
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)
Delapan ribu unit kelembagaan Koperasi Desa dan Kelurahan (Kopdes/Kopkel) Merah Putih yang diluncurkan di Desa Bentangan, Wonosari, Kabupaten Klaten Jawa Tengah, oleh Presiden Prabowo menjadi tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang sah tanggal 27 Maret 2025.
Ada 38 provinsi serta 514 kabupaten dan kota ikut serta secara online. Jumlah yang telah terbentuk sebanyak 81.140 unit di seluruh Indonesia, dan 80.081 di antaranya telah berbadan hukum (antaranews.com, 21-7-2025).
Dalam sambutannya, Prabowo menegaskan bahwa koperasi menjadi alat untuk menggabungkan kekuatan dari berbagai elemen ekonomi kecil agar dapat membangun kekuatan ekonomi yang lebih besar dan solid. Tak tanggung-tanggung, ada 13 kementerian dan dua lembaga negara yang terlibat dalam pelaksanaan program bersama dengan para walikota, gubernur, kepala desa, dan bupati.
Program Kopdes Merah Putih berupa pendekatan inklusif, modern, dan berbasis gotong-royong, sehingga bisa memperkuat ekonomi desa, meningkatkan ketahanan pangan, serta mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pinjaman online ilegal, praktik rentenir dan tengkulak. Kini, permodalan bisa dilakukan melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank-bank Himbara.
Kapitalisme, Selalu Catut Gotong Royong
Kata gotong royong selalu disematkan dalam setiap program memajukan perekonomian bangsa. Terasa kontradiktif, sebab program ini sama sekali tidak menyentuh kebutuhan asli para petani. Akses modal juga berbasis riba. Lantas apa bedanya dengan sebelumnya; rentenir, pinjaman online dan tengkulak? Artinya keluar dari mulut buaya masuk mulut harimau. Atau masuk mulut macan Asia? Gotong royong jika punya kekuatan yang sama, dalam konteks pembangunan, negaralah yang memiliki segalanya, baik kewenangan maupun alat.
Sejahtera, Hanya dengan Islam
Terlihat Pemerintah begitu putus asa. Maunya memberi solusi malah uji nyali, membuat kondisi negara dan rakyat tidak berkah karena berbalut riba, malah mengundang azab. Ironi, negeri dengan mayoritas Muslim masih rancu terhadap keharaman koperasi.
Dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, menjelaskan haramnya koperasi karena dua alasan. Pertama, pada saat pendirian awal koperasi, tidak terdapat akad yang syar’i sebagaimana akad syirkah. Dalam akadnya tidak ada pihak pengelola modal (syarik badan), melainkan hanya berisi kesepakatan mengumpulkan modal dari para pendiri koperasi (syarik mal). Padahal keberadaan syarik badan adalah wajib.
Kedua, pada sistem bagi hasil, di mana di dalam syirkah yang benar bagi hasil diambil dari modal/kerja atau pada modal dan kerja sekaligus. Sementara koperasi; jika (1) koperasi simpan pinjam, pada kuantitas kredit yang diambil anggota ditambah bunga dan bea administrasi, dan jika (2) koperasi pemasaran, pada kuantitas penjualan produk ke pasar, serta jika (3) koperasi pembelian, pada kuantitas belanja anggota.
Rasulullah saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Syariat Islam mewajibkan negara mengelola SDA dan harta kepemilikan negara (jizyah, kharaj, dan lainnya) secara mandiri, bukan menjualnya kepada investor dan menerima deviden atau pajaknya saja. Ketika industrialisasi tegak, otomatis membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat. Wallahu’alam bishshawab.[]