaulan.
Pergaulan terutama interaksi antara lawan jenis sudah jelas diatur dalam ajaran islam. Faktanya memang tidak dilarang sama sekali untuk berinterasi, tetapi diatur dengan pola yang benar secara adab dan etika. Nasehat penting dari Allah SWT kepada laki-laki dan perempuan wajib menjaga pandangan (Q.S An-nur 30-31). Hendaknya setiap laki-laki yang beriman menundukkan pandangan dari segala hal yang dapat menjurus kepada kemaksiatan. Ekspresi dan penampilan lawan jenis secara naluri tentu akan dapat menjadi daya Tarik. Naluri ini tidak mungkin dihilangkan, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur pandangan agar tidak menjurus keharaman.
Islam mengatur hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan secara jelas sebagaimana larangan interaksi yang menggoda atau melemahkan batas suara perempuan (Q.S Al-Ahzab ayat 32). Pribadi wanita muslim yang baik tidak boleh melembutkan suara dalam berbicara sehingga berpotensi membangkitkan nafsu orang lain yang memiliki penyakit hati. Hikmah dari pesan ini yakni para wanita pada saat berkomunikasi hendaknya dibuat sewajarnya dan tidak boleh menarik perhatian yang membangkitkan nafsu.
Pacaran sudah sangat jelas dilarang oleh islam. Interaksi secara berduaan antara lawan jenis bukan mahrom dapat berpotensi menimbulkan fitnah. Pesan ini secara jelas disampaikan dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunya “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali syaitan menjadi yang ketiganya.” Pesan hikmah yang terang benderang membatasi aktivitas berduaan antara lawan jenis bukan mahrom.
Khusus untuk kaum wanita, islam telah mewajibkan untuk menutup aurat (Q.S An-Nur ayat 31). Upaya antisipasi yang sangat mendasar. Wanita yang menutup aurat tentu akan lebih menjaga pandangan kaum pria sehingga tidak terpancing nafsu yang menyesatkan.
Berdasarkan dalil nash, banyak aturan syariah yang dapat digunakan sebagai peringatan untuk menjaga pergaulan. Khusus pada pergaulan kampus hendaknya perlu dilakukan upaya kolektif untuk membatasi agar tidak mengarah pada keburukan. Penguatan keimanan dan ketaqwaan setiap warga kampus perlu senantiasa ditingkatkan.
Setiap orang perlu memahami adab islami saat berinteraksi. Termasuk jika dapat dikondisikan pemisahan lokasi aktivitas belajar antara laki-laki dan perempuan di kampus tentu menjadi upaya yang efektif. Upaya ini bukan dalam konteks diskriminasi, namun lebih kepada antisipasi agar dapat membatasi interaksi fisik. Lembaga dakwah kampus harus disemarakkan dengan berbagai kegiatan kampanye penjagaan pergaulan kampus yang islami dan beradab sesuai etika yang benar. Semoga pergaulan warga kampus senantiasa terjaga dan diridhoi Allah SWT serta bagi penghuninya mendapat keberkahan ilmu yang bermanfaat. Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.