NgajiShubuh.or.id — Mus’ab bin Umair ra. merupakan sosok sahabat Nabi Muhammad saw. yang memiliki kisah luar biasa. Beliau dikenal dengan gelar Al-Muqri al-Awwal fil Madina atau guru Al-Qur’an pertama di Madinah. Beliau juga disebut sebagai delegasi Islam pertama yang diutus Nabi saw. Mus’ab bin Umair dilahirkan pada masa jahiliah, sekitar 14 tahun atau lebih sedikit setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. (sekitar tahun 585 Masehi). Nama lengkap beliau adalah Mus’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Abdid Dar bin Qusay bin Kilab al-Quraisyi. Beliau berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang terpandang, kaya raya, dan memiliki kedudukan terhormat. Kakek beliau bertemu dengan nasab Nabi saw. pada kakek yang bernama Qushay bin Kilab. Keluarga beliau, terutama dari suku Abdud Dar, memiliki tugas terhormat, salah satunya adalah memegang bendera perang.
Ayahnya bernama Umair ibn Hasyim. Namun, peran yang sangat menonjol adalah ibunya, Khunnas binti Malik, seorang wanita yang terkenal kaya raya, tegas, dan memiliki persona yang kuat. Ibunya sangat menyayangi dan memanjakan Mus’ab dengan berbagai kemewahan. Mus’ab masyhur sebagai pemuda yang luar biasa; memiliki pakaian-pakaian terbaik, parfum-parfum mahal, dan gaya hidup elit. Aroma parfumnya begitu semerbak sehingga meninggalkan jejak di jalan yang dilewatinya. Nabi saw. pernah bersabda bahwa beliau tidak pernah melihat seorang pun di Makkah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain Mus’ab ibn Umair. Ibunya bahkan menghidangkan makanan di samping tempat tidurnya, sehingga ketika ia bangun, makanan sudah tersedia. Ibnu Saad meriwayatkan bahwa Mus’ab adalah pemuda yang paling lembut dan paling dimanjakan di Makkah.
Orang yang pertama kali mengajak Mus’ab ibn Umair masuk Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah memeluk Islam, Mus’ab memasuki rumah Arqam bin Abil Arqam, membaca Al-Qur’an, dan beriman kepada Nabi saw. Awalnya, ia menyembunyikan keislamannya untuk menghindari intimidasi dari kafir Quraisy. Keislaman Mus’ab akhirnya terkuak ketika Utsman bin Thalhah melihatnya sedang salat dan melaporkannya kepada ibundanya. Ibunya, Khunnas binti Malik, marah luar biasa dan melakukan penentangan yang keras. Ibunya mengurung dan memboikot Mus’ab, berharap anaknya meninggalkan ajaran Rasulullah saw. Ibundanya bahkan mengancam tidak akan makan, tidak akan minum, dan terus berdiri tanpa naungan agar Mus’ab kembali ke agama nenek moyang mereka.
Ketika Mus’ab masuk Islam, ibunya segera mencabut semua fasilitas dan kemewahan yang diberikan kepadanya. Mus’ab tidak lagi menikmati pakaian terbaik, makanan, minuman, dan parfum mewah. Akibat penyiksaan fisik dan dicabutnya fasilitas, kehidupan Mus’ab berubah 180 derajat. Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa suatu hari ia melihat Mus’ab mengenakan kain burdah yang kasar dan punya tambalan-tambalan. Nabi saw. sampai menangis ketika melihat kondisi Mus’ab, membandingkan kenikmatan yang pernah ia rasakan sebelumnya. Sa’ad bin Abi Waqqas bersaksi bahwa setelah intimidasi, kondisi Mus’ab berubah drastis; kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-tatih saat berjalan. Namun, semua penderitaan ini tidak membuatnya goyah, ia tetap dengan keimanannya.
Tugas Penting
Karena Mus’ab adalah orang yang pintar, cerdas, dan terpandang, Rasulullah saw. memberinya kepercayaan yang sangat menentukan tegaknya peradaban Islam berdakwah di Yatsrib (yang kemudian dikenal sebagai Madinah al-Munawwarah). Tugas ini terjadi pada tahun ke-12 kenabian (sekitar 621 Masehi), setelah Baiah Aqabah yang pertama. Nabi mengutus Mus’ab untuk mendampingi 12 orang yang baru saja menunaikan ibadah haji. Tugasnya adalah membina orang-orang yang sudah masuk Islam (para mualaf) dan mendakwahi tokoh-tokoh Yathrib agar memeluk agama Islam. Rasulullah saw. secara spesifik memerintahkan Mus’ab untuk mengajarkan mereka membaca Al-Qur’an, mengajarkan tentang Islam, dan memahamkan mereka tentang agama.
Setibanya di Yatsrib, Mus’ab singgah di kediaman As’ad ibn Zurarah. As’ad bin Zurarah memainkan peran yang sangat strategis sebagai tokoh lokal yang menunjukkan jalan dan memfasilitasi dakwah Mus’ab ke kampung-kampung seperti Bani Ashal dan Bani Zoffar. Di Bani Ashal, dua tokoh yang sangat berpengaruh adalah Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Khudir. Sa’ad bin Mu’adz, yang saat itu masih musyrik, merasa terganggu dengan kerumunan yang mendengarkan Mus’ab. Ia kemudian menyuruh sahabatnya, Usaid bin Khudir, untuk mengusir Mus’ab dan As’ad bin Zurarah.
Usaid bin Khudir datang dengan mengambil tombaknya dan mengancam Mus’ab dan As’ad, mengusir mereka, dan menggunakan logika kekuatan. Di tengah situasi yang sangat krusial dan mendesak, Mus’ab menunjukkan kepiawaian komunikasi yang luar biasa. Mus’ab tidak lari atau marah, melainkan melontarkan kalimat yang sangat adil (fair): “Wahai tuan, sudikah kiranya tuan duduk lebih dulu dan mendengarkan apa yang saya sampaikan? Kalau Tuan berkenan, silakan Tuan boleh terima apa yang saya sampaikan. Kalau tidak, tahanlah apa yang Anda tidak sukai itu dari diri Anda [dan kami akan pergi].” Usaid setuju, menilai tawaran itu adil.
Mus’ab menjelaskan Islam dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam waktu yang singkat—hanya hitungan menit—penjelasan Mus’ab berhasil mengena ke hati Usaid bin Khudir. Usaid yang sebelumnya marah langsung berubah 180 derajat. Ia bersyahadat, mandi, dan menunaikan salat dua rakaat. Setelah masuk Islam, Usaid bin Khudir merekayasa situasi agar Saad bin Mu’adz (yang lebih berpengaruh) datang menemui Mus’ab. Sa’ad bin Mu’adz datang dengan penuh emosi. Mus’ab kembali menggunakan tawaran yang sama: “Duduklah dulu, dengarkan, jika Tuan suka terima, jika tidak, kami akan pergi.” Sa’ad duduk, mendengarkan penjelasan Islam dan pembacaan Al-Qur’an. Sa’ad bin Mu’adz seketika berubah; wajahnya sejuk, dan ia pun memeluk Islam.
Setelah kembali kepada kaumnya (Bani Ashal), Sa’ad menanyakan pendapat kaumnya tentang dirinya. Setelah mereka mengakui bahwa ia adalah pemimpin dan orang yang paling utama, Sa’ad mengunci dengan kalimat: “Sungguh ucapan kaum laki-laki dan kaum perempuan di kalangan kalian saat ini haram bagiku hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Mus’ab bin Umair berhasil membuat seluruh laki-laki dan perempuan di rumah Bani Ashal memeluk agama Islam. Mus’ab hanya berdakwah di Yatsrib kurang lebih satu tahun (setelah musim haji tahun ke-12 hingga menjelang musim haji tahun ke-13 kenabian), sebelum ia melaporkan keberhasilan dakwahnya kepada Rasulullah saw. Mus’ab juga merupakan orang pertama yang mengimami salat Jumat di Madinah sebelum kedatangan Rasulullah saw.
Mus’ab bin Umair berpartisipasi dalam dua perang besar: Perang Badar dan Perang Uhud. Pada Perang Badar, ia memegang panji kaum Muhajirin. Tugas memegang panji (liwa) merupakan tradisi yang dipegang oleh keturunan Abdud Dar. Mus’ab ditakdirkan syahid pada Perang Uhud, tahun ke-3 Hijriah. Saat pasukan Muslim terpukul mundur, Mus’ab tetap teguh memegang panji. Diriwayatkan bahwa ia berperang melindungi Nabi saw. Tangan kanannya dipotong, ia lalu memegang panji dengan tangan kirinya. Tangan kirinya pun dipotong, dan ia mendekap panji itu dengan kedua lengannya yang masih tersisa, sampai akhirnya ia terbunuh sebagai syuhada. Ketika jenazahnya dilihat oleh Rasulullah, beliau meneteskan air mata. Tubuh Mus’ab hanya ditutupi dengan selembar kain burdah yang kasar. Kain tersebut tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya; jika kepalanya ditutupi, kakinya tampak, dan jika kakinya ditutupi, kepalanya tampak.
Ketulusan dan Retorika Dakwah
Mus’ab bin Umair menunjukkan bahwa keberhasilan dakwah di Yatsrib hingga Madinah menjadi ibu kota negara tidak terlepas dari jasanya. Pahala Mus’ab luar biasa karena ia membuka gerbang dakwah di tempat yang sangat penting. Dari kisah beliau, terdapat beberapa pelajaran penting. Pertama, ketulusan hati. Selain keimanan, seorang dai wajib memiliki ketulusan hati dan jiwa dalam berdakwah. Kedua, kemampuan komunikasi yakni Mus’ab memiliki kemampuan komunikasi dan retorika yang luar biasa, terutama dalam situasi terdesak. Kepiawaiannya membuat orang yang datang untuk mengusir (seperti Usaid) menjadi tenang dan mau mendengarkan.
Ketiga, pada masa awal dakwah di Yatsrib, fokus utama adalah akidah dan keimanan, yaitu mengislamkan orang kafir, bukan menjelaskan hukum-hukum fikih secara detail, karena hukum yang detail banyak yang belum diturunkan. Keempat, kehidupan Mus’ab yang miskin setelah masuk Islam adalah konsekuensi dari pencabutan fasilitas oleh orang tuanya, bukan karena Islam melarang kemewahan atau kekayaan. Mus’ab berani mempertaruhkan kemewahan dunia dan hidup enak untuk memilih berada di barisan Islam, rela meninggalkan semua itu demi keteguhan akidah Islam.[] Ika Mawarningtyas
