
Menggali Hikmah Pertolongan Allah (Nasrullah) dalam Detik-Detik Hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah
Hijrah: Titik Balik Sejarah Islam
Hijrahnya Rasulullah ﷺ dari Mekah ke Madinah (Yatsrib) merupakan sebuah peristiwa monumental yang menandai babak baru dalam sejarah Islam. Peristiwa ini menjadi begitu penting sehingga Khalifah Umar bin Khattab ra. menetapkannya sebagai permulaan kalender Islam, yang terjadi pada tahun ke-17 Hijriah. Keputusan ini bukan tanpa alasan, karena hijrah melambangkan pergeseran signifikan dari fase dakwah tanpa kekuasaan di Mekah menuju fase dakwah dengan kekuasaan di Madinah.
Selama kurang lebih 13 tahun di Mekah, dakwah Nabi ﷺ dan para sahabat berada di bawah tekanan dan belum memiliki kekuasaan. Namun, setelah hijrah ke Madinah, kaum Muslim mulai memiliki kekuatan untuk melindungi dakwah Islam, bahkan mampu menghadapi kekuatan musuh seperti pada Perang Badar dan Uhud.
Madinah, atau Al-Madinah Al-Munawarah, menjadi sentral dakwah yang memungkinkan Islam berkembang dan menggetarkan kekuasaan adidaya Persia dan Romawi saat itu.
Perintah Ilahi dan Bai’at Kekuasaan
Hijrah ke Madinah adalah perintah langsung dari Allah Ta’ala. Rasulullah ﷺ bahkan melihatnya dalam mimpi, berhijrah ke negeri yang banyak pohon kurma, yang kemudian diidentifikasi sebagai Yatsrib. Perjalanan hijrah ini diawali oleh serangkaian peristiwa penting, salah satunya adalah Bai’at Aqabah.
Bai’at Aqabah yang pertama dan kedua menjadi titik tolak penting. Nabi ﷺ sebelumnya mengutus Mus’ab bin Umair untuk mempersiapkan Madinah selama setahun. Bai’at Aqabah kedua, khususnya, disebut sebagai “bai’at li sultan” atau bai’at kekuasaan. Suku Aus dan Khazraj dari Yasrib membai’at Nabi ﷺ sebagai pemimpin mereka, berjanji untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit maupun mudah. Ini menunjukkan peningkatan posisi dakwah dari fase tanpa dukungan kekuasaan menjadi fase di mana Nabi ﷺ memegang tampuk kekuasaan di Madinah.
Respons dari kalangan jin pun terjadi. Setan dari golongan jin, yang memahami aspek politis dari bai’at ini, berteriak kencang dari puncak Aqabah untuk memperingatkan orang-orang kafir Quraisy. Ini menunjukkan permusuhan setan, baik dari golongan jin maupun manusia, terhadap dakwah Islam yang begitu jelas. Setan menyadari bahwa bai’at ini menandai babak baru kekuasaan Muslimin, namun tipu daya setan itu lemah (Inna kayda ash-shaytani da’ifa).
Nasrullah: Pertolongan Allah yang Tak Terduga
Orang-orang kafir Quraisy merespons dengan keras; mereka berusaha mencegah hijrah dan bahkan berniat membunuh Nabi ﷺ. Mereka mengerahkan segala upaya, waktu, tenaga, bahkan dana besar untuk memadamkan cahaya Allah, namun yang mereka dapati adalah neraka Jahanam.
Syahdan, pertolongan Allah datang. Ketika Nabi ﷺ memerintahkan Sayidina Ali bin Abi Thalib untuk tidur di atas tempat tidurnya, orang-orang kafir Quraisy yang mengepung rumah Nabi tertidur lelap setelah Nabi meniupkan pasir ke arah mereka atas izin Allah. Nabi ﷺ kemudian keluar bersama Sayidina Abu Bakar As-Siddiq.
Kisah ini digambarkan dalam surah At-Taubah ayat 40:
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepadanya, dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini berbicara tentang Nabi ﷺ dan Abu Bakar yang bersembunyi di Gua Tsur. Di sana, Nabi ﷺ menghibur Abu Bakar dengan kalimat “La tahzan innallaha ma’ana” (Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita). Allah menurunkan ketenangan (sakinah) dan mendukung mereka dengan tentara yang tidak terlihat, yaitu para malaikat. Bahkan laba-laba pun menjadi bagian dari tentara Allah, dengan cara jaringnya menutupi pintu gua, mengecoh orang-orang kafir Quraisy yang berpikir tidak mungkin ada manusia masuk. Ini adalah bukti nyata “Nasrullah” – pertolongan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Allahu Azizun Hakim).
Mengapa Allah tidak langsung memindahkan Nabi ﷺ dengan Buraq seperti pada peristiwa Isra dan Mi’raj? Sungguh ini adalah pelajaran. Allah mengajarkan kepada kita dan Nabi ﷺ memberikan teladan tentang arti perjuangan, pengorbanan, kesabaran, ikhtiar, dan strategi. Peristiwa hijrah adalah sebuah perjalanan fisik yang menuntut upaya atau ikhtiar dan ketawakalan.
Inna ma’al ‘Usri Yusra: Bersama Kesulitan Ada Kemudahan
Peristiwa itu juga mengingatkan kita pada janji Allah dalam surah Al-Insyirah: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (Inna ma’al ‘usri yusra). Makna “bersama” (maa) dalam ayat ini menunjukkan bahwa kemudahan itu datang bersamaan dengan kesulitan, bukan setelahnya. Al-usri (kesulitan) yang disebut dua kali dalam ayat ini merujuk pada satu kesulitan spesifik, sementara yusra (kemudahan) yang disebut tanpa alif lam menunjukkan cakupan kemudahan yang luas, bisa jadi beragam kemudahan dari Allah.
Sebelum hijrah, Nabi ﷺ menghadapi “Amul Huzni” (Tahun Kesedihan) dengan wafatnya paman beliau, Abu Thalib (pelindung fisik dakwah), dan istri tercinta, Sayyidah Khadijah (pendukung kalbu dan materi). Beliau juga menghadapi penolakan dan perlakuan jahat di Thaif, dilempari batu oleh Bani Tsaqif. Namun, di balik kesulitan ini, pertolongan Allah datang dari arah yang tidak terduga. Misalnya, masuk Islamnya jin-jin dari kalangan Ahlul Kitab Yahudi (Jin Nasibin) yang mendengar bacaan Al-Qur’an Nabi ﷺ saat salat. Juga keislaman Adas, seorang budak Nasrani dari Ninawa, yang mengirimkan anggur kepada Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa Allah bisa melembutkan hati dan mendatangkan dukungan dari mana saja.
Penting untuk dipahami bahwa interaksi dengan bangsa jin memiliki batasan syariat. Nabi ﷺ tidak mengundang mereka; mereka datang setelah mendengar bacaan Al-Qur’an beliau ﷺ. Meminta bantuan kepada jin dalam arti isti’anah (pertolongan) seringkali dilarang karena dapat mengarah pada khurafat, tipu daya setan, dan menambah dosa. Interaksi yang dibenarkan adalah dalam konteks dakwah, seperti Nabi ﷺ yang mendakwahi jin-jin yang masuk Islam dan belajar kepadanya.
Relevansi Kontemporer dan Seruan Persatuan
Kondisi umat Islam saat ini yang terpecah belah, dengan berbagai persoalan seperti di Gaza dan Palestina, adalah sebuah “aib” bagi dunia Islam. Belajar dari sirah Nabi ﷺ, khususnya dari “qiraatun siasiatun li siratin nabawiyah” (pembacaan aspek politik dari perjalanan Nabi), sangat relevan.
Kisah hijrah mengajarkan kita urgensi persatuan dunia Islam di bawah naungan kekhilafahan yang akan menegakkan kekuasaan Islam. Ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai umat yang satu. Untuk mengembalikan peradaban Islam yang besar ini, dibutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, dana, dan upaya yang sungguh-sungguh, bahkan melebihi upaya yang dilakukan orang kafir untuk memadamkan cahaya Islam.
Kita wajib terus melakukan dakwah dan mengontak para tokoh masyarakat, meneladani Nabi ﷺ. Menyeru kepada penegakan Islam adalah aktivitas yang terus berkelanjutan, hingga akhir hayat. Ketika kita berjuang dan berkorban dengan ikhtiar terbaik, maka pertolongan Allah akan datang dan tidak ada yang bisa menghalangi kemenangan-Nya.
Semoga Allah senantiasa mengistiqamahkan kita semua dan mewafatkan kita dalam keadaan husnul khatimah. Wallahu A’lam Bishawab.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: