
NgajiShubuh.or.id — Sebenarnya ini, program makan bergizi gratis atau beracun gratis? Bisa-bisanya, makin hari makin banyak yang keracunan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) tembus 10482 anak per 4 Oktober 2025. Program kebanggan Presiden Prabowo Subianto ini ternyata tidak lebih hanya program copy paste dari Cina. China sudah lama menyelenggarakan MBG, tapi selama 14 tahun yang keracunan hanya 848 orang. Hal ini menunjukkan betapa bobroknya pengaturan dan pengawasan sistem di negeri ini. Boro-boro makan bergizi, makan selamat dari keracunan saja tidak bisa. Inilah wajah kebijakan populis problematik, seolah-olah program yang memihak kepada rakyat, faktanya menimbulkan banyak masalah berkepanjangan.
MBG digadang-gadang sebagai program yang pro rakyat dan bertujuan untuk menghapus stunting dengan meningkatkan gizi, tapi faktanya malah problematik karena menciptakan banyak masalah. Sebelum kasus keracunan yang mencapai angka sepuluh ribu lebih, MBG adalah program yang membebani anggaran negara. MBG menjadi salah satu alasan negara untuk melakukan efisiensi anggaran dengan memangkas beberapa dana pendidikan lain demi terlaksananya MBG. Tujuan MBG dalam menghapus stunting juga patut dipertanyakan. Bagaimana bisa ingin menghapus stunting tapi fakta di lapangan banyak terjadi kasus keracunan?
Kalau memang ingin menghapus stunting tidak bisa hanya dengan program populis problematik seperti MBG ini. Namun, harus diselesaikan sampai ke akarnya. Kekurangan gizi yang terjadi di negeri ini bukan hanya masalah teknis saja, tapi sistemis. Sistem ini telah membuat masyarakat kekurangan gizi secara menyeluruh. Hal itu tampak dari tekanan ekonomi yang membuat rakyat sulit hidup layak dan sehat. Pertama, sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Badai pengangguran datang setiap saat ketika perusahaan atau pabrik melakukan efisiensi. Namun, untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak harus bersaing ketat. Sekalipun ingin melakukan bisnis, juga terhalang dengan terbatasnya modal.
Kedua, penghasilan kecil di bawah UMR (upah minimum regional). Terkadang pekerja harus siap bekerja profesional dan mau digaji sekedarnya, bahkan gajinya tidak manusiawi dengan beban pekerjaan yang begitu besar. Mereka tetap bertahan karena tidak ada pilihan lain. Alhasil mereka memenuhi kebutuhan pangan sekedarnya, bahkan stres memicu mereka untuk makan makanan yang tidak sehat. Ketiga, tingginya harga kebutuhan pokok. Harga kebutuhan pokok yang mahal membuat rakyat memutar otak agar uang yang didapatkan cukup untuk menjalani kehidupan. Boro-boro untuk hidup sehat, bisa hidup cukup saja mereka harus berjuang keras untuk memenuhinya. Di saat yang sama pemerintah minim memberikan edukasi hidup sehat. Selain itu, makanan yang haram dan tidak tayib mudah sekali ditemukan dan dijual murah.
Keempat, beban pungutan atau pajak yang tinggi. Bagaimana bisa hidup sejahtera di sistem seperti ini? Alih-alih hidup sehat, hidup selayaknya manusia saja sulit kalau caranya seperti ini. Faktanya, pungutan di negeri ini banyak tapi fasilitas yang diberikan minim. Dari pajak kendaraan, rumah, bangunan, PPN (pajak penambahan nilai), dan sebagainya. Kelima, kapitalisasi pendidikan dan kesehatan membuat fasilitas pendidikan dan kesehatan jadi barang langka dan mahal. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat rendah.
Beginilah kondisi hidup di sistem sekuler kapitalisme. Sistem yang mengabaikan Islam sebagai pengatur hidup dalam aspek individu, masyarakat, dan negara. Manusia diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa ikatan dengan hukum yang telah Allah Swt. turunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sebelum ada program ini, beberapa sekolah atau pondok pesantren sudah menyelenggarakan makan bersama tapi tidak separah ini kejadiannya.
Namun, setelah MBG masuk ke sistem sekuler kapitalisme yang terjadi adalah problematik. Mengapa? Karena praktik korupsi berpotensi besar terjadi dalam penyelenggaraan MBG. Jangankan mengelola dengan benar, program ini bisa menjadi bancakan segelintir oknum, sehingga dana yang turun sampai bawah sangatlah tidak manusiawi. Inilah akibatnya, apabila menerapkan aturan tidak berkiblat pada hukum Islam. Mereka terlalu sombong mengabaikan syariat Islam dan lebih memilih hukum buatan hawa nafsu manusia yakni sistem-sistem selain Islam. Mereka lebih rida dengan hukum sekuler karena bisa mengakomodasi keserakahannya daripada hukum Islam yang adil dan menyejahterakan. Sudah saatnya umat sadar akan pentingnya hidup di bawah naungan sistem Islam secara menyeluruh.[] Ika Mawarningtyas