Di tengah hiruk pikuk berita global, khususnya yang terkait dengan situasi di Palestina, sebuah tragedi kemanusiaan yang tak kalah memilukan sedang berlangsung di wilayah Darfur, Sudan. Wilayah Sudan Barat ini telah menjadi medan genosida abad ke-21 yang mengerikan, bahwa yang terjadi di Darfur bukanlah sekadar perang saudara, melainkan akibat langsung dari dominasi asing dan politik pecah belah (divide et impera).
Wilayah Darfur, khususnya kota El Fasher, kini telah berubah menjadi kota hantu di bawah kendali pasukan dukungan cepat atau RSF (Rapid Support Forces). RSF adalah kelompok paramiliter atau milisi yang dulunya dikenal sebagai Janjaweed, yang dibentuk untuk melawan pemberontak beretnis non-Arab (Afrika) di awal tahun 2000-an.
Di antara kejahatan sangat biadab yang terjadi adalah:
- Korban Jiwa Massal: Terdapat lebih dari 2.000 warga sipil tewas dalam kurun waktu 3 hari terakhir. Ribuan lainnya tewas, dan jutaan mengungsi.
 - Bukti Citra Satelit: Analisis dari Yale School of Public Health mengkonfirmasi adanya kumpulan objek seukuran tubuh manusia dan perubahan warna tanah kemerahan (darah) di luar rumah sakit di El Fasher.
 - Target Etnis: RSF secara luas menargetkan dan membunuh warga sipil, terutama karena perbedaan etnis (non-Arab), meskipun secara umum mereka semua adalah Muslim.
 - Kekerasan Sistematis: Mereka melakukan kekerasan seksual, pemerkosaan berkelompok, penjarahan, penghancuran desa, dan pembakaran. Tentara RSF, yang sebagian adalah tentara anak-anak, seringkali diperintahkan untuk melakukan kejahatan di bawah pengaruh narkoba berat dengan tujuan mematahkan semangat musuh.
 
Tujuan dari kekejaman ini, menurut laporan, adalah untuk mematahkan semangat musuh dan secara sistematis membuat kota itu kelaparan. Nyawa tidak lagi berarti apa-apa.
Akar Konflik dan Kepentingan Geopolitik
Sejarah Islam di Sudan telah dimulai sejak tahun 641 Masehi, pada masa sahabat Amr bin Ash dan Khalifah Umar bin Khattab. Mayoritas Sudan Utara (Republik Sudan) adalah Muslim, sementara Sudan Selatan (yang memisahkan diri tahun 2011) mayoritas Nasrani.
Pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011 didorong oleh Amerika Serikat karena wilayah tersebut kaya akan minyak. Konflik berlanjut karena pipa minyak Sudan Selatan dialirkan melalui wilayah Sudan Utara menuju Port Sudan.
Konflik Darfur saat ini berpusat pada perseteruan dua jenderal yang mengambil alih kekuasaan dari Jenderal Omar al-Bashir pada 2019/2021, yaitu Jenderal Abdul Fattah Al-Burhan (SAF – Sudanese Army Forces) sebagai Komandan Tentara Pemerintah, dan Jenderal Muhammad Hamdan Dagalo (Hemti – Komandan RSF) selaku Pemimpin Milisi.
Keduanya pecah kongsi pada tahun 2023 setelah Burhan ingin mengintegrasikan milisi RSF ke dalam tentara, namun Hemti menolak karena tidak ingin kehilangan komando dan kekuatan tawar.
Kepentingan Asing dan Dominasi Amerika
Perang ini disulut oleh keterlibatan negara-negara asing yang memiliki kepentingan, khususnya terkait sumber daya alam di Darfur, yaitu emas. Sejumlah negara yang terlibat antara lain:
- Pendukung RSF (Hemti): Uni Emirat Arab (UAE) – menggunakan drone dari Cina, Chad, Libya, Kenya, dan Israel. UAE berkepentingan dengan emas Darfur dan juga berupaya melemahkan peran Yaman di Laut Merah.
 - Pendukung SAF (Burhan): Mesir, Turki (bantuan drone), dan Iran.
 
Meskipun terlihat sebagai perseteruan, kedua jenderal (Burhan dan Hemti) sebenarnya adalah agen Amerika Serikat yang memainkan peran berbeda. Amerika Serikat telah mengalihkan pertarungan politik ke arah yang menipu, menggunakan agen-agen ini untuk mendominasi kekuasaan.
Sebagai bukti dominasi AS, pada tahun 2020 Sudan dicabut dari daftar negara pendukung teroris AS setelah Sudan setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Bahaya Separatisme Darfur dan Seruan Islam
Rencana jangka panjang Amerika adalah terus memecah belah Sudan, dengan Darfur sebagai target separatisme berikutnya. Bahkan, terdapat rencana untuk membagi Sudan menjadi lima bagian. Separatisme ini adalah cara negara Barat untuk melemahkan negeri Muslim.
Juru bicara Hizbut Tahrir Sudan, Syekh Ibrahim Utsman Abu Khalil, telah menyerukan agar umat bangkit menggagalkan konspirasi pengaruh agen-agen ini. Beliau mengingatkan dengan hadits Nabi Muhammad SAW: “Seorang mukmin itu tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.” Sudan sudah pernah terperosok dengan pemisahan Sudan Selatan; umat tidak boleh membiarkan Darfur dipisahkan juga.
Peristiwa ini adalah perang fitnah di mana kaum Muslim (SAF, RSF, dan rakyat) saling membunuh, sementara kekuatan kafir (Amerika) semakin leluasa.
Dalam Islam, panduan jelas tertuang dalam Surah Al-Hujurat ayat 9:
“Dan jika dua golongan mukmin itu berperang, maka damaikanlah mereka. Dan jika salah satu dari mereka berbuat jahat kepada yang lain, maka perangilah golongan yang jahat itu hingga mereka tunduk kepada hukum Allah…”
Yang harus dilakukan oleh kaum Muslim di Sudan adalah menghentikan kekerasan dan mengusir Amerika.
Solusi Tunggal Persatuan Global
Genosida di Darfur membuktikan bahwa sejak diruntuhkannya Khilafah Islam pada 1924, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara dan terus menjadi objek kekejaman.
Solusi terbaik dan paripurna adalah menegakkan persatuan dan kepemimpinan global di bawah naungan Khilafah. Tanpa Islam yang diterapkan secara totalitas, kehidupan umat Islam tidak akan makmur, dan kita akan terus menjadi sasaran dominasi asing.
Setiap Muslim wajib mengasah wa’yu siyasi (kesadaran politik)—kesadaran terhadap peristiwa yang dilihat dari sudut pandang Islam. Kita harus terus berdakwah dengan sabar dan fokus untuk menyadarkan umat agar bersatu dan menolak untuk menjadi korban. Kita harus menyerukan kepada para penguasa Muslim bahwa mereka adalah perisai (junnah), dan mereka harus menyatukan kekuatan, seperti yang dilakukan oleh Salahuddin al-Ayyubi, demi mengakhiri kezaliman ini.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di Ngaji Shubuh TV:
