Dalam beberapa waktu terakhir, berita duka datang dari saudara-saudara kita di Sumatera. Banjir bandang dan longsor menerjang berbagai wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat; meninggalkan kerusakan masif dan duka yang mendalam. Jembatan hanyut, rumah-rumah tersapu bersih, dan kehidupan terancam.
Melihat dahsyatnya bencana ini, sebuah pertanyaan mendasar muncul: Apakah ini murni takdir alam, atau sebuah bencana ekologis yang didesain oleh sebuah sistem? Banyak yang menganggapnya sebagai musibah, namun sains menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat yang sangat jelas antara aktivitas manusia di hulu dengan bencana yang terjadi di hilir.
Terdapat hubungan sebab-akibat antara hilangnya hutan dengan terjadinya banjir dan longsor. Dengan menggunakan analogi yang mudah dipahami, kita akan melihat bagaimana hilangnya “infrastruktur alami” terbaik kita memicu serangkaian peristiwa yang berujung pada malapetaka.
Untuk memahaminya, mari kita mulai dari perjalanan setetes air hujan.
Perjalanan Air Hujan: Memahami Siklus Hidrologi Sederhana
Segala sesuatu yang berkaitan dengan air di bumi mengikuti sebuah siklus yang disebut siklus hidrologi. Proses ini berjalan terus-menerus dan menjaga keseimbangan air di planet kita. Secara sederhana, perjalanannya adalah sebagai berikut:
- Penguapan (Evaporasi): Air di laut, sungai, dan danau dipanaskan oleh matahari dan berubah menjadi uap air yang naik ke atmosfer.
- Pembentukan Awan (Kondensasi): Di atmosfer yang lebih dingin, uap air ini mengembun dan berkumpul membentuk awan.
- Hujan (Presipitasi): Ketika awan sudah jenuh dengan uap air, ia akan menurunkannya kembali ke bumi dalam bentuk hujan.
- Penampungan (Koleksi): Air hujan yang jatuh akan berkumpul di daratan (menjadi air tanah, sungai, danau) atau kembali ke laut, memulai siklusnya dari awal.
Banjir pada dasarnya adalah masalah “saldo air” yang tidak seimbang. Rumus sederhana terjadinya banjir adalah sebagai berikut:
Rumus Sederhana Terjadinya Banjir:
(Air Hujan yang Jatuh + Air Kiriman dari Hulu) – (Yang Meresap ke Tanah + Yang Menguap + Yang Dibuang ke Laut) > 0 = BANJIR
Bencana ini terjadi ketika jumlah air yang datang ke suatu wilayah jauh lebih besar daripada kemampuan wilayah tersebut untuk menyerap, menguapkan, atau mengalirkannya. Dalam siklus yang sehat, alam memiliki mekanisme pertahanan yang luar biasa untuk menjaga keseimbangan air ini: hutan.
Hutan: Spons Raksasa Penjaga Bumi
Bayangkan hutan sebagai sebuah spons raksasa alami yang terhampar di daratan. Ketika hujan deras turun, hutan tidak membiarkan air langsung mengalir begitu saja. Sebaliknya, ia menjalankan tiga fungsi hidrologis yang krusial:
- Menahan Laju Air Hujan: Kanopi pohon yang lebat dan lapisan serasah (dedaunan dan ranting mati) di lantai hutan berfungsi sebagai peredam alami. Keduanya memecah butiran air hujan yang jatuh dengan deras, sehingga air tiba di permukaan tanah dengan lebih lambat dan lembut.
- Menyerap Air ke dalam Tanah: Ini adalah fungsi terpenting. Jaringan akar pohon yang rumit dan ekosistem bawah (semak, tanaman kecil) menciptakan jutaan pori-pori di dalam tanah. Pori-pori ini memungkinkan air hujan meresap secara masif ke dalam tanah, menyimpannya sebagai cadangan air tanah yang nantinya akan keluar sebagai mata air.
- Melepaskan Air Secara Perlahan: Air yang tidak terserap sepenuhnya tidak langsung meluncur deras ke sungai. Sistem perakaran dan struktur tanah hutan akan mengalirkannya secara perlahan dan terkendali. Ini memastikan volume air di sungai tidak melonjak secara tiba-tiba dan tetap berada dalam batas wajar.
Namun, apa yang terjadi ketika ‘spons raksasa’ ini dihilangkan secara paksa?
Ketika Spons Lenyap: Dampak Deforestasi
Deforestasi—baik untuk perkebunan sawit, pertambangan, atau proyek lainnya—secara fundamental mengubah cara daratan merespons air hujan. Perbedaannya sangat drastis, seperti membandingkan spons dengan lantai keramik. Kebijakan yang “legal tapi brutal” telah melegalkan konversi hutan dalam skala yang masif. Dalam 20 tahun terakhir, hampir 10 juta hektar hutan di seluruh Indonesia diubah menjadi kebun sawit, dengan hampir 2 juta hektar di antaranya berada di Sumatera.
Untuk memahami dampaknya, mari kita lihat perbandingan berikut:
| Kriteria | Hutan Alami | Lahan Terdeforestasi (Kebun Sawit) |
| Daya Serap Air | Sangat Tinggi. Berfungsi seperti spons raksasa yang menyerap air secara masif ke dalam tanah. | Sangat Rendah. Daya serapnya hanya 1/10 hingga 1/100 dari hutan alami. |
| Stabilitas Tanah | Kuat. Tanah diikat erat oleh jaringan akar yang kompleks dari beragam jenis tumbuhan. | Rapuh. Tanpa ekosistem akar yang beragam, lapisan atas tanah menjadi mudah tergerus oleh air. |
| Aliran Air ke Sungai | Lambat dan Terkendali. Air dilepaskan perlahan-lahan, menjaga volume sungai tetap stabil. | Cepat dan dalam Jumlah Besar. Hampir semua air hujan langsung menjadi air limpasan (runoff) yang deras. |
Fakta kunci yang perlu digarisbawahi adalah daya resap tanah di bawah kebun sawit hanya 1/10 hingga 1/100 dari daya resap hutan. Mengapa? Karena dalam persiapan lahan perkebunan, seluruh ekosistem bawah—seperti semak dan tanaman kecil—dianggap sebagai “gulma” yang akan “menurunkan kesuburan pohon sawit” sehingga dibersihkan total. Padahal, ekosistem inilah yang membantu menciptakan pori-pori tanah untuk penyerapan air.
Bayangkan menuangkan segelas air ke atas spons dibandingkan menuangkannya ke lantai keramik. Di atas spons (hutan alami), air akan terserap. Di lantai keramik (lahan gundul), air akan langsung mengalir deras tanpa ada yang menahan. Aliran deras inilah yang menjadi awal mula dari bencana yang menghancurkan.
Dari Aliran Deras Menjadi Bencana: Proses Terjadinya Banjir Bandang & Longsor
Ketika hutan di hulu hilang, hujan deras tidak lagi meresap ke dalam tanah. Sebaliknya, ia menjadi air limpasan dalam volume yang sangat besar dan bergerak dengan kecepatan tinggi. Air ini langsung menuju sungai, menyebabkan volume sungai melonjak drastis dan meluap jauh melebihi kapasitas normalnya. Dari sinilah dua bencana utama lahir:
- Banjir Bandang. Ini bukan sekadar luapan air biasa. Banjir bandang adalah gelombang penghancur yang membawa serta material padat. Air limpasan dari lahan gundul menyeret lumpur, tanah, dan sisa-sisa kayu hasil penebangan. Material ini kemudian menumpuk di bagian sungai yang menyempit, membentuk bendungan sementara yang menyebabkan air terbendung dulu. Saat air terus menumpuk di belakang sumbatan ini, tekanannya menjadi terlalu besar hingga akhirnya bendungan tersebut jebol. Akibatnya, gelombang dahsyat berisi air, lumpur, dan gelondongan kayu meluncur dengan kecepatan tinggi, menyapu bersih apa pun yang dilewatinya.
- Tanah Longsor. Akar pepohonan di lereng bukit berfungsi seperti jaring raksasa yang mengikat butiran-butiran tanah menjadi satu kesatuan yang kokoh. Ketika pohon-pohon ini ditebang, “jaring” pengikat tersebut hilang. Saat hujan deras turun, tanah di lereng menjadi jenuh oleh air, kehilangan kekuatannya, dan akhirnya bobotnya tidak lagi mampu menahan gravitasi. Akibatnya, seluruh lapisan tanah tersebut runtuh ke bawah sebagai tanah longsor.
Mengapa Ini Terus Terjadi? Akar Masalah Sistemik
Memahami proses fisik bencana saja tidak cukup. Kita harus bertanya: mengapa kondisi yang memicu bencana ini terus diciptakan dan bahkan dilindungi? Jawabannya terletak pada sistem ekonomi dan politik yang berlaku.
- Ekonomi Ekstraktif dan Korupsi: Model ekonomi yang dianut adalah ekonomi ekstraktif—memilih “tambang dan sawit” ketimbang “IPTEK dan riset inovasi.” Model ini berfokus pada pengambilan sumber daya alam secepat-cepatnya untuk keuntungan jangka pendek. Sistem ini berjalan subur karena korupsi dalam perizinan. Contoh nyata adalah kasus Mardani Maming, mantan bendahara umum PBNU yang divonis 10 tahun penjara karena menerima suap 100 miliar rupiah terkait izin usaha pertambangan. Di tingkat kebijakan yang lebih tinggi, selama masa jabatan Zulkifli Hasan sebagai menteri, dikeluarkan izin konversi hutan seluas 1,64 juta hektar, di mana 90% di antaranya diberikan kepada korporasi.
- Pembungkaman Kritik dengan Stigma: Siapapun yang mengkritik model destruktif ini akan menghadapi perlawanan. Muncul narasi “Wahabi Ekosistem,” sebuah stigma politik yang sengaja diciptakan untuk melabeli para aktivis lingkungan sebagai “radikalisme baru” atau ekstremis. Tujuannya jelas: “membungkam kontrol publik” agar investasi yang merusak lingkungan dapat berjalan tanpa hambatan. Kritik yang berbasis data dan moral diubah seolah-olah menjadi serangan anti-pembangunan dan anti-negara.
Bencana adalah Akibat Ulah Tangan Manusia
Rantai peristiwa yang menyebabkan bencana hidrologis di berbagai wilayah menjadi sangat jelas dan logis:
Penebangan Hutan (yang dilegalkan kebijakan) → Hilangnya Daya Serap Tanah → Air Limpasan yang Masif → Sungai Meluap → Banjir Bandang dan Longsor.
Wawasan utamanya adalah bahwa bencana seperti yang terjadi di Sumatera bukanlah “bencana alam” murni, melainkan “bencana ekologis” yang merupakan konsekuensi logis dari sebuah ideologi yang serakah. Ini adalah buah dari pilihan sadar untuk memprioritaskan keuntungan ekstraktif jangka pendek di atas keberlanjutan ekologis dan keselamatan warga.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (QS. Al-A’raf: 96) bahwa, jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya akan dilimpahkan berkah dari langit dan bumi; tetapi jika mereka mendustakan, maka mereka akan disiksa akibat perbuatannya. Bencana yang kita saksikan adalah cerminan dari sebuah sistem yang mendustakan hukum alam dan keadilan. Pada akhirnya, alam tidak pernah ekstrem; manusialah yang melampaui batas. Menjaga hutan adalah infrastruktur pencegah bencana terbaik dan investasi paling mendasar untuk melindungi peradaban kita.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV:
