‘Kebebasan’ adalah sebuah ide yang sangat kuat dan universal, namun maknanya bisa sangat berbeda—bahkan bertentangan—tergantung pada landasan berpikir (ideologi) yang dianut. Bagi sebagian orang, kebebasan berarti hak untuk melakukan apa pun tanpa batasan. Bagi yang lain, kebebasan adalah pembebasan dari hawa nafsu untuk mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi.
Kita akan menguraikan akar, makna, dan dampak dari konsep kebebasan menurut pandangan Barat modern yang lahir dari sekularisme. Kemudian, kita akan membandingkannya secara mendalam dengan pandangan Islam yang bersumber dari wahyu ilahi.
Untuk memahami mengapa kedua pandangan ini begitu berbeda, kita harus terlebih dahulu menelusuri akar sejarah yang melahirkan ide kebebasan di Barat.
Akar Sekularisme: Mengapa Barat Memisahkan Agama dari Kehidupan?
Ide kebebasan di Barat tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah konsekuensi logis dari sejarah unik mereka dengan agama Kristen. Ada yang disebut sebagai “konsekuensi yang absah dari keyakinan Kristiani” pada masa itu, yang dipenuhi dengan berbagai masalah fundamental.
Ada empat faktor unik dan lokal di Barat yang mendorong masyarakatnya untuk memisahkan agama dari kehidupan publik:
- Masalah Otentisitas Injil. Muncul keraguan yang mendalam di kalangan pemikir Barat terhadap keaslian dan otentisitas teks Injil yang ada di tangan mereka.
- Persoalan Teologis. Konsep-konsep teologis fundamental, seperti Trinitas, baru ditetapkan ratusan tahun setelah wafatnya Nabi Isa. Contohnya, Konsili Nicea yang meresmikan doktrin ini baru diadakan pada tahun 325 M, sekitar 300 tahun setelah masa kenabian Isa.
- Konflik Agama dan Sains. Terjadi pertentangan yang tajam antara penemuan-penemuan ilmiah dengan apa yang tertulis dalam teks Injil, yang membuat banyak orang meragukan relevansi agama dalam menjelaskan realitas.
- Trauma Rezim Agama. Masyarakat Barat mengalami trauma mendalam akibat dominasi rezim gereja pada Abad Pertengahan, yang dianggap menindas dan menghambat kemajuan.
Keempat faktor ini secara kolektif meruntuhkan otoritas moral dan intelektual gereja di mata masyarakat, sehingga pemisahan agama dari kehidupan publik (sekularisme) tidak hanya dilihat sebagai pilihan, tetapi sebagai satu-satunya jalan keluar yang logis. Faktor-faktor ini melahirkan sekularisme (fasluddin ‘anil hayat) sebagai “jalan tengah” (halul wasath). Agama tidak ditolak sepenuhnya, tetapi perannya dibatasi hanya untuk mengatur urusan pribadi individu dengan Tuhannya, dan tidak boleh lagi mencampuri urusan negara, hukum, ekonomi, dan kehidupan publik lainnya.
Ketika agama tidak lagi menjadi pedoman hidup, manusia pun mulai mencari landasan baru, yang kemudian melahirkan sebuah falsafah utama: liberalisme.
Buah dari Sekularisme: Empat Pilar Kebebasan ala Barat
Buah utama dari sekularisme adalah liberalisme—sebuah paham yang memandang bahwa manusia pada dasarnya bebas dari segala bentuk ikatan, termasuk ikatan yang paling fundamental sekalipun: ikatan agama. Dalam pandangan ini, kedaulatan tertinggi (sovereignty) tidak lagi berada di tangan Tuhan, melainkan berpindah ke tangan rakyat. Rakyatlah, melalui wakil-wakilnya, yang kini berhak membuat hukum untuk mengatur dirinya sendiri.
Dari paham liberalisme inilah lahir empat pilar kebebasan yang menjadi fondasi masyarakat Barat modern.
| Pilar Kebebasan | Makna dan Contoh Nyata |
| Kebebasan Berakidah (Hurriyatul Aqidah) | Individu bebas untuk menganut agama berdasarkan pilihannya, berpindah agama sesuka hati, atau bahkan tidak beragama sama sekali (ateis atau agnostik). Contoh nyata dari fenomena ini adalah banyaknya gereja di Barat yang kehilangan jemaat hingga akhirnya harus dijual. |
| Kebebasan Kepemilikan (Hurriyatul Tamalluk) | Individu bebas memiliki apa saja, dengan cara apa saja, dan membelanjakan atau memperlakukan hartanya sesuka hati. Contoh yang ekstrem adalah seseorang yang mewariskan seluruh hartanya bukan kepada keluarga, melainkan kepada anjing atau kucing peliharaannya. |
| Kebebasan Berpendapat (Hurriyatul Fikriyyah) | Individu memiliki hak untuk mengatakan apa saja, benar atau salah, tanpa dikenai sanksi atau pengawasan. Ini termasuk kebebasan untuk mengkritik, bahkan menghujat agama dan para nabi. |
| Kebebasan Bertingkah Laku (Hurriyatus Syakhshiyyah) | Individu berhak untuk melakukan perbuatan apa saja tanpa perlu mempedulikan nilai-nilai moral atau agama. Fenomena seperti LGBT dan modifikasi tubuh yang ekstrem adalah buah dari pilar kebebasan ini. |
Keempat pilar kebebasan ini terdengar agung, namun penerapannya dalam masyarakat melahirkan konsekuensi yang mendalam dan seringkali merusak.
Konsekuensi Nyata: Dampak Kebebasan Barat dalam Masyarakat
Penerapan ide kebebasan absolut yang terlepas dari panduan ilahi ini telah menimbulkan berbagai krisis sosial dan spiritual yang parah di negara-negara Barat dan negara lain yang mengadopsinya.
Kebebasan Individu vs. Kehancuran Keluarga dan Masa Depan Bangsa
Pandangan hidup materialistis yang dominan membuat anak dianggap sebagai beban ekonomi, bukan anugerah. Hal ini memunculkan fenomena pernikahan tanpa anak (free child marriage). Akibatnya, negara-negara sekuler seperti Jepang dan Korea kini menghadapi krisis penurunan populasi yang mengancam masa depan mereka. Di Jepang, jutaan rumah kosong tak berpenghuni karena angka kelahiran terus merosot dan populasi menua dengan cepat.
Dari Kepemilikan Absolut Menuju Kapitalisme Eksploitatif
Kebebasan kepemilikan tanpa batas melahirkan sistem ekonomi kapitalisme yang pada dasarnya berorientasi pada keuntungan materi semata. Sifat ini mendorong eksploitasi, penjajahan atas bangsa lain (seperti yang terjadi di Palestina), dan bahkan penciptaan perang secara sengaja demi menjaga keuntungan industri senjata. Kemanusiaan menjadi nilai yang bisa diperjualbelikan. Pada titik inilah, kapitalisme menunjukkan wajahnya yang paling jahat, di mana ia mampu menerobos semua nilai moral dan hukum internasional demi keuntungan.
Disorientasi Spiritual dan Normalisasi Penyimpangan
Ketika agama disingkirkan, masyarakat mengalami disorientasi atau kehilangan arah hidup. Kekosongan spiritual ini membuat banyak orang mencari pelarian pada hal-hal aneh, seperti sekte Aum Shinrikyo di Jepang yang diikuti oleh kaum terpelajar. Selain itu, kebebasan bertingkah laku membuat masyarakat menjadi permisif terhadap segala bentuk perilaku menyimpang seperti LGBT, hingga dianggap sebagai sebuah “kenormalan”.
Di tengah berbagai krisis ini, Islam menawarkan sebuah pandangan yang sama sekali berbeda tentang makna kebebasan—sebuah kebebasan yang memanusiakan, bukan menghancurkan.
Alternatif Islam: Kebebasan dalam Naungan Wahyu
Menghadapi krisis keluarga, eksploitasi ekonomi, dan kekosongan spiritual yang lahir dari kebebasan absolut, Islam menawarkan sebuah fondasi yang sama sekali berbeda. Perbedaan paling mendasar antara pandangan Barat dan Islam terletak pada sumbernya. Jika ideologi Barat bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia yang terbatas, maka Islam bersumber dari wahyu Sang Pencipta, yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Titik tolak ini mengubah segalanya.
Berikut adalah prinsip-prinsip utama kebebasan dalam pandangan Islam yang sangat kontras dengan Barat:
- Tujuan Hidup yang Jelas: Ibadah. Islam memberikan arah dan tujuan yang jelas bagi kehidupan manusia, yaitu ibadah kepada Allah SWT. Setiap aktivitas, mulai dari membangun keluarga, bekerja, hingga mendirikan negara, bernilai ibadah jika dilakukan sesuai syariat. Inilah yang memberikan ketenangan spiritual dan orientasi hidup yang hilang dalam masyarakat sekuler.
- Kebebasan yang Bertanggung Jawab. Islam tidak mengenal kebebasan absolut seperti di Barat. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang terikat dan dibatasi oleh aturan-aturan Allah SWT. Analogi yang bisa digunakan adalah: Islam tidak membatasi jumlah kekayaan yang boleh dimiliki seseorang, tetapi Islam membatasi cara memperolehnya. Harta harus didapat dengan cara yang halal dan tidak merugikan orang lain.
- Menjaga Kemuliaan Manusia. Batasan-batasan yang ditetapkan dalam syariat Islam bukanlah untuk membelenggu manusia. Sebaliknya, batasan itu berfungsi sebagai pagar pelindung untuk menjaga kemuliaan manusia, kesucian institusi keluarga, dan keharmonisan tatanan masyarakat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu yang tanpa kendali.
Dengan landasan yang kokoh ini, jelaslah bahwa ‘kebebasan’ dalam Islam menghasilkan buah peradaban yang sangat berbeda.
Dua Dunia yang Berbeda
Pada akhirnya, perdebatan antara kebebasan ala Barat dan Islam adalah perdebatan antara dua sumber yang fundamental: buatan manusia versus ciptaan Tuhan. Konsep kebebasan Barat lahir dari trauma sejarah, keraguan, dan penolakan terhadap agama, yang kemudian menempatkan akal dan hawa nafsu manusia sebagai penentu hukum tertinggi.
Sebaliknya, konsep kebebasan dalam Islam lahir dari keyakinan pada wahyu, yang menempatkan manusia sebagai hamba mulia dengan tujuan hidup yang jelas dan batasan yang memuliakan.
Perbedaan sumber ini secara tak terhindarkan melahirkan dua jenis masyarakat dengan nilai, tujuan, dan hasil akhir yang sangat berbeda. Kebebasan sejati, menurut pandangan Islam, bukanlah melakukan apa saja yang kita inginkan, melainkan terbebas dari perbudakan hawa nafsu untuk tunduk patuh kepada Sang Pencipta, yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV:
