
Hagia Sophia dan Kecerdasan Politik Peradaban Islam
Dari Mimpi Rasulullah ﷺ hingga Realitas Peradaban
“Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menjadi ilham abadi dalam sejarah Islam. Butuh lebih dari 800 tahun hingga bisyarah ini menjadi kenyataan. Setelah enam kegagalan ekspedisi besar, akhirnya pada 29 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel dan mengubah pusat kekuasaan Bizantium menjadi kota Islam: Istanbul.
Salah satu simbol paling ikonik dari peristiwa ini adalah konversi Hagia Sophia dari gereja menjadi masjid. Ia bukan hanya bangunan; ia adalah simbol transformasi geopolitik, kebangkitan spiritual, dan penegasan supremasi keadilan Islam atas ketidakadilan Kekaisaran Bizantium.
Hagia Sophia: Bukan Sekadar Masjid
Selama hampir seribu tahun, Hagia Sophia menjadi katedral Kristen terbesar di dunia. Namun bagi Sultan Muhammad Al-Fatih, Hagia Sophia lebih dari sekadar tempat ibadah: ia adalah lambang supremasi politik dan budaya musuh yang telah dikalahkan. Maka, menjadikannya masjid adalah langkah strategis, bukan sekadar simbolik.
Keputusan ini bukan tindakan sepihak. Hagia Sophia dibeli dari dana pribadi Sultan, dijadikan wakaf pribadi, dan dicatat dalam dokumen resmi. Hal ini mencerminkan integritas dalam akuisisi dan teladan keadilan Islam, sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah ﷺ saat Perang Khaibar.
Simbolisme vs Sekularisasi
Pada tahun 1934, Kemal Ataturk mengubah Hagia Sophia menjadi museum—menandai penghapusan Khilafah dan simbol Islam di jantung Turki. Konversi ini bukan sekadar administratif; ia adalah strategi menghapus memori Islam dari ruang publik.
Namun pada 10 Juli 2020, pengadilan Turki membatalkan keputusan tersebut. Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Kaum Muslim di dunia bergembira, sementara dunia sekuler merasa cemas. Kenapa?
Karena Hagia Sophia bukan sekadar bangunan ibadah. Ia adalah monumen narasi, lambang kebangkitan atau keruntuhan peradaban. Dunia Barat menyadari, kembalinya Hagia Sophia sebagai masjid adalah indikator kebangkitan kesadaran politik umat Islam.
Keadilan Islam dalam Sejarah
Berbeda dari narasi Barat yang menggambarkan penindasan, sejarah membuktikan bahwa Khilafah Islam menunjukkan keadilan kepada non-Muslim. Banyak gereja tetap berfungsi, dan hanya sedikit yang dialihfungsi menjadi masjid, itupun karena kebutuhan dan dengan proses hukum yang adil. Sejarawan non-Muslim seperti Voltaire pun mengakui toleransi Islam dalam memimpin masyarakat multikultural.
Pelajaran dari Hagia Sophia: Menuju Kebangkitan Umat
Mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid bukan hanya nostalgia. Ia adalah panggilan untuk membangun kembali sistem Islam yang adil dan rahmatan lil ‘alamin.
Jika dahulu jihad dan Khilafah membawa Islam ke jantung Eropa, maka hari ini, umat membutuhkan kecerdasan politik, kesadaran sejarah, dan kemauan kolektif untuk menghadirkan kembali peradaban Islam yang memimpin dengan keadilan dan kasih sayang.
***
Kita tidak berbicara tentang batu dan bangunan. Kita berbicara tentang identitas, kehormatan, dan masa depan umat.
Hagia Sophia adalah cermin. Ia merefleksikan kekuatan kita di masa lalu, dan peluang kita untuk membangkitkan kembali kemuliaan Islam di masa depan.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi…” (TQS. An-Nur: 55)[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: