
Akar Nasionalisme di Dunia Islam: Menelusuri Jejak Perpecahan dan Solusi Islam
Pada setiap Agustus, tema nasionalisme seringkali menjadi sorotan utama. Namun, sudahkah kita memahami akar sejati nasionalisme, khususnya dalam konteks dunia Islam? Pemahaman ini krusial untuk membuka wawasan kita tentang apakah nasionalisme adalah ide yang tumbuh dari Islam atau justru sebaliknya.
Hakikat Manusia dan Identitas dalam Islam
Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13 menyatakan: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Ayat ini diturunkan setelah penaklukan Mekkah, ketika tiga orang Muslim baru menghina Bilal bin Rabah karena fisiknya. Ayat tersebut menegaskan bahwa semua manusia diciptakan setara di hadapan Allah SWT, dan yang membedakan mereka hanyalah ketakwaan.
Dari awal, Islam telah menghapuskan berbagai bentuk ikatan, kecuali satu, yaitu ikatan yang didasarkan pada Islam, mulai dari akidah hingga syariahnya. Sayangnya, ayat ini sering disalahgunakan untuk menjustifikasi nasionalisme. Padahal faktanya manusia memang diciptakan berbeda-beda bangsa dan sukunya. Namun pembeda utamanya di sisi Allah hanyalah ketakwaan, bukan bangsa atau sukunya.
Islam sangat menentang ikatan ashabiyah (nasionalisme atau fanatisme kesukuan). Rasulullah SAW bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyah, yang berperang karena ashabiyah, atau yang mati karena ashabiyah.” Beliau bahkan mencela orang yang menyeru kepada ashabiyah laksana seseorang yang menggigit kemaluan ayahnya, menunjukkan betapa tercelanya perbuatan tersebut. Dalam khutbah Haji Wada’, Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara orang berkulit merah atau hitam; semua adalah anak cucu Adam, dan yang membedakan mereka hanyalah ketakwaan. Contoh nyata adalah ketika Rasulullah SAW sangat marah kepada Abu Dzar Al-Ghifari yang menghina Bilal bin Rabah dengan menyebutnya “anak seorang budak hitam“. Marahnya Rasulullah SAW menunjukkan bahwa dalam Islam, tidak ada kelebihan bagi seseorang berdasarkan warna kulit atau keturunan.
Adapun ungkapan “hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air adalah bagian dari iman) yang sering didengar, diketahui bukan berasal dari hadits, melainkan ungkapan seorang ulama. Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Mekkah pun didasarkan pada status istimewa yang Allah berikan kepada kota tersebut sebagai bumi yang paling dicintai Allah, bukan semata karena tempat kelahirannya.
Sejarah Daulah Islam dan Persatuan Umat
Sebelum Islam, adidaya dunia didominasi oleh Kekaisaran Romawi dan Persia. Islam hadir memperkenalkan bentuk negara baru yang disebut Daulah Islam atau Khilafah, yaitu negara ideologis (da’iyah) yang menyebarkan Islam (rahmatan lil’alamin). Selama lebih dari 1.300 tahun, Islam memimpin dunia, mengarahkan umat manusia menuju kebaikan dan keadilan.
Penyebaran Islam dilakukan melalui dakwah (seruan kepada manusia untuk masuk Islam dan meninggalkan kegelapan jahiliyah) dan jihad (perang untuk menghilangkan penghalang dakwah dan meninggikan kalimat Allah). Di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah, wilayah kekuasaan Islam terbentang sangat luas, menyatukan berbagai bangsa dan suku di bawah satu akidah dan syariat Islam. Batas negara menjadi dinamis karena Khilafah adalah negara ideologis.
Kemunculan Nasionalisme: Racun dari Barat
Setelah Revolusi Prancis dan Revolusi Industri, Eropa bangkit dengan mengenalkan konsep negara demokrasi (republik) dengan basis negara-bangsa (nation-state), yang didasarkan pada paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan dan negara) dan sistem kapitalisme. Ini adalah upaya untuk melawan dan membendung perkembangan Khilafah Islam.
Nasionalisme didefinisikan sebagai paham di mana loyalitas tertinggi diberikan kepada bangsa, seringkali diungkapkan dengan semboyan “benar atau salah, bangsaku” (right or wrong with my country). Kelahiran negara-negara di Eropa berdasarkan bangsa-bangsa tertentu ini kemudian menjadi fondasi bagi nation-state.
Upaya membendung Islam dilakukan melalui dua cara utama: militer dan pemikiran. Meskipun secara militer banyak perang terjadi, ide nasionalisme terbukti lebih efektif dalam menggerogoti tubuh Daulah Islam.
Pusat-pusat misionaris Kristen di Malta, sejak tahun 1600-an, dijadikan kedok untuk menyebarkan paham nasionalisme. Kegiatan ini kemudian berlanjut ke Beirut (Lebanon) dan Suriah. Organisasi-organisasi seperti Syrian Protestant College (sekarang Universitas Amerika di Beirut) dan Secret Association (1875) secara spesifik menyebarkan nasionalisme Arab, yang mengkonfrontasikan “bangsa Arab” dengan “negara Turki” (merujuk pada Daulah Utsmaniyah).
Peran Inggris dan Prancis semakin konkret setelah tahun 1882. Mereka adalah aktor utama di balik perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916, saat Perang Dunia I berlangsung. Perjanjian rahasia ini memutilasi wilayah Daulah Islam Utsmaniyah yang telah melemah, membagi-baginya menjadi wilayah-wilayah di bawah kendali langsung atau pengaruh Inggris dan Prancis. Perjanjian ini dirancang untuk memenuhi kepentingan kolonial Barat, meninggalkan warisan perpecahan, kekacauan, dan perang di Timur Tengah.
Inggris bahkan membayar agen-agen seperti Sharif Hussein di Mekkah sebesar 200.000 poundsterling sebulan pada tahun 1916 untuk mensosialisasikan pemisahan Arab dari Turki. Agen intelijen Inggris, Lawrence of Arabia, bahkan digambarkan sebagai pahlawan di mata sebagian orang Arab karena “membebaskan” Arab dari “penjajahan Turki”, padahal Arab sudah berabad-abad berada dalam naungan Daulah Islam.
Puncak konspirasi ini terjadi pada 3 Maret 1924, ketika Khilafah Islam di Turki secara resmi diruntuhkan oleh Kemal Pasha, dengan bantuan Inggris. General Allenby, Jenderal Inggris, pada tahun 1917, dengan pongah memasuki Yerusalem dan menyatakan, “Hari ini perang salib berakhir!“.
Buah Pahit Nasionalisme bagi Dunia Islam
Setelah tahun 1924, nasionalisme berkembang pesat di negeri-negeri Islam. Terbentuklah negara-bangsa seperti Arab Saudi, Iran, Mesir, Irak, Yordania, Lebanon, Suriah, Pakistan (dipisahkan dari India), Indonesia (dulu Hindia Belanda), Malaysia, Singapura (dipisahkan dari Malaysia), Maroko, Nigeria, Aljazair, dll. Dunia Islam yang tadinya bersatu di bawah Khilafah terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara. Bahkan di Indonesia, kita melihat adanya pemisahan seperti Timor Timur, dan potensi perpecahan berdasarkan ras di Papua.
Perpecahan ini melemahkan umat Islam. Ikatan nasionalisme menghalangi persatuan politik umat, meski ikatan akidah tetap kuat. Ketika bertemu saudara Muslim dari negara lain, ada rasa persaudaraan dari aspek spiritual, namun ketika bicara politik, nasionalisme memisahkan mereka. Ini menciptakan kontradiksi dalam diri seorang Muslim, di mana akidah dan politiknya tidak sejalan. Ini yang menyebabkan umat Muslim di berbagai belahan dunia seperti Rohingya, Uighur, Palestina, atau Suriah, harus berjuang sendiri-sendiri, karena tidak ada yang mengurus mereka secara kolektif. Berbeda dengan masa Khilafah, di mana seorang khalifah seperti Umar bin Khattab memanfaatkan musim haji untuk mengevaluasi persoalan politik dari seluruh dunia Islam, atau Harun Ar-Rasyid dan Al-Muktasim yang menggerakkan pasukan demi kehormatan seorang Muslimah.
Nasionalisme dan ikatan ideologis Islam tidak bisa bersinergi secara positif. Keduanya adalah kontradiksi; satu adalah racun, yang lain adalah obat.
Solusi Mendasar Islam: Kembali pada Akidah dan Syariah
Untuk mengatasi nasionalisme dan dampaknya, ada tiga solusi mendasar dalam Islam:
- Solusi Pemikiran (Ideologis): Islam telah menghapus dan mengharamkan ikatan ashabiyah, termasuk nasionalisme. Islam menggantinya dengan ikatan ideologis, yaitu Islam sebagai dien (sistem hidup) yang sempurna, baik keyakinan spiritual maupun politik. Umat Islam harus memahami secara utuh bahwa nasionalisme tidak berasal dari Islam.
- Solusi Kelompok: Pemikiran Islam yang ideologis harus diemban oleh kelompok-kelompok atau partai politik Islam yang ideologis, yang mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Ketika pemerintahan Islam tidak ada, kebangkitan Islam harus dimulai dengan cara dakwah yang mengikuti Rasulullah SAW, menyampaikan Islam secara konseptual dan politis tanpa kekerasan.
- Solusi Negara: Negara dalam Islam adalah Khilafah, yang meneladani Nabi SAW dan para sahabat. Ia didasarkan pada akidah Islam, menerapkan seluruh syariat Islam di dalam negeri, serta mengemban dakwah Islam dan jihad ke seluruh dunia. Khilafah tidak mengenal batas-batas negara berbasis bangsa, melainkan menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan. Simbol persatuan umat adalah Ar-Rayah (bendera hitam bertuliskan kalimat syahadat putih) dan Al-Liwa (bendera putih bertuliskan kalimat syahadat hitam), bukan bendera-bendera nasional yang banyak saat ini.
Menghadapi Tuduhan Anti-Nasionalisme dan Intoleran
Orang-orang yang menyerukan kembalinya Islam secara kaffah (menyeluruh) sering dicap sebagai kelompok intoleran, pemecah belah, bahkan anti-nasionalisme. Ini adalah “perjuangan pemaknaan” (struggle of meaning atau al-harfu li-l-mustalahat) oleh pihak yang berkuasa untuk melabeli pihak lain yang sebenarnya adalah warganya sendiri.
Kewajiban kita adalah terus menjelaskan fakta tentang nasionalisme dan bagaimana Islam menyikapinya, tanpa memaksa orang untuk sama. Jangan takut untuk mengungkap pemaknaan yang dipaksakan. Masalah-masalah yang terjadi saat ini, seperti dalam dunia pendidikan, adalah akibat diterapkannya sistem sekuler-kapitalistik, bukan karena Islam. Teruslah berdakwah dan beristiqamah dalam menjelaskan kepada masyarakat, karena sesungguhnya umat ini nanti akan menyadari bahwa yang harus dibela adalah Islam, bukan yang lain.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 102, “Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim.” Ini berarti Muslim harus berpegang teguh pada seluruh ajaran Islam, tidak memotong-motong atau memutilasi Islam seperti perjanjian Sykes-Picot.
Kita adalah umat yang mulia karena Islam. Jika kita mencari kemuliaan di luar Islam, termasuk dalam nasionalisme, kita tidak akan pernah mendapatkannya. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua, terutama dalam suasana setiap peringatan kemerdekaan. Kemerdekaan hakiki adalah manakala kita berhasil meletakkan diri kita taat sepenuhnya kepada Allah SWT dan syariat Islam.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: