
Hijrah dari Jahiliyyah: Momentum Kembali pada Cahaya Islam
Hijrah bukan sekadar peristiwa historis dalam Islam, tetapi juga momentum spiritual yang abadi. Peristiwa hijrahnya Rasulullah ﷺ dari Mekah ke Madinah menjadi dasar penetapan kalender Hijriyah oleh Khalifah Umar bin Khattab, karena hijrah merupakan titik balik kebangkitan peradaban Islam. Hari ini, semangat hijrah seharusnya menjadi pengingat bahwa setiap detik kehidupan adalah perjalanan menuju akhir hayat—dan kita tak pernah tahu kapan ajal akan datang menjemput.
Makna Hijrah yang Hakiki
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah. Dalam konteks Islam, hijrah adalah perubahan dari kondisi buruk menuju kondisi yang lebih baik, dari kegelapan menuju cahaya, dari hawa nafsu menuju ketaatan.
Allah ﷻ berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 218:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Tiga karakter utama dalam ayat ini—iman, hijrah, dan jihad—menjadi ciri mereka yang benar-benar mengharap rahmat Allah. Jihad bukan sekadar perang fisik, tetapi juga perjuangan melawan hawa nafsu dan sistem yang bertentangan dengan syariat.
Hijrah Nabi: dari Darul Kufur ke Darul Islam
Hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi peralihan dari darul kufur (Mekah saat itu) ke darul Islam (Madinah). Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, darul kufur adalah negeri yang tidak menerapkan hukum Allah dan berada di bawah kendali kaum kafir. Sebaliknya, darul Islam menerapkan syariat secara menyeluruh dan kekuasaannya berada di tangan kaum Muslimin.
Pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah tahun 1924, negeri-negeri Muslim kehilangan karakter sebagai darul Islam. Maka hijrah masa kini berarti ikhtiar kolektif untuk mengembalikan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.
Esensi Hijrah: Meninggalkan Hawa Nafsu
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hijrah sejati adalah berpindah dari kebodohan spiritual menuju ilmu, dari hawa nafsu menuju syariat. Di dalam surah Al-Maidah ayat 50 Allah memperingatkan:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Kebodohan yang dimaksud di sini bukan tentang rendahnya IQ, melainkan pilihan untuk mengikuti hawa nafsu daripada petunjuk Allah. Contoh konkret adalah tokoh-tokoh Quraisy seperti Abu Jahal dan Walid bin Mughirah yang menolak kebenaran bukan karena tidak paham, tetapi karena kesombongan hati.
Kejahiliyahan Modern: Pemikiran, Perilaku, dan Sistem
Hari ini, kejahiliyahan bisa berwujud:
- Pemikiran Jahiliyyah: Mengagungkan ideologi sekuler, liberal, dan materialistik.
- Perilaku Jahiliyyah: Mementingkan gaya hidup bebas, individualistik, dan konsumerisme.
- Sistem Jahiliyyah: Menerapkan hukum buatan manusia, bukan syariat Allah.
Kejahiliyahan juga muncul dalam bentuk ketidaktahuan terhadap agama, seperti menganggap remeh riba, menolak konsep khilafah, atau bahkan menyalahkan para ulama karena ketidaktahuan yang dibalut kesombongan.
Imam Al-Mawardi berkata:
“Orang alim bisa menilai orang bodoh karena ia pernah menjadi bodoh, tetapi orang bodoh tidak bisa menilai orang alim karena ia tidak pernah menjadi alim.”
Sedangkan Imam Al-Ghazali mengutip perkataan bijak:
“Yang paling buruk adalah orang yang tidak tahu, dan ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.”
Hijrah Hari Ini: Kembali menjadi Pribadi Rabbani
Mari kita jadikan setiap momen yang ada sebagai titik balik menuju hidup yang lebih berkualitas:
- Sebagai Muslim: Tingkatkan semangat belajar agama dan dakwah.
- Sebagai Kepala Keluarga: Bina rumah tangga dengan nilai-nilai Islam.
- Sebagai Masyarakat: Dukung perjuangan menegakkan sistem Islam secara kaffah.
Jangan jadikan dakwah sebagai aktivitas sampingan, tetapi sebagai poros hidup kita. Dengan begitu, hijrah bukan hanya menjadi slogan, tetapi gerakan perubahan total menuju keberkahan dunia dan akhirat.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: