Umat Islam saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan kehidupan yang ragam, termasuk kondisi di Gaza dan Sudan. Sayangnya, umat Islam tercerai-berai dalam sekat-sekat negara, menyebabkan setiap potensi kekuatan melemah akibat perpecahan.
Al-Imam Ibnu Aqil dalam kitab Al-Adab Asy-Syar’iyah menyampaikan kritik pedas mengenai cara kita mengukur kebangkitan umat. Kebangkitan umat tidak cukup diukur hanya dari berdesak-desakannya mereka di pintu masjid (jawami’) atau nyaringnya suara talbiyah di tempat umrah dan haji. Sebaliknya, lihatlah bagaimana sikap mereka menghadapi musuh-musuh syariat itu sendiri.
Kondisi ini menuntut adanya wa’yu siyasi (kesadaran politik) dari umat untuk mengidentifikasi ancaman dan memahami solusi Islam. Inilah yang kemudian diwajibkan oleh Allah dalam Surah Ali Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, dan menyuruh kepada yang makruf dan melarang dari yang mungkar, dan sesungguhnya hanya merekalah golongan yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)
Kewajiban Fardu Mendirikan Kelompok Dakwah
Ali Imran ayat 104 ini merupakan kelanjutan dan syarah (penjelasan) dari perintah sebelumnya dalam Ali Imran ayat 103, yaitu perintah untuk berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah. Cara berpegang teguh pada tali Allah adalah dengan melakukan dakwah kepada al-khair (kebaikan), menyuruh kepada yang makruf, dan melarang dari yang mungkar.
Kewajiban Mutlak (Fardu):
- Ayat ini adalah Perintah Tegas: Lafal wal taqum (hendaklah ada) mengandung lamul amri (lam perintah), yang secara kaidah ushul fiqh menunjukkan adanya tuntutan tegas (thalab).
- Topiknya adalah Fardu: Karena ayat ini berbicara tentang topik dakwah, yang hukumnya sudah maklum dalam Islam adalah fardu (wajib) dalam banyak dalil.
- Hukumnya Fardu Kifayah: Meskipun ada ulama yang menafsirkan minkum (di antara kalian) sebagai min li bayan al-jinsi (keseluruhan jenis) yang berarti fardu ain, pandangan yang dominan (termasuk ditarjih oleh para ulama kontemporer) adalah bahwa kewajiban ini adalah fardhu alal kifayah. Ini berarti wajib ada sebagian kaum Muslim yang mendirikan kelompok (jemaah) yang berdakwah.
Para ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini mengandung tuntutan fardu dari Allah terkait dakwah, khususnya dalam hal mengadakan kelompok yang berdakwah.
Karakteristik Jemaah yang Beruntung
Lafal ummatun adalah lafz musytarak (satu kata dengan banyak makna), tetapi dalam konteks Ali Imran 104, maknanya yang paling tepat adalah jemaah. Jemaah ini harus memiliki karakteristik spesifik:
- Jemaah yang Teladan: Mereka adalah jamaatun yatakarunal bil ilmi wal amalis shalih—jemaah yang menonjol dengan ilmu dan amal saleh, serta menjadi teladan bagi yang lain (uswatan li ghairihim).
- Jemaah yang Bersatu (Mutakatilah): Jemaah ini harus terikat dengan ikatan tertentu (yaitu akidah Islam) dan memiliki kesatuan keyakinan, kesatuan pemikiran (fikrah), dan kesatuan metode (thariqah).
- Melakukan Tiga Aktivitas yang Tak Terpisahkan: Karena adanya huruf wawul jami (wawu penggabung), tiga aktivitas berikut harus dilakukan secara kolektif dan tidak boleh dipisah-pisahkan: (1) Menyeru kepada al-Khair (yad’una ilal Khair): Ditafsirkan sebagai menyeru kepada Islam dan syariat-syariatnya, yakni menegakkan akidah dan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam kehidupan; (2) Menyuruh kepada al-Ma’ruf (ya’muruna bil ma’ruf): Menyuruh kepada apa yang diakui dan dibenarkan oleh syariat; (3) Melarang dari *al-Munkar (wayanhauna ‘anil munkar): Melarang dari apa yang diingkari atau menyalahi syariat.
Amar makruf nahi nungkar secara khusus disebutkan setelah ilal khair (yang lebih umum) untuk menonjolkan urgensi aktivitas tersebut (zikrul khas ba’da al-am).
Catatan Penting Mengenai Nahi Munkar
Aktivitas nahyi munkar yang dimaksud dalam ayat ini adalah melarang kemungkaran global dan pemikiran yang bertentangan dengan syariat, seperti melawan kemungkaran demokrasi, liberalisme, pluralisme, feminisme, dsj.
Penting untuk diingat, aktivitas nahyi munkar jemaah dakwah tidak boleh fokus pada perkara mukhtalaf fihi (masalah yang diperselisihkan oleh para mujtahid), seperti masalah qunut, isbal (memanjangkan celana di bawah mata kaki), atau panjang-pendek jenggot. Perkara-perkara ijtihad seperti ini bukan ranah babul hisbat (bab nahyi munkar). Fokus pada perkara cabang yang diperselisihkan hanya akan menggiring kepada perpecahan.
Golongan yang Beruntung (Al-Muflihun)
Allah menjanjikan ganjaran bagi kelompok yang menjalankan mandat ini: “Wa ulaika humul muflihun (dan sesungguhnya hanya merekalah golongan yang beruntung).”
Penggunaan dhamirul fasl (hum) dalam kalimat ini mengandung makna pengkhususan (qasr). Artinya, keberuntungan (al-falah) di dunia dan akhirat dikhususkan bagi mereka yang membentuk jemaah dengan karakteristik menyeru kepada dakwah Islam, amar makruf, dan nahi mungkar.
Bagi mereka yang telah bergabung dalam jemaah dakwah, beberapa hal perlu senantiasa dijaga untuk mencapai keistiqamahan:
- Islaahun Niyat (Meluruskan Niat): Niat harus terus diperbaiki dan dijaga (di-upgrade) agar murni taqaruban ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), sebab dakwah adalah bagian dari ibadah. Niat dakwah bukan untuk mencari ketenaran, melainkan untuk menguatkan Islam dan Jemaah dakwah itu sendiri.
- Tadhiyah (Berpengorbanan): Belajar berkorban, meneladani role model Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat. Profesi atau status sosial bukanlah alasan untuk tidak berdakwah; Nabi membina sahabat dari berbagai latar belakang, termasuk para dhuafa.
- Tundukkan Ego: Tundukkan ego individu. Ini adalah ujian keikhlasan terbesar. Penting untuk memprioritaskan kepentingan Islam dan Jemaah di atas kepentingan pribadi.
Eksistensi Jemaah setelah Khilafah Tegak
Ayat wal taqum minkum ummatun tidak membatasi jumlah kelompok dan tidak dibatasi oleh waktu; kefarduan ini berlaku hingga Hari Kiamat (ila yaumil qiyamah).
Oleh karena itu, meskipun Daulah Khilafah tegak, jemaah dakwah wajib tetap ada dan tidak boleh bubar. Salah satu peran vitalnya adalah muhasabatul hukam (mengoreksi kebijakan penguasa) agar kebijakan tersebut senantiasa selaras dengan syariat Islam.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di Ngaji Shubuh TV:
