
Membongkar Realitas Partai Politik: Demokrasi Kapitalis vs. Visi Islam
Perdebatan mengenai peran dan visi partai politik selalu relevan, terutama di tengah berbagai fenomena politik terbaru yang terjadi belakangan ini. Berbagai isu, mulai dari konflik internal partai seperti kasus kudeta di beberapa partai, klaim pemecatan tokoh politik di tubuh partai, hingga perpecahan di beberapa partai besar menunjukkan kerapuhan dalam bangunan internal partai politik itu sendiri, baik karena persaingan kepemimpinan maupun faksi-faksi di dalamnya. Bahkan, isu intervensi penguasa untuk “penjinakan” oposisi juga menjadi sorotan. Ini semua menunjukkan betapa kompleksnya dinamika politik di bawah sistem demokrasi kapitalis.
Biaya Politik yang Fantastis dan Dampaknya terhadap Korupsi
Salah satu fakta mencolok dalam sistem demokrasi adalah biaya politik yang sangat mahal. Pendirian partai politik saja membutuhkan biaya yang sangat besar, diperkirakan mencapai tiga triliun rupiah untuk memenuhi persyaratan undang-undang seperti memiliki kantor dan kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota di setiap provinsi, dan 50% kecamatan di setiap kabupaten/kota. Biaya operasional partai juga mencapai 200-250 miliar rupiah per tahun, dan bisa naik tiga kali lipat menjelang pemilu.
Tidak hanya itu, biaya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, seperti gubernur, rata-rata memerlukan biaya sebesar 350 miliar rupiah, sementara gaji gubernur hanya sekitar 15 juta rupiah per bulan. Bahkan, ada perhitungan bahwa calon gubernur di Jawa Barat pada tahun 2008 membutuhkan 509,820 miliar rupiah, dan dengan inflasi, angka tersebut mencapai 800 miliar rupiah pada tahun 2018, padahal gaji total gubernur dalam satu periode lima tahun hanya sekitar 6 miliar rupiah. Ketidakseimbangan ini menciptakan peluang besar untuk korupsi.
Data menunjukkan bahwa hampir semua partai politik terlibat dalam kasus korupsi antara 2014-2017. Bahkan, lima ketua umum partai ditangkap KPK karena kasus dugaan korupsi, termasuk Anas Urbaningrum (Partai Demokrat), Luthfi Hasan Ishaaq (PKS), Suryadharma Ali (PPP), Setya Novanto (Partai Golkar), dan Romahurmuziy (PPP). Fenomena mantan koruptor mencalonkan diri di legislatif juga marak. Ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi saat ini memiliki “Trias Korupsi”, di mana eksekutif, legislatif, dan yudikatif terjerat dalam jebakan korupsi.
Pemerintah sendiri mengucurkan dana bantuan keuangan dari APBN sebesar 666,6 miliar rupiah untuk partai politik pada tahun 2019. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dana tersebut belum mampu membuat partai mandiri dan justru banyak kader yang terjerat korupsi. Hal ini menguatkan pandangan bahwa korupsi terjadi karena sistem demokrasi yang semu, di mana tujuan partai politik adalah meraih kekuasaan yang tidak terpisahkan dari kekuatan uang.
Akar Masalah: Kedaulatan Pemilik Modal, Bukan Rakyat
Secara ideologis, sistem demokrasi yang berbiaya mahal ini tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, melainkan kedaulatan pemilik modal atau kapitalis. Ini bertentangan dengan kedaulatan dalam Islam yang berada di tangan syariat. Banyak pejabat republik, termasuk kepala daerah dan bahkan kepala negara, dibiayai oleh “cukong” atau investor politik. Ada data yang menunjukkan bahwa 92% politisi dibiayai oleh cukong. Hal ini berarti rakyat tidak memilih siapa yang dikehendaki secara bebas, karena kandidat harus memiliki modal yang cukup, yang didapat dari pemilik modal yang menentukan siapa yang akan didukung. Ini membuat negara menjadi seperti “negara korporasi” di mana keuntungan hanya mengalir kepada segelintir oligarki.
Visi Partai Politik dalam Islam: Menggapai Ridha Allah dan Kemaslahatan Umat
Dalam pandangan Islam, politik didefinisikan sebagai pengaturan urusan umat di dalam dan di luar negeri dengan hukum-hukum Islam, di mana penguasa menerapkan Islam secara praktis dan melakukan pengawasan. Partai politik (Hizb Siyasi) dalam Islam berfungsi sebagai “infrastruktur politik” yang mewakili kepentingan masyarakat atau umat.
Tujuan utama partai politik dalam Islam sangat berbeda dengan partai politik di sistem demokrasi kapitalis. Berdasarkan surah Ali Imran ayat 104, Allah memerintahkan: “Dan hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; dan merekalah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini mengandung indikasi wajib untuk mendirikan kelompok atau jamaah dengan dua fungsi utama:
- Mengajak kepada kebaikan (Islam secara kaffah), yaitu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Ini juga berarti melakukan pembinaan umat dengan Islam secara totalitas.
- Amar makruf (menyuruh kepada kebaikan) dan nahi munkar (melarang dari kemungkaran). Amar makruf nahi munkar yang paling besar dan mulia adalah terhadap penguasa, yang disebut muhasabah lil hukkam. Kritik terhadap pemerintah ini adalah fardhu kifayah bagi kaum Muslim.
Adapun beberapa karakteristik kunci partai politik Islam adalah:
- Bermotif ruhiyah (spiritual), mencari ridha Allah dan nilai ibadah, bukan keuntungan materi.
- Biaya yang jauh lebih murah karena tidak terikat pada “izin” atau investasi dari pihak-pihak yang mencari keuntungan duniawi. Biaya yang ada lebih banyak terkait dengan sosialisasi dan komunikasi yang efisien, bukan transaksi “non-teknis”.
- Asasnya adalah akidah Islam dan hukum-hukum yang diadopsinya adalah hukum syara. Partai Islam tidak boleh mengadopsi pemikiran sekuler, liberal, atau kapitalistik.
- Pendiriannya tidak memerlukan izin negara jika berasaskan Islam.
- Tidak dikenal adanya partai penguasa dan partai oposisi setelah sistem Islam (Khilafah) tegak. Partai politik bertugas melakukan pengawasan (muhasabah) terhadap Khalifah, bukan dalam rangka menjatuhkan atau merebut kekuasaan, melainkan mencegah penyimpangan.
- Standar kepemimpinan didasarkan pada ketakwaan, bukan kekayaan atau dinasti. Pemimpin harus laki-laki, merdeka, baligh, berakal, adil, dan beragama Islam.
Bagaimana Non-Muslim Menyalurkan Aspirasi dalam Sistem Islam?
Dalam sistem Khilafah, non-Muslim memiliki hak untuk mengajukan keluhan jika terjadi kesewenangan atau penyimpangan pemerintah dalam penerapan hukum Islam terhadap mereka. Saluran aspirasi bagi non-Muslim antara lain:
- Secara individu dapat menyampaikan keluhan tentang kezaliman.
- Melalui Majelis Umat, di mana mereka memiliki wakil-wakil untuk menyampaikan berbagai keluhan.
- Melalui Mahkamah Mazhalim, sebuah lembaga peradilan independen yang dapat menangani perselisihan, bahkan yang melibatkan Khalifah sekalipun. Kasus Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan seorang Yahudi mengenai baju besi menjadi contoh perlindungan hukum yang diberikan kepada non-Muslim dalam Islam.
Menuju Perubahan Hakiki: Kembali ke Sistem Partai Politik Islam
Partai politik Islam yang ideologis memiliki tanggung jawab untuk mengajak seluruh kalangan masyarakat kembali kepada tatanan Islam. Ini melibatkan pembinaan dan pembentukan kelompok dakwah, interaksi di tengah umat untuk menciptakan kesadaran umum dan opini publik, serta kritik terhadap kebijakan yang tidak sejalan dengan Islam. Tujuannya adalah untuk mengalihkan kepercayaan publik dari sistem lama ke sistem Islam.
Perubahan ini bersifat konseptual (fikriyah), terarah, dan tanpa kekerasan. Partai politik Islam berperan sebagai “institusi fikriyah” yang menyampaikan pemahaman, standar, dan keyakinan Islam kepada penguasa dan rakyat. Jika penguasa dan rakyat tidak konsisten menjalankan Islam, partai politik Islam wajib memutus hubungan dengan pemahaman lama dan menggantinya dengan pemahaman baru.
Pentingnya dakwah secara masif dan terarah menjadi kunci untuk perubahan pemikiran, perasaan, dan perilaku umat. Ketika umat sudah menemukan kesadarannya dan direpresentasikan dalam partai politik Islam yang ideologis, maka gelombang dukungan untuk perubahan menuju Islam tidak akan terbendung. Ini akan mengakhiri sistem kepartaian yang berbiaya mahal, rawan korupsi, dan tidak dalam keridhaan Allah, serta beralih ke sistem yang didasarkan pada Islam sebagai asasnya.
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: