Di era digital, kita dibanjiri informasi keagamaan. Ribuan video ceramah, artikel, dan kutipan hadits bisa diakses dalam hitungan detik. Namun, kemudahan akses ini sering kali tidak berbanding lurus dengan kedalaman pemahaman. Banyak dari kita merasa terjebak—terus mengkonsumsi konten, tetapi tidak merasa benar-benar tumbuh dan berkembang dalam ilmu. Kita seperti berada di tengah lautan tanpa kompas, dikelilingi air yang melimpah namun tidak tahu harus berlayar ke mana.
Masalahnya bukanlah kekurangan informasi, melainkan ketiadaan metode yang jelas. Bagaimana cara belajar yang efektif agar tidak sekadar menjadi penampung data, tetapi benar-benar memahami dan menghayati ajaran agama? Ada beberapa kunci powerful yang sering terlupakan, yang melampaui sekadar ketekunan dan kerajinan.
Jangan Hanya Jadi Penampung, Jadilah Sumber Mata Air
Pertama dan paling fundamental adalah memiliki ambisi yang agung. Dalam belajar Islam atau tsaqafah-nya, tujuan tertinggi bukanlah sekadar menjadi pengikut yang saleh (muqalid), melainkan bercita-cita mencapai level seorang mujtahid—seseorang yang memiliki pemahaman begitu mendalam sehingga mampu menggali solusi atas problematika umat langsung dari sumbernya.
Ini bukan tentang kesombongan, melainkan tentang menyambut seruan untuk meraih keunggulan. Cita-cita yang luhur adalah sesuatu yang dicintai oleh Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Al-Baihaqi:
“Sesungguhnya Allah Taala itu mencintai perkara-perkara yang tinggi, perkara yang mulia dan membenci perkara-perkara yang rendah.”
Rasulullah SAW memberikan sebuah perumpamaan indah tentang tiga jenis tanah yang menerima hujan lebat—sebuah analogi sempurna untuk menggambarkan tingkatan para penuntut ilmu:
- Tanah Terburuk (Qian): Tanah tandus yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan tanaman. Air hujan yang turun hanya lewat begitu saja tanpa memberi manfaat. Ini adalah perumpamaan bagi mereka yang tidak mengambil pelajaran sama sekali dari ilmu yang datang kepadanya.
- Tanah Baik (Ajadib): Tanah yang mampu menahan air, sehingga orang lain bisa memanfaatkannya untuk minum dan bercocok tanam, meskipun tanah itu sendiri tidak menumbuhkan vegetasi. Ini adalah gambaran bagi mereka yang rajin menghafal dan mampu menyampaikan ilmu kepada orang lain, namun belum sampai pada level menggali dan menghasilkan manfaat baru dari ilmu tersebut.
- Tanah Terbaik (Naqiah): Tanah subur yang bukan hanya mampu menampung air, tetapi juga menyerapnya untuk menumbuhkan rerumputan dan tanaman yang melimpah. Inilah perumpamaan tertinggi: seorang alim yang tidak hanya memahami dan mengamalkan ilmu untuk dirinya, tetapi juga mampu “menumbuhkan” pemahaman baru, hikmah, dan solusi yang bermanfaat bagi seluruh umat.
Dengan menetapkan cita-cita tertinggi atau visi, kita mengubah paradigma belajar. Dari sekadar tindakan pasif menerima informasi, menjadi sebuah ambisi aktif untuk berkontribusi, menjadi sumber mata air yang mengalirkan kebaikan bagi sesama.
Kelilingi Diri dengan Para Orang Besar, Baik yang Hidup maupun dalam Tinta
Kehebatan dalam ilmu sering kali diturunkan melalui bimbingan dan kedekatan. Kunci kedua adalah secara sadar mengelilingi diri kita dengan “orang-orang besar”—para ulama dan cendekiawan yang ilmunya teruji dan pengaruhnya mendalam. Lihat saja silsilah keilmuan emas dalam sejarah Islam: Imam Syafi’i adalah murid brilian dari Imam Malik. Imam Ahmad bin Hambal, salah satu murid terbaik Imam Syafi’i, kemudian mendidik ulama sekaliber Imam Al-Bukhari. Dan Imam Muslim adalah salah satu murid menonjol dari Imam Al-Bukhari. Rantai emas ini menunjukkan bagaimana kebesaran dibentuk dan diwariskan melalui bimbingan.
Tentu, kita tidak bisa lagi duduk di majelis para imam tersebut. Namun, kita masih bisa “bertemu” dan “berguru” kepada mereka melalui peninggalan terbesar mereka: karya-karya agung mereka. Kitab-kitab mereka adalah jembatan yang melintasi zaman. Nilai sebuah karya dapat diukur dari usaha luar biasa di baliknya. Kitab Sahih Al-Bukhari, misalnya, disusun selama 15 tahun. Kitab syarah (penjelasan)-nya yang paling masyhur, Fathul Bari, memakan waktu 25 tahun untuk dirampungkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Imam As-Syatibi dengan indah merangkum bagaimana ilmu diwariskan melalui tulisan:
“Sesungguhnya ilmu itu dulunya di dalam dada para ulama, kemudian berpindah ilmu itu ke dalam kitab-kitab.”
Dengan membaca karya-karya mereka, kita menyerap kerangka berpikir, metode analisis, dan kedalaman ilmu mereka. Kita tidak hanya membaca informasi, tetapi berdialog dengan para raksasa intelektual Islam.
Belajar Sendirian adalah Jalan Cepat Menuju Kegagalan
Menuntut ilmu bukanlah perjalanan solo. Tanpa dukungan, semangat yang membara di awal bisa dengan mudah padam. Kunci ketiga adalah menemukan lingkungan atau komunitas yang mendukung (halaqah, pesantren, atau kelompok studi), di mana semangat untuk belajar terus dipupuk dan pemahaman diluruskan bersama.
Rasulullah SAW memberikan perumpamaan yang sangat jelas tentang kekuatan pengaruh lingkungan melalui analogi penjual minyak wangi dan pandai besi.
- Berteman dengan penjual minyak wangi, setidaknya ada tiga kemungkinan baik: ia akan memberimu minyak wangi secara cuma-cuma, engkau membeli darinya, atau paling tidak engkau akan ikut mencium aroma harumnya. Tidak ada ruginya.
- Sebaliknya, berada di dekat pandai besi memiliki risiko: pakaianmu bisa terbakar oleh percikan apinya, atau paling tidak engkau akan pulang dengan bau asap yang tidak sedap.
Analogi ini berlaku sempurna dalam perjalanan menuntut ilmu. Komunitas yang baik akan mengangkat semangat kita, meluruskan kesalahan kita, dan membuat kita “berbau harum” dengan ilmu dan adab. Sebaliknya, lingkungan yang buruk atau belajar dalam kesendirian akan membuat kita rentan terhadap futur (turun semangat), salah paham, dan bahkan kesesatan. Temukan “suku” Anda, karena kebersamaan dalam kebaikan adalah bahan bakar yang membuat perjalanan ini terus berlanjut.
Fondasi adalah Satu-Satunya Bagian yang Tidak Bisa Dilewati
Kunci terakhir, namun menjadi penentu segalanya, adalah memulai dari fondasi. Banyak penuntut ilmu yang gagal karena tidak sabar; mereka ingin langsung memetik “buah” dengan membahas isu-isu kontemporer yang kompleks, tanpa terlebih dahulu membangun “akar” dan “batang” yang kokoh. Ini adalah resep pasti menuju kebingungan dan kesalahan fatal.
Fondasi yang wajib dikuasai adalah ilmu-ilmu dasar seperti Akidah, Bahasa Arab, dan Ushul Fiqh. Tanpa perangkat dasar ini, mencoba menafsirkan teks-teks rumit ibarat mencoba membangun gedung pencakar langit tanpa pondasi.
Al-Qur’an dalam Surah Ibrahim ayat 24-25 memberikan analogi yang sempurna tentang struktur ilmu dalam Islam melalui perumpamaan “pohon yang baik” (syajaratun thayyibatun). Menurut penjelasan Syekh Ahmad Al-Qasas dalam kitabnya, Ususun Nahd Arrasyidah, analogi ini dapat diuraikan sebagai berikut:
- Akar yang Kokoh Menghunjam ke Bumi (asluha tsabitun): Ini adalah representasi dari Akidah Islam. Akidah adalah fondasi yang paling dalam, yang menjadi dasar bagi semua bangunan ilmu lainnya.
- Cabang yang Menjulang ke Langit dan Buah yang Dihasilkan (wa far’uha fissamaai): Ini melambangkan berbagai hukum syariah dan pemikiran Islam yang tumbuh subur dan menghasilkan manfaat. Buah-buah ini hanya bisa muncul jika akarnya kuat dan batangnya tegak.
Belajar haruslah bertahap. Kuasai akarnya terlebih dahulu, maka cabang dan buah akan mengikuti secara alami. Fondasi yang kuat dan dalam adalah satu-satunya hal yang memungkinkan pohon ilmu kita tumbuh menjulang tinggi, kokoh diterpa badai pemikiran, dan terus menghasilkan buah yang bermanfaat.
Langkah Kecil Menuju Perjalanan Besar
Kesuksesan dalam menuntut ilmu agama (tsaqafah) bukanlah sekadar soal menghabiskan banyak waktu membaca atau menonton. Ia adalah sebuah perjalanan terstruktur yang membutuhkan strategi. Memiliki visi atau cita-cita setinggi langit, berguru kepada para orang besar atau ulama (baik secara langsung maupun lewat karya), menemukan komunitas yang mendukung, dan membangun fondasi ilmu yang kokoh, adalah kompas yang akan menuntun kita melewati lautan informasi yang luas.
Perjalanan ini mungkin terasa berat, tetapi ia dimulai dengan satu langkah sadar.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV:
