
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga menjadi anggota Satgas Pemberantasan Perjudian Online mencatat, terdapat 17.445.000 transaksi terkait judi online sepanjang Januari-Mei 2025, berupa Transaksi Keuangan Transfer Dana dari dan ke Luar Negeri (TKL) atau International Fund Transfer Instruction (IFTI).
Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono juga menyampaikan adanya laporan yang mencurigakan terkait transaksi keuangan hingga 71.907.000, diduga sebagian besar terkait perjudian online. Mirisnya, dari data pemain judi online, mereka adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang mengharapkan mendapatkan uang “semu” dengan cepat, dengan jumlah mencapai 70 persen (cnbcindonesia.com, 25-6-2005).
Transaksi Besar, Apa Kabar Pahala dan Dosa?
Miris, negara dengan penduduk mayoritas Muslim, ternyata dari transaksi keuangan terbesar berasal dari aktivitas yang diharamkan Islam, agama terbanyak dipeluk rakyat Indonesia. Apakah mereka tidak paham halal haram? Apakah mereka tidak salat? Tidak beriman kepada Allah dan Rasul Muhammad?
Persoalan mendasarnya adalah dampak sistemik diterapkannya aturan yang buruk, yaitu Kapitalisme sekuler, yang asasnya memisahkan agama dari kehidupan manusia saat mereka melakukan aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Halal haram menjadi urusan kesekian.
Hal ini dimulai dari negara yang berkhidmat pada aturan kafir barat, sehingga hal yang terlarang dalam agama tapi memberi manfaat maka masih dipertahankan. Sebagaimana minuman keras boleh diperjualbelikan di destinasi pariwisata dengan alasan agar para wisatawan asing merasa hommy (serasa masih di rumah sendiri).
Sebagaimana riba yang juga masih diperbolehkan dengan berbagai alasan, sesuai pendapat ulama su’ yang sepakat riba itu boleh. Sebagaimana boleh menjual sumber daya alam kepada investor dengan dalih hilirisasi dan lainnya.
Islam sebagai Solusi Sejahtera
Persoalan akarnya adalah sistem Kapitalisme gagal mewujudkan kesejahteraan. Lapangan pekerjaan sempit sebagai salah satu akibat hilirisasi tambang. Banyak rakyat kehilangan rumah, tanah, pekerjaan, bahkan kesehatan. Fresh graduate dari universitas atau sekolah vokasi juga tak banyak membantu. Negara malah mendorong rakyatnya menjadi tenaga kerja migran.
Berbeda dengan negara yang menerapkan syariat Islam. Persoalan kesejahteraan ada dalam jaminan negara, seorang pemimpin negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya dengan cara mengelola seluruh harta yang menjadi milik umum (tambang, minyak bumi, hutan, laut, dan sebagainya), harta milik negara (hima, ushyur, jizyah, dan lainnya) yang disimpan di Baitulmal.
Negara mewajibkan setiap kepala keluarga atau laki-laki yang sudah baligh untuk bekerja, dengan memfasilitasi atau menyediakan lapangan pekerjaan seluas mungkin untuk mereka. Bagi yang uzur akan disantuni dari harta Baitulmal.
Negara melarang setiap muamalah yang bertentangan dengan syariat. Meski tidak menetapkan UMR, upah ditetapkan berdasarkan keridaan pemberi kerja dan pekerja, namun negara tidak memungut biaya apapun semisal air, listrik, BBM hingga pajak. Demikian pula dengan pelayanan publik lainnya, diberikan dengan harga murah atau gratis. Sebab negara adalah raa’in dan junnah bagi rakyatnya. Wallahu a’lam bisshawab.[]