
Oleh: Lulu Nugroho
Dua perempuan asal Malang, akhirnya mengambil lagi sang ibu, dari Griya Lansia Husnul Khatimah Kabupaten Malang, setelah berita tentang mereka viral. Mereka tidak berniat membuangnya, hanya ingin menitipkan dan berharap sang ibu mendapat perawatan baik di tempat tersebut. Netizen pun ramai menghujat, setelah mereka menandatangani kesediaan tak bertemu lagi dengan ibunda, bahkan saat beliau wafat (kompas.com, 2/7/2025).
Miris memang, seorang ibu renta seolah dianggap purnabakti, disisihkan dari ranah kehidupan dan diserahkan kepada pihak lain yang dianggap lebih kompeten untuk mengurusnya. Apakah mereka anak durhaka, yang tak berkenan menjaga ibu? Sementara Allah menyatakan di dalam surah Al-Isra ayat 23, agar kita berbuat baik kepada ibu bapak, saat salah seorang atau keduanya, sampai berusia lanjut dalam pemeliharaan kita.
Rasulullah SAW pun menyatakan,
“Celakalah orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup di masa tua, lalu ia tidak masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka).” (HR Muslim)
Dalam Islam, seorang anak wajib berbakti kepada kedua orangtuanya (birrul walidayn) hingga mereka lanjut usia. Sejalan dengan itu, negara pun harus menjamin terpenuhinya kewajiban tersebut, dengan beragam mekanisme, di antaranya adalah penyediaan lapangan kerja bagi para lelaki, atau bantuan modal, lahan, pelatihan, dan sebagainya, agar mereka dapat memenuhi kebutuhan nafkah bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Dapat pula dalam bentuk tunjangan langsung yang diambil dari pos zakat, kepada warga fakir atau miskin.
Hanya saja dalam kasus ini, kondisi finansial kedua perempuan ini sangat sempit. Mereka berlima, dengan anggota keluarga lainnya, terpaksa tinggal berhimpitan di rumah dengan luas 4×4 meter. Tentu sulit bagi mereka untuk beraktivitas sehari-hari dalam area minimalis. Bisa jadi penjagaan aurat dan kewajiban syariat lainnya tidak dapat ditegakkan dengan baik di ruangan tersebut.
Sementara sejatinya, setiap individu berhak hidup layak. Negara menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan, serta akses kepada pendidikan, kesehatan dan keamanan. Maka negara tak boleh membiarkan kedua perempuan ini mengatasi masalahnya sendiri, melainkan harus turun tangan dengan menyediakan tempat tinggal yang layak huni.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya An-Nizhamul Islam menyatakan,
“Dalam Islam, negara menjamin biaya hidup orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, atau tidak ada yang menanggung nafkahnya. Negara pun wajib menanggung orang dengan lanjut usia dan orang cacat.”
Maka keberadaan panti jompo dalam Islam, adalah sebuah keniscayaan, untuk merawat lansia, saat terdapat udzur syar’i yakni tidak adanya keluarga yang mampu mengurusi, negara mengambil alih tanggung jawab menjaga ibu. Pendanaan panti diambil dari sumber kas Baitul Maal.
Panti pun harus memperhatikan adab, penuh hormat dan perhatian, tatkala berinteraksi dengan para manula, sebagaimana sikap lemah lembut Rasulullah SAW kepada Abu Quhafah, ayah Abu Bakar RA, yang tidak bisa melihat. Dengan santun beliau SAW membimbing Abu Quhafah, masuk Islam.
Negara pun harus memiliki perangkat berupa polisi (Asy-Syurthah) dan hakim (Al-Qadi) yang akan menetapkan sanksi saat terjadi pelanggaran hukum syara’, supaya pihak-pihak yang lalai, dapat segera kembali menegakkan hukum Allah.
Inilah kemuliaan Islam, menjaga ibu, menjamin kesejahteraannya dan memastikan ibu nyaman serta penuh ketaatan, di usia senjanya. Rabbighfirlii waliwaalidayya.[]