Di Balik Kalender Bulan November
Bulan November seringkali dianggap sebagai bulan yang biasa saja, sebuah penanda waktu menjelang akhir tahun. Namun, dalam catatan sejarah, ia menyimpan momen-momen yang sangat penting (pivotal) yang secara fundamental mengubah arah peradaban Islam dan Indonesia. Di balik tanggal-tanggal yang kita lewati, terdapat kisah-kisah penuh intrik politik, gelora spiritual, dan perlawanan intelektual.
Berikut adalah sejumlah momen di bulan November yang membuktikan bahwa sejarah besar seringkali lahir dari bisikan-bisikan di luar panggung utama.
1. Keruntuhan Khilafah Utsmani: Proses Dua Babak yang Penuh Intrik
Jatuhnya Kekhalifahan Utsmani bukanlah peristiwa tunggal yang terjadi dalam semalam. Prosesnya berlangsung dalam dua babak krusial yang sama-sama terjadi di bulan November 1922.
- Tahap Pertama (1 November 1922): Majelis Raya Nasional Turki di bawah pimpinan Mustafa Kamal Pasha secara resmi menghapuskan institusi Kesultanan—otoritas politik dan pemerintahan Utsmani. Langkah ini merupakan hasil dari negosiasi alot dengan Inggris, yang diwakili oleh Lord Curzon, pasca kekalahan Utsmani dalam Perang Dunia I. Dengan dihapuskannya Kesultanan, kekuasaan politik beralih sepenuhnya ke tangan Majelis Raya Nasional.
- Tahap Kedua (17 November 1922): Sultan terakhir, Mehmed VI (Fahdetin), secara efektif diusir dari Istanbul. Ia meninggalkan ibu kota menuju pengasingan di Malta, menandai akhir fisik dari 600 tahun dinasti Utsmani di pusat kekuasaan.
Analisis dari proses dua babak ini menunjukkan sebuah strategi politik yang sangat kompleks. Mustafa Kamal memisahkan otoritas politik (Kesultanan) dari otoritas spiritual (Khilafah). Strategi ini memungkinkan Mustafa Kamal untuk membongkar struktur kekuasaan Utsmani secara bertahap—pertama melumpuhkan kekuatan politiknya sambil menenangkan sentimen keagamaan publik dengan mempertahankan simbol Khilafah, sebelum akhirnya mencabut akar spiritualnya satu setengah tahun kemudian. Setelah Kesultanan dihapus, institusi Khilafah masih dipertahankan sesaat dengan mengangkat sepupu Mehmed VI, Abdul Majid II, sebagai khalifah tanpa kekuasaan politik. Namun, ini hanyalah langkah sementara. Institusi Khilafah akhirnya dilikuidasi total pada 3 Maret 1924, sebuah langkah yang sejalan dengan tuntutan Inggris yang dipimpin Lord Curzon dalam negosiasi yang berujung pada Perjanjian Lausanne, yang mengakui kemerdekaan Turki sebagai sebuah republik sekuler.
2. Hari Pahlawan: Pertempuran Surabaya yang Dipantik oleh Fatwa Ulama
Peristiwa heroik 10 November 1945 yang kita kenang sebagai Hari Pahlawan memiliki akar spiritual yang seringkali tidak menjadi sorotan utama. Momentum pertempuran ini tidak bisa dilepaskan dari Kongres Masyumi yang digelar di Surabaya pada 7-8 November 1945, hanya beberapa hari sebelum pertempuran meletus.
Dalam kongres tersebut, Masyumi secara resmi menguatkan Resolusi Jihad yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Resolusi ini secara tegas menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan, khususnya kota Surabaya dari cengkeraman pasukan Sekutu, adalah kewajiban agama (fardu ain), yang artinya kewajiban tersebut bersifat personal dan tidak dapat diwakilkan, setara dengan kewajiban salat lima waktu.
Narasi ini secara radikal mengubah pemahaman kita: semangat kepahlawan nasional yang kita rayakan ternyata dinyalakan oleh otoritas fatwa ulama. Kekuatan spiritual inilah yang membakar semangat para pejuang, mengubah pertempuran kota menjadi sebuah jihad mempertahankan tanah air.
3. Akhir Perjuangan Cut Nyak Dien: Pengasingan Terhormat di Tanah Pasundan
Cut Nyak Dien wafat pada 6 November 1908. Namun, akhir hidupnya bukanlah kisah tragis seorang tawanan perang yang terhina. Sebaliknya, masa pengasingannya di Sumedang menyimpan fakta yang mengejutkan dan penuh kehormatan.
Setelah ditangkap pada tahun 1906, beliau diasingkan ke Sumedang. Di sana, penguasa Kadipaten Sumedang Larang, Pangeran Arya Surya Atmaja, tidak memperlakukannya sebagai penjahat perang. Cut Nyak Dien justru diperlakukan dengan sangat hormat dan mulia, hingga masyarakat setempat menjulukinya “Ibu Perbu” atau Ibu Suri (Ratu).
Perlakuan istimewa ini bukanlah tanpa alasan. Menurut catatan, Cut Nyak Dien memiliki preferensi atau harapan untuk diasingkan ke Sumedang, karena beliau telah mendengar bahwa penguasanya adalah seorang Muslim yang saleh. Kisah ini mengubah narasi tentang akhir perjuangannya—dari sekadar tawanan menjadi seorang tokoh agung yang dihormati hingga akhir hayatnya, bahkan oleh mereka yang berada di luar tanah kelahirannya.
4. Jenderal Sudirman: Panglima Termuda yang Terpilih di Tengah Gema Jihad
Pada 12 November 1945, hanya dua hari setelah Pertempuran Surabaya meletus, Sudirman terpilih sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pengangkatan ini menjadikannya sebagai panglima termuda sepanjang sejarah militer Indonesia, karena saat itu usianya baru menginjak 29 tahun.
Namun, ada sebuah koneksi penting yang kurang dikenal di balik pengangkatannya. Sudirman adalah sosok yang menyarankan Presiden Soekarno untuk meminta petunjuk kepada Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari mengenai sikap yang harus diambil dalam menghadapi kedatangan pasukan Sekutu. Inisiatif inilah yang kemudian berujung pada keluarnya Resolusi Jihad.
Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Sudirman tidak hanya bertumpu pada kejeniusan taktis, tetapi juga pada kecerdasan spiritual dan pemahamannya yang mendalam tentang sosiologi masyarakat Jawa, di mana restu ulama adalah kunci untuk mobilisasi massa. Dengan demikian, pengangkatannya tidak bisa dilepaskan dari konteks spiritual dan militer yang ia bantu ciptakan.
5. Lahirnya Muhammadiyah: Perlawanan Intelektual Atas Sekularisasi Kolonial
Pendirian Persyarikatan Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 bukanlah sekadar pendirian organisasi sosial-keagamaan biasa. Momen ini merupakan sebuah respons strategis terhadap politik etis yang dijalankan pemerintah kolonial Hindia Belanda, khususnya di bidang pendidikan.
Pendidikan kolonial pada masa itu dirancang untuk menjauhkan kaum Bumiputera dari ajaran agamanya—sebuah proses yang dikenal sebagai sekularisasi. Tujuannya adalah menciptakan generasi terdidik yang netral atau bahkan anti terhadap agamanya sendiri. Kekhawatiran ini ternyata tidak hanya dirasakan di tingkat lokal. Isu ini sampai kepada konsulat Turki Utsmani di Batavia, yang menunjukkan adanya kesadaran dan hubungan lintas-bangsa di kalangan umat Islam dalam menghadapi ancaman sekularisasi kolonial. Muhammadiyah lahir sebagai benteng intelektual untuk melawan arus tersebut dengan menyediakan pendidikan yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan ajaran Islam yang murni. Dengan demikian, lahirnya Muhammadiyah di bulan November bukan sekadar peristiwa organisasi, melainkan penanda dimulainya sebuah perlawanan intelektual terstruktur yang secara fundamental membentuk lanskap pendidikan dan pemikiran Islam modern di Indonesia hingga hari ini.
Jejak November dan Refleksi untuk Masa Depan
Kelima peristiwa di atas menunjukkan bagaimana sejarah seringkali digerakkan oleh faktor-faktor yang lebih dalam dari sekadar tanggal di kalender. Di balik momen-momen bulan November, kita menemukan intrik politik global, kekuatan keyakinan spiritual, dan respons intelektual yang terukur. Masing-masing meninggalkan jejak yang membentuk dunia kita hari ini.
Melihat kembali jejak-jejak sejarah di bulan November ini, pelajaran tersembunyi apa yang paling berharga untuk kita bawa dalam menghadapi tantangan hari ini?
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV:
